Pandangan Hidup Manusia Menurut Islam

13 Juni 2008 at 12:32 PM 17 komentar


Manusia Sebagai Khalifatullah

Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.

Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. Al-Baqarah: 30)

Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.

Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.

Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.

Pada hakikatnya, kita menjadi khalifatullah secara resmi adalah dimulai pada usia akil baligh sampai kita dipanggil kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam rahim ibunya tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah janin yang berada di dalam rahim itu tidak beribadah?

Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:

Yushabbihu lillahi ma fissamawati wama fil ardh.

Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”

Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya.

Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan.

Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:

Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li ya’budu.

“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”

Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.

Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang paling banyak dilakukan dalam keseharian kita. Dalam kondisi tertentu, ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan daripada ibadah mahdhah. Nabi mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan kita sudah tersedia makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah melakukan shalat. Hal ini dapat kita pahami, bahwa jika makanan sudah tersedia, lalu kita mendahulukan shalat, maka dikhawatirkan shalat yang kita lakukan tersebut menjadi tidak khusyu’, karena ketika shalat tersebut kita selalu mengingat makanan yang sudah tersedia tersebut, apalagi perut kita memang sedang lapar.

Tujuan Ibadah

Tujuan ibadah ada dua (baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah). Pertama, untuk mencapai kesenangan hidup di dunia. Kedua, untuk mencapai ketenangan hidup di akhirat. Atau secara sederhananya yaitu untuk mencapai kesenangan dan ketenangan dunia dan akhirat. Berbagai macam kesenangan dunia kita lakukan tak lain adalah untuk meraih kesenangan dan ketenangan akhirat. Misalkan bekerja. Dengan bekerja, maka seseorang akan mendapatkan uang. Dengan uangnya tersebut, maka ia akan mendapatkan kesenangan dunia, dan juga akan semakin memudahkannya untuk melakukan ibadah mahdhah, misalkan berzakat ataupun menunaikan ibadah haji.

Rasulullah mengatakan, “Orang yang paling gampang masuk surga adalah orang kaya yang mau bersedekah.”

Mendengar itu, seorang sahabat berkata, “Ya Rasul, bagaimana kalau saya ini tidak kaya?”

Rasulullah kemudian menanyakan kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu memiliki kurma?”

“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat tersebut.

“Kalau kamu memang memiliki kurma, maka bagi dua-lah kurma tersebut. Setengahnya sedekahkan kepada orang lain, sedangkan setengahnya lagi untukmu. Setengah yang kamu bagikan kepada orang lain tersebut akan mengantarkan kamu untuk masuk surga bersama orang kaya yang suka bersedekah,” perjelas Rasulullah kepada sahabat tersebut.

Lalu ada lagi sahabat yang bertanya ketika itu, “Ya Rasul, saya tidak kaya dan tidak punya kurma. Kalau seperti ini, berarti saya susah masuk surga?”

Lalu Rasulullah bertanya kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu mempunyai air satu gelas?”

“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat tersebut.

“Kalau begitu, yang satu gelas tersebut kamu bagi dua. Setengahnya untuk kamu, sedangkan setengahnya lagi kamu sedekahkan kepada orang lain yang membutuhkan. Maka setengah yang kamu sedekahkan kepada orang lain itu akan mengantarkan kamu masuk surga bersama orang yang punya kurma yang dibagi dua tadi, dan juga bersama dengan orang kaya yang suka bersedekah.”

Lalu ada lagi yang bertanya, “Ya Rasul, saya ini tidak kaya, tidak punya kurma, dan juga tidak punya air satu gelas. Kalau begitu saya ini akan susah masuk surga?”

Lalu dijawab oleh Rasulullah, “Kalau kamu tidak mempunyai ketiga-tiganya itu, maka sedekahkanlah kepada saudaramu kalimat-kalimat yang baik, nasihat-nasihat yang baik, serta ucapan-ucapan yang baik.”

Nabi juga pernah mengatakan, “Hak seorang muslim itu adalah untuk didatangi pada saat ia sakit.” Jika itu adalah hak seorang muslim, maka muslim yang lainnya berkewajiban untuk mendatangi muslim yang sedang sakit tersebut.

Lalu Nabi juga pernah mengatakan, “Ketika kalian mendatangi orang yang sedang sakit, coba usap-usaplah dia dengan mengatakan, bersabarlah, karena ini ujian Allah.” Jadi, kita tidak perlu merasa berat untuk mendatangi dan menjenguk orang yang sedang sakit jika kita sedang tak memiliki apa-apa. Karena kita menjenguknya itu dalam rangka “kalimat thayyibah” kepada mereka yang sakit itu. Patut juga diketahui, kadang kala orang yang sakit itu kemudian menjadi sembuh lebih dikarenakan motivasi dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Semua kenikmatan itu diberikan oleh Allah karena kita diberikan kedudukan sebagai khalifatullah. Khalifatullah yang sangat efektif adalah khalifatullah yang menyadari dirinya, bahwa semua kenikmatan yang ada sekarang ini adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah, dan kita mensyukurinya hanya dengan jalan beribadah kepada-Nya.

Ibadah itu pada hakikatnya dalam rangka tiga hal:

Pertama, membina diri dengan baik.

Jika orang beribadah, tapi dirinya tidak terbina, sebenarnya ia belum mencapai tujuan itu. Misalkan, dia sering datang ke pengajian, tapi sifatnya tetap saja tidak pernah berubah. Ini berarti, bahwa dia menyimpang dari tujuan ibadah.

Mendidik dirinya itu adalah dalam rangka membina hubungan dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Penciptanya. Jadi, kalau kita mendengarkan pengajian, dan pengajian itu adalah ibadah, maka seharusnya pembinaan diri tersebut menjadi meningkat. Misalkan, kita mengetahui bahwa minuman yang memabukkan itu diharamkan oleh agama, yang hal tersebut kita ketahui setelah mendengarkan ceramah agama. Namun setelah itu, ternyata kita tetap mengkonsumsi minuman yang memabukkan tersebut. Jika seperti ini, berarti kita belum sempurna membina diri kita dalam rangka mencapai ibadah.

Kedua, dalam rangka mensucikan diri kita.

Mensucikan diri yang dimaksud adalah: Pertama, mensucikan diri dari sifat-sifat yang kotor. Kedua, mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor. Sifat kotor akan mendorong kita melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Makanya, perbuatan kotor itu kita minimalkan, bahkan kita hilangkan dari diri kita sendiri. Ketiga, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa. Jika kita pernah melakukan perbuatan dosa, maka kemudian kita bertobat kepada Allah dan beristighfar. Itulah tujuan dari ibadah yang kita lakukan.

Ketiga, mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala.

Kalau begitu, sasaran ibadah itu pada hakikatnya adalah untuk membina diri, mensucikan diri, dan mengisi diri.

Di dalam kehidupan kita sebagai khalifah Allah, maka ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama, ada yang harus dijaga. Kedua, ada yang harus dihindari.

Yang harus dijaga tersebut ada empat hal: Pertama, menjaga hubungan baik dengan diri sendiri. Kedua, menjaga hubungan dengan sesama manusia. Ketiga, menjaga hubungan dengan lingkungan. Keempat, menjaga hubungan dengan Allah.

Yang harus dihindari tersebut juga ada empat hal, yaitu: penzaliman terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap lingkungan, dan terhadap Allah.

Kesimpulan

Jika kita sudah menyadari bahwa diri kita sebagai “Khalifah Allah”, kemudian penciptaan kita itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, semua ibadah yang kita lakukan dalam rangka menjaga empat hubungan tadi dan menghindari empat hubungan tadi, maka manusia tersebut menjadi manusia yang muttaqin sejati.

Jadi, kalau kita ingin mendapatkan predikat orang yang bertaqwa sejati, maka sebenarnya ajaran-ajaran tersebutlah yang harus kita laksanakan. Orang yang bertakwa secara sejati, maka akan ada keseimbangan di dalam hidupnya. Dia selalu menjaga hubungannya dengan dirinya, dengan sesamanya, dengan alam, dan dengan Tuhannya.

Kalau manusia sudah seperti itu, pasti dia akan hasanatan fiddunya wa hasanatan fil akhirah. Di dalam tasawuf, manusia seperti inilah yang dinamakan insanul kamil, yaitu manusia yang sudah mencapai derajat para Nabi, terutama mencapai derajat Rasulullah Muhammad SAW. Derajat para Nabi yang dimaksud adalah derajat dalam hal amal ibadah, bukan sebagai Nabinya.

Semoga kita menjadi manusia yang menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, dan juga sebagai hamba yang harus beribadah kepada-Nya, dan kita bercita-cita agar kita menjadi manusia yang mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. [Navy]

Disarikan dari Kuliah Dhuha yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. pada tanggal 16 Maret 2008 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Tulisan ini dimuat di: https://thenafi.wordpress.com/

Entry filed under: Ceramah Agama Islam. Tags: , , , .

Tasawuf Fakir Miskin

17 Komentar Add your own

  • 1. koharr  |  29 Januari 2009 pukul 10:35 AM

    bang Hanafi. isi tulisan ini sangat mendasar dalam membentuk pandangan hidup berdasarkan Islam. namun, kejelasan dalam menyambungkan berbagai poin kayaknya harus diperbaiki. bagaimana hubungan khalifah, ibadah dan kesenangan hidup di dunia dan akhirat.
    selain itu, ana melihat contoh praktis dari konsep ini tidak relevan.hal ini karena bang Hanafi tidak memiliki pengertian yang jelas tentang manusia dalam pandangan Islam. bagaimana jabatan khalifah langsung dikaitkan kepada tindakan shadaqah? ana tidak langsung menilai salah, namun kurang tepat. harus digambarkan terlebiih dahulu mata-mata rantai dari definisi khalifah secara ijmaliy hingga tindakan praktis shadaqah. kalau abang mencontohkan langsung dengan kejadian-kejadian di zaman Nabi SAW haruslah dalam tinjauan yang komprehensif. jelas bahwa kejadian dalam contoh tersebut adalah di latari oleh situasi kondisi yang berbeda dengan saat ini. sehingga bagaimana keterkaitan antara shadaqah dan jabatan khalifah perlu diuraikan dengan lebih jelas. semoga kita diberikan petunjuk kepada jalannya para Nabi.

    Suka

  • 2. Hanafi Mohan  |  7 Februari 2009 pukul 8:33 AM

    Hal ini (hubungan antara diciptakannya manusia sebagai khalifah di bumi yang itu bertujuan untuk beribadah kepada Allah, dan tujuan dari ibadah tersebut adalah untuk mencapai kesenangan dan ketenangan hidup di dunia dan akhirat) sepertinya sudah jelas sekali dituliskan pada artikel ini, silakan dibaca lagi setiap poin pada artikel ini secara cermat.

    Yang harus diingat pula, bahwa ibadah yang dimaksud adalah semua aktivitas positif kita di dunia. Ibadah yang dimaksud bukan hanya ibadah mahdhah (ibadah ritual kepada Allah/ibadah vertikal berhubungan langsung dengan Allah), tetapi juga ibadah ghairu mahdhah (ibadah sosial/muamalah/ibadah horizontal berhubungan baik dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar kita).

    Anda mengatakan, bahwa contoh praktis dari konsep yang dimaksud pada artikel ini tidak relevan. Apakah sebenarnya yang anda maksud tidak relevan tersebut? Lantas yang relevan menurut anda seperti apa? Tak ada salahnya kan jika anda (dan juga kita) berbagi di sini.

    Anda juga menyatakan, bahwa contoh praktis dari konsep yang dimaksud pada artikel ini tidak relevan lebih dikarenakan saya tidak memiliki pengertian yang jelas tentang manusia dalam pandangan Islam. Menurut saya, anda terlalu mudah menjudge apa yang ditulis dan diutarakan oleh seseorang, sehingga dengan mudah anda mengatakan bahwa saya tidak memiliki pengertian yang jelas tentang manusia dalam pandangan Islam. Lantas bagaimanakah pengertian yang jelas tentang manusia dalam pandangan Islam yang anda ketahui? Mudah-mudahan anda berkenan untuk berbagi apa yang anda ketahui.

    Yang tertulis di artikel ini hanya sebagai contoh saja. Kedudukan manusia sebagai khalifah di bumi juga bisa dihubungkan dengan hal yang lainnya, seperti tindakan disiplin, kejujuran, moral, dan masih banyak lagi. Shadaqah hanyalah contoh kecil dari kedudukan manusia sebagai khalifah di bumi. Apakah anda memiliki contoh yang lain? Mudah-mudahan anda mau berbagi.

    Ya, memang sudah seharusnya tinjauan yang dilakukan adalah tinjauan yang komprehensif. Apa yang tertulis di artikel ini tak lebih hanyalah dari yang saya dengar dan kemudian saya sarikan dari Kuliah Dhuha yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. pada tanggal 16 Maret 2008 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta (kawasan Menteng). Jika anda tak keberatan, silakan saja datang ke kajian-kajian keislaman yang rutin dilaksanakan di Masjid Sunda Kelapa ini untuk mendengar langsung kajian keislaman dari para pakarnya.

    Oh ya, bukankah contoh terbaik dalam Islam adalah yang telah terjadi pada masa hidup Rasulullah. Sehingga tak ada salahnya kan jika kita mengambil hikmah dari kejadian pada masa itu. Dan memang kita akui, bahwa kejadian pada masa itu tentunya berbeda dengan kondisi pada saat ini. Karena itulah, dibandingkan dengan kondisi pada saat itu, maka untuk saat ini tentunya kita juga harus menyesuaikan dengan kondisi kekinian.

    Terima kasih atas komentar yang telah anda berikan pada artikel ini. Sekali lagi saya mengajak anda, marilah kita berbagi, bukan hanya memberikan sanggahan, melainkan juga membagi apa yang kita ketahui. Dengan begitu, maka cakrawala dan wawasan kita bersama akan semakin luas. Hingga kemudian semakin menegaskan bahwa benarlah adanya Islam itu sebagai Rahmatan lil alamin, agama yang cinta damai, agama yang cocok dan sesuai untuk kemajuan seluruh umat manusia dan alam semesta ini.

    Suka

  • 3. PUTRI RAFFLESIA  |  18 Maret 2009 pukul 7:21 AM

    bang,tolong donk ceritakan bagaimana sebenernya pandangan hidup manusi itu menut islam.jadi kalau dilihat disini masih banyak keraguan tentang apa sebenarnya pandangan hidup manusia menurut agama islam itu.

    Suka

  • 4. saleh  |  19 Juni 2009 pukul 7:43 AM

    konteks khalifah dalam islam sangat luas, dalam hal ini harus ada batasan yang jelas tentang hal tersebut, yang menjadi persoalan adalah siapa khalifah yang disebutkan sebenarnya dalam Alqur’an dan hadist itu.

    Suka

  • 5. saleh  |  19 Juni 2009 pukul 7:56 AM

    konteks khalifah dalam islam sangat luas, dalam hal ini harus ada batasan yang jelas tentang hal tersebut, yang menjadi persoalan adalah siapa khalifah yang disebutkan sebenarnya dalam Alqur’an dan hadist itu. (Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li ya’budu) dalam konteks ini masi umum apa lagi komteks setiap detik,sudah barang tentu juga harusdijabarkan secara tegas, konteks di atas sangat luas,sehingga umat bingung.

    Suka

  • 6. rio  |  23 Juli 2009 pukul 1:05 AM

    Saat ini saya sedang mencari tujuan hidup seorang manusia di dunia,
    Apakah mencari uang sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara, sikut sana sikut sini, menyogok, suap, fitnah, bekerjasama dengan jin
    ATAUKAH…
    Mencari uang sebanyak-banyaknya dengan tetap memperhatikan aturan-aturan ISLAM, jujur, ulet, sedekah, zakat, sholat,
    KEMUDIAN…
    Bagaimana kita memperlakukan harta yang kita miliki???
    Apakah membayar zakat dan sedekah? Berapa besar? yang ideal? mengingat Nabi dan Sahabat dahulu hidup dengan sederhana, walaupun sebenarnya mereka itu kaya raya…
    Mohon tanggapannya, bagaimana kita harus mensikapi hidup ini?
    Syukron

    Suka

  • 7. manusia dan pandangan hidup | Giginene's Blog  |  2 Mei 2011 pukul 4:19 PM

    […] Sumber : https://thenafi.wordpress.com/2008/06/13/pandangan-hidup-manusia-menurut-islam/ […]

    Suka

  • 8. Pujex Carlox's blog  |  2 Juni 2011 pukul 4:58 PM

    […] manusia dan pandanga… on Pandangan Hidup Manusia Menuru… […]

    Suka

  • 9. wwww  |  19 Maret 2012 pukul 8:21 AM

    trims bos… sudah ada ringkasannya hahahaha

    Suka

  • 11. Seseorang  |  23 Juli 2012 pukul 4:49 AM

    Assalamu’alaikum warrohmatullahi wabarokatuh.
    Terimakasih atas kabaikan anda untuk berbagi ilmu kajian ini. akhirnya saya lebih tahu sedikit mengenai tujuan hidup seperti yang anda gambarkan. Tetap semangat dlm berkarya ya!
    Wassalamu’alaikum warrohmatullahi wabarokatuh.

    Suka

  • 12. Apriano  |  25 Juli 2012 pukul 8:36 AM

    bukankah lebih baik jika khalifah itu malaikat, saya yakin malaikat bisa menjadi khalifah yang lebih baik. Apa kelebihan manusia dibandingkan malaikat ?

    Suka

  • 13. Apriano  |  25 Juli 2012 pukul 8:41 AM

    Jika Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat lalu untuk apa saya peduli dengan orang lain ? untuk apa saya bekerja keras untuk membiayai anak istri ? hidup saya hanya beribadah saja lalu mencari kesenangan dunia, apa itu benar ?

    Suka

  • 14. Apriano  |  25 Juli 2012 pukul 8:50 AM

    Saya yakin ketika Allah menciptakan manusia bukan karena Tuhan memerlukan bantuan manusia tetapi karena Tuhan ingin manusia menjadi pewarisNya dan mengasihiNya karena kasih Tuhan tanpa syarat.

    Suka

  • 15. Apriano  |  25 Juli 2012 pukul 8:57 AM

    PewarisNya, berarti manusia mewarisi sifat dan karakter Allah yakni mengasihi orang lain tanpa syarat (karena itulah makna kasih yang sejati) juga mengasihi diri sendiri (Percaya diri, memaafkan diri sendiri jika berbuat salah dll) karena dengan mengasihiNya kita bisa mencari kebenaran yang sejati

    Suka

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.066 hits
Juni 2008
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter