Makna Qana’ah

16 Juni 2008 at 3:38 AM 2 komentar


MAKNA QANA’AH

Disarikan dari Pengajian Tasawuf

yang disampaikan oleh:

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.

pada tanggal 7 Mei 2008

di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta

Transkriptor: Hanafi Mohan

Ada suatu ungkapan:

Idra’ ilallahi laa tadra’ ilannaas waqna’ bi ahsin fa innal ‘izza laa finnaas.

“Rendah dirilah kalian kepada Allah, dan jangan rendah diri kepada manusia. Merasa cukuplah kamu dengan tanpa berharap kepada manusia, karena kemuliaan itu tidak dengan berharap kepada manusia.”

Yang dimaksudkan di sini bukanlah untuk memutuskan tali silaturahim, tapi yang dimaksudkan adalah untuk tidak mengandalkan jalan hidup hanya kepada manusia dan melepaskan diri dengan Tuhan.

Rendah diri yang paling bagus itu adalah rendah diri yang ditujukan kepada Allah SWT, bukan mempertuhankan manusia, walau sehebat apapun manusia tersebut.

Wastaghni ankullizi qurban wa dirahmi. Innal ghaniyu manistaghna ‘aninnaas.

“Merasa cukuplah kamu dari setiap kerabat dan sanak saudara. Sesungguhnya orang kaya itu adalah orang yang tidak bergantung kepada manusia.”

Jadi, dalam hal ini ada kemandirian. Kalau ada orang yang nasibnya selalu digantungkan kepada orang lain dan sama sekali menafikan peran Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa, maka seluruh jalan pikirannya adalah bagaimana menarik simpati orang itu tapi tidak lagi bagaimana khusyu’ terhadap Allah SWT.

Tanda-tanda bagi orang yang sangat mencintai dunia, yaitu:

Orang yang mencintai dunia, melampaui cintainya kepada Tuhannya, maka orang ini sulit untuk memperoleh ketenangan.

Orang yang betul-betul mencintai Tuhannya, tidak mensyarikatkan Tuhan dengan makhluk apapun, maka orang itu nantinya akan mengalahkan seluruh kepentingan-kepentingan untuk isi dunia ini demi untuk Tuhannya.

Ciri-ciri orang yang masih mencintai dunia, maka lihatlah dalam kesehariannya. Apakah energi yang kita gunakan selama dalam satu hari lebih banyak untuk dunia atau untuk Tuhan? Kemungkinan kebanyakan kita lebih memfokuskan energi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Paling yang kita gunakan untuk mengingat Tuhan itu hanya sedikit waktu saja. Dan ini adalah hal yang manusiawi.

Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menyebutkan, bahwa cinta kepada Tuhan sudah tidak lagi menjadi faktor pengikat yang luar biasa.

Kesehariannya mungkin bisa saja adalah bekerja, dan hal-hal duniawi lainnya, namun semua ingatannya selalu tertuju kepada Tuhan. Semua pekerjaannya selalu lillahi ta’ala, meskipun pada saat yang bersamaan menyelesaikan urusan pekerjaannya. Sehingga, jika bertabrakan antara waktu kerja dengan waktu ibadah, maka apapun yang terjadi, ia akan menghentikan pekerjaannya itu.

Yang harus menjadi fokus utama kita adalah pengabdian kepada Allah, sedangkan yang lainnya hanyalah sebagai pendukung. Kecuali jika dalam keadaan darurat, misalkan ketika sedang shalat, kita melihat anak kita yang masih kecil merangkak keluar rumah yang kemungkinan akan terjatuh jika dibiarkan. Maka dalam hal ini alangkah lebih baiknya kita batalkan shalat dahulu, kemudian menyelamatkan anak tersebut. Setelah anak itu dirasa aman, barulah kita melakukan shalat lagi. Dalam keadaan darurat seperti ini, jika kita tetap melakukan shalat dengan mengabaikan anak tersebut sehingga ia terjatuh misalkan, maka kita dikatakan sebagai al-ghulu, yaitu beragama secara fanatik buta dan berlebih-lebihan.

Apakah sebenarnya darurat itu?

Dalam Islam ada tiga kepentingan. Pertama, kepentingan darurat (daruriyah). Kedua, kepentingan mendesak (hajjiyah). Dan ketiga, kepentingan sekunder (tahsiniyah).

Dalam hal ini, kita harus bisa memilah antara kepentingan tersebut jika berhubungan dengan ibadah atau perintah agama lainnya.

Ada kaidah: dar-ul mafasidu muqaddamul ‘ala jaddul mas’alih (menolak bahaya itu lebih utama daripada melakukan sesuatu yang bermanfaat).

Seorang muslim yang baik adalah seorang yang mempunyai kriteria dan sudah mampu menjalankan kriteria itu dengan baik, mampu memilah kebutuhannya sendiri. Kemampuan kita untuk membuat perhitungan-perhitungan dan kalkulasi-kalkulasi kebutuhan, maka inilah yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali di sini. Orang yang menginginkan di luar daripada kebutuhan daruriyatnya, maka orang tersebut sudah cukup. Apalagi kebutuhan tahsiniyatnya sudah terpenuhi, maka ini adalah lebih dari cukup. Kalau masih menginginkan lagi, maka ini biasanya lebih mengarah pada dosa. Orang seperti ini biasanya tak pernah puas akan kebutuhannya.

Imam Al-Ghazali menyebutkan, bahwa orang yang miskin itu hakikatnya adalah orang yang tak pernah merasa puas. Sedangkan orang yang kaya hakikatnya adalah orang yang merasa qana’ah.

Al-Ghina ghinan nafs (Orang yang paling banyak kebutuhannya, maka itulah orang miskin. Sedangkan orang yang tidak banyak kebutuhannya, maka itulah orang kaya).

Dalam definisi tasawuf, orang yang paling banyak kebutuhannya sesungguhnya adalah orang miskin. Sedangkan jika orang itu sudah tak banyak lagi kebutuhannya, maka sesungguhnya orang tersebut sudah menjadi orang kaya.

Menurut Abul Qasim Al-Junaidi, Ibrahim bin Ahmad, Al-Khawash, dan kebanyakan ulama berpendapat, bahwa keutamaan fakir melebihi kaya.

Ada orang yang mengatakan, bahwa baginya yang telah dimilikinya tersebut sudah lebih cukup ketimbang Tuhan memberikan kekayaan yang lebih dari itu.

Jadi ternyata, tidak semua doa orang itu sama. Ada orang yang selalu berdoa menginginkan kekayaan. Tapi ada juga orang yang tidak mau meminta kekayaan, ia takut nantinya jangan-jangan kekayaannya itu akan memisahkan dirinya dengan Tuhan. Ini menyangkut sesuatu yang sangat mendasar, karena menyangkut pandangan hidup kita.

Menurut Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Atha’, bahwa orang kaya yang bersyukur itu lebih utama daripada orang fakir yang bersabar.

Diriwayatkan dari Rasulullah, bahwa ketika itu para fakir (golongan pekerja) mengadu kepada Rasulullah mengenai orang-orang kaya yang menjadi saudagar mereka yang memiliki banyak keutamaan. Mereka orang-orang fakir itu menanyakan, “Ya Rasulullah, kami juga ingin seperti yang Rasulullah gambarkan itu, yaitu orang kaya menyumbang dan sebagainya, tapi kami tak bisa menyumbang, karena tak memiliki harta.”

Lalu dijawab oleh Rasulullah, “Maukah kalian jika aku beritahukan rahasianya, jika kalian mengamalkan ini, pasti di surga akan lebih mulia daripada orang-orang kaya itu?”

Lalu para orang faqir itu mengatakan, bahwa mereka mau diberitahu rahasia yang ditawarkan oleh Rasulullah itu. Rasulullah pun mengatakan rahasia tersebut, bahwa siapapun yang membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu akbar 33 kali setiap usai shalat fardhu, maka pahalanya nanti akan lebih hebat daripada pahalanya orang kaya yang memberi shadaqah.

Setelah diberitahu hal ini, para orang fakir (para pekerja) itu asyik berzikir setelah selesai shalat fardhu. Sehingga kemudian, para saudagar yang mempekerjakan para pekerja tersebut heran dengan kelakuan para pekerjanya yang seharusnya langsung bekerja setelah selesai shalat, tapi kini mereka (para pekerja) itu asyik dengan zikir mereka di masjid. Belakangan setelah mengetahui hal yang dilakukan para pekerjanya itu, para pemilik modal ini kemudian melakukan hal yang sama. Bahkan lebih asyik lagi dibandingkan dengan para pekerjanya, karena mereka (para pemilik modal itu) tidak harus bekerja membanting tulang seperti halnya para pekerja mereka.

Kemudian para orang fakir (para pekerja) mengajukan keberatan kepada Rasulullah, karena mereka tidak bisa lagi kompetitip dengan bos (saudagar) mereka.

Rasulullah kemudian menyatakan “zaalika fadhlullahi yu’tihimayyasya’” (yang demikian itu adalah anugerah Allah yang dianugerahkan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya).

Jadi, orang kaya yang shaleh yang suka bershadaqah merupakan pilihan Tuhan.

Hadits ini mengajarkan kita, bahwa lebih baik menjadi orang kaya yang bersyukur dibandingkan menjadi orang fakir yang sabar.

Disebutkan juga pada riwayat tersebut, bahwa utusan orang fakir yang datang menghadap Rasulullah itu kemudian berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya orang-orang kaya dapat menjalankan kebaikan. Mereka menjalankan ibadah haji dan umrah, membantu orang sakit dengan harta. Yang semua itu merupakan simpanan amal bagi mereka. Sedangkan kami ini tidak mampu untuk menjalankan semua itu.”

Meskipun sudah dijawab oleh Rasulullah sebelumnya bahwa Allah memberikan keutamaan kepada orang kaya yang pemurah, tapi para orang fakir tersebut tak pernah putus asa, bahwa mereka juga ingin seperti orang-orang kaya tersebut. Orang miskin seperti inilah yang disukai oleh Allah SWT. Kemudian Rasulullah memberikan solusi. Setelah itu, para orang fakir tersebut menanyakan lagi hal yang hampir serupa. Kemudian dijawab oleh Allah seperti tersebut di dalam Al-Qur’an, bahwa yang membedakan kemudian, meskipun orang kaya membaca subhanallah, wal hamdulillah, wallahu akbar, tapi usahakanlah anda bisa lebih khusyu’ lagi dari orang-orang kaya itu sendiri. Menjadi orang miskin itu tidak selamanya akan terkalahkan oleh orang kaya, sekalipun orang kaya itu pemurah, Karena pada umumnya orang kaya itu sulit berkonsentrasi karena terlalu banyak memikirkan hartanya, apalagi misalkan jika manajemennya adalah manajemen tradisional.

Jadi, apabila orang kaya membaca subhanallah, walhamdulillah, wallahu akabar, dan orang fakir pun membaca seperti itu, niscaya orang kaya itu tidak disamakan dengan orang fakir, meskipun orang kaya itu mengeluarkan infaq kepadanya sepuluh ribu dirham dan ditambah juga dengan seluruh amal kebajikannya. Jika ada kesungguhan orang miskin ingin memperbaiki kualitas hidupnya di mata Allah, maka Allah akan memberikan pointnya lebih tinggi kepada orang miskin dibandingkan kepada orang kaya, walaupun sama-sama khusyu’. Tapi mengapa orang miskin bisa mendapatkan point lebih tinggi daripada orang kaya? Karena, jika orang kaya khusyu’, maka tidak ada masalah dengan keluarganya. Sedangkan bagi orang miskin yang khusyu’, bahwa di sisi lain mereka juga selanjutnya harus membanting tulang untuk menafkahi keluarganya.

Dalam hal ini, tidak perlu kita mempertajam jarak psikologis antara kaya dan miskin. Inilah ajaran agama yang sesungguhnya. Jika bahasa agama kita seperti ini, maka orang miskin tak perlu lagi mencurigai orang kaya. Dan orang kaya pun tidak usah merasa angkuh dan memandang enteng terhadap orang miskin. Kalau sudah seperti ini, berarti kemiskinan dan kekayaan itu kedua-duanya adalah pilihan.

Setelah mendengarkan hadits di atas, utusan kaum fakir itu kemudian kembali dan memberitahukan kepada orang-orang miskin lainnya, bahwa Rasulullah mengatakan, walaupun sama-sama berzikir, tetapi yang mendapat point lebih besar adalah orang miskin. Menurut Rasulullah, bahwa yang penting adalah yang paling ikhlash. Jika sama-sama ikhlash, maka manakah yang paling khusyu’ di antara keikhlasan tersebut. Karena itulah, kekayaan dan kemiskinan jangan dipertentangkan. Jangan memandang enteng si miskin karena miskinnya, karena siapa tahu kemiskinannya itu mengangkat derajatnya di hadapan Tuhan. Jangan pula kagum sekagum-kagumnya terhadap orang kaya, karena siapa tahu karena kekayaannya itu justru Tuhan jauh dengannya. Dengan demikian, kaya dan miskin itu di hadapan Allah mempunyai timbangan yang sama.

Tujuan akhir dari perjalanan dunia ini adalah mencintai Allah dan menjinakkan hati kepada-Nya.

Apakah kita mampu untuk menjinakkan jiwa kita? Sepanjang yang menjadi dominasi di dalam pikiran kita sehari-hari bukanlah Tuhan, maka itu merupakan pertanda bahwa masih ada yang kita cintai selain dari Tuhan. Ukurlah tingkat kualitas cinta kita terhadap Tuhan. Apakah yang lebih banyak menyita perhatian kita Selama 24 jam? Apakah Tuhan atau mungkin makhluk Tuhan? Sepanjang kita lebih mengedepankan ciptaan Tuhan, maka hal itu merupakan pertanda bahwa kita belum mencintai Tuhan secara proporsional dan ideal, meskipun hal ini belum tentu berdosa. Mencintai harta itu bukan dosa. Mencintai makhluk Tuhan itu bukan dosa. Yang berdosa adalah ketika pada saat mengambil dan mencintainya itu tidak menurut prosedur syar’i.

Tidak ada yang salah jika orang itu cinta kepada kemewahan, harta, dan sebagainya. Dalam hal ini, tidak ada yang salah jika mencita-citakan sesuatu yang baik semisal harta dan kemewahan. Yang salah adalah jika pada saat memperolehnya adalah dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama.

Tujuan itu tidak akan tercapai kecuali setelah mengenal kepada-Nya, dan tidak berpaling daripada-Nya. Kefakiran dan kekayaan itu kadang-kadang termasuk di antara hal-hal yang dapat memalingkan daripada-Nya.

Karena tidak dapat mencintai Allah sekaligus mencintai dunia, maka apa yang seharusnya kita lakukan?

Orang yang mencintai sesuatu itu selalu disibukkan dengan yang dicintainya. Baik pada waktu ia berpisah dengannya, maupun pada saat ia bersama dengannya. Kelebihan dari mencintai Tuhan adalah bahwa Tuhan akan selalu menemani kita kapan dan di manapun. Kelemahan dari mencintai dunia bahwa berangsur-angsur kita ditinggalkan oleh yang kita cintai itu.

Dunia itu mengasyikkan bagi orang-orang yang lalai. Orang yang terhalang dari dunia itu disibukkan untuk mencarinya. Dan orang-orang yang mampu atas dunia itu disibukkan dengan memeliharanya dan bersenang-senang.

Mencintai Tuhan itu takkan pernah membuat seseorang rugi, baik di dunia, maupun di akhirat. Jika kita mencintai Tuhan dengan semaksimal mungkin, maka kita tak perlu takut tidak mendapatkan jodoh misalkan. Karena kekasih kita yang paling puncak sudah kita miliki. Mau meminta apalagi jika ternyata kita sudah memiliki yang menciptanya. Ini merupakan hiburan bagi yang belum mendapatkan jodoh. Jika masih ada semacam perasaan gelisah karena belum mendapatkan jodoh, maka hal itu menandakan bahwa cintanya terhadap Tuhan belumlah maksimal. Jika orang itu benar-benar mencintai Tuhan, maka yang lainnya itu hanyalah mengikuti.

Jika ingin dipuji orang, maka tinggalkan orang, dapatkan Tuhannya. Karena jika orang tersebut dikejar-kejar, maka orang tersebut akan semakin jauh. Tapi jika kita mengejar Tuhannya, maka nantinya akan ada cahaya batin (inner beauty) yang muncul.

Inilah berkahnya dekat dengan Tuhan. Ketika kita mengejar-ngejar sesuatu itu, maka hal itu akan semakin jauh. Tapi begitu kita lepaskan semuanya dan dekat dengan Tuhan, malahan semuanya akan berdatangan.

Janganlah menyedot energi mencintai makhluk Tuhan, karena makhluk itu akan semakin liar dan semakin jauh. Pusatkanlah perhatian untuk merangkul Tuhan Sang Pencipta semuanya, maka yang lainnya insya Allah akan mengikuti. Ini adalah rahasia sufistik. Jika kita mencintai Tuhan, maka otomatis yang lainnya juga akan mencintai kita, karena di sini kita menjadi magnet. Dan keuntungannya begitu banyak jika kita mencintai Tuhan. Kalau mencintai puncaknya (yaitu Tuhan), maka kita akan selalu tenang. Namun jika yang kita cintai adalah makhluknya (harta, manusia, dan sebagainya), maka Tuhannya lepas, sedangkan hartanya belum tentu didapat.

Sabda Rasulullah: Laisal ghina an kasratil ‘arad innamal ghina ghinan nafs (Tidaklah kaya itu dari banyaknya harta, akan tetapi kaya itu adalah kaya jiwa). [H.R. Muttafaqun ‘Alaih]

Jiwa yang kaya adalah lebih penting daripada memiliki harta yang banyak. Tetapi, sering kali menjadi prasyarat untuk memiliki jiwa yang kaya itu adalah terpenuhinya basic need kita. Bagaimana mungkin bisa hidup tenang, jika kebutuhan pokok kita tidak ada.

Menurut teori Maslow (terlepas dari berbagai macam kritik atas teori ini), bahwa tak mungkin orang bisa memelihara keamanan dirinya sendiri jika basic neednya tidak terpenuhi.

Hanya orang yang kenyang yang bisa memperhitungkan keamanan dirinya. Sebaliknya, jika tidak ada keamanan diri, tidak peduli nyawanyapun akan dipertaruhkan.

Setelah terpenuhinya basic need dan keamanan dirinya, biasanya orang seperti ini perlu bersosialisasi di masyarakat. Karena ada kepuasan tersendiri jika ia bisa berbuat sesuatu di masyarakat. Seseorang itu butuh dicintai, dan juga butuh mencintai. Jangan dikira bahwa kebutuhan kita itu hanya untuk dicintai. Tetapi kebutuhan untuk mencintai juga ada. Caranya adalah dengan bersosialisasi di masyarakat. Hal ini baru bisa dipikirkan jika anak tangga pertama (basic need) dan anak tangga kedua (keamanan) terpenuhi.

Setelah itu kemudian juga dibutuhkan aktualisasi diri. Ia tidak mempedulikan berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Ia tidak mempedulikan hal ini, asalkan ia mendapatkan kepuasan diri dengan bisa mengaktualisasikan dirinya di dalam masyarakat.

Kelemahan teori ini adalah tidak berlaku bagi orang yang beriman. Bagi orang yang beriman, setinggi apapun tingkatan sosial mereka, maka ia akan tetap dekat dengan Tuhan, tetap sujud di atas tempat yang paling rendah.

Inilah hebatnya menjadi orang yang beriman. Bagi yang kaya maka tak akan merasa kaya, sedangkan yang miskin maka tak akan merasa terhina.

Hal ini membuktikan, bahwa Teori Maslow itu hanya cocok bagi orang yang tidak beriman. Dengan demikian, beruntunglah kita karena memiliki iman. Orang yang beriman itu panjang umurnya. Mengapa? Karena stressnya kurang. Kalau mau memperpanjang umur, maka kuatkanlah iman. Karena itulah, orang yang beriman itu adalah iman-aman-amanah. Iman itu Bahasa Arab artinya aman. Aman itu artinya iman. Orang yang aman pasti punya iman. Dan orang yang beriman pasti amanah. Mu’minun artinya adalah orang yang merasa aman. Mu’minun asalnya berarti orang yang beriman. Jadi, orang yang beriman itu adalah orang yang merasa aman. Adakah iman di hati kita? Rasakanlah ketenangan itu. Jika hati ini tidak tenang, maka kemungkinan kita tidak beriman.

Orang yang beriman adalah orang yang selalu merasa aman walau apapun yang akan terjadi pada dirinya. Inilah saya, inilah garisan tangan saya.

Kita kembalikan semuanya kepada Tuhan, Innalillahi wa inna ilayhi raji’un.

Dalam hal ini, innalillahi … mestinya bukanlah ucapan yang dialamatkan untuk kesedihan, melainkan sebetulnya dialamatkan untuk kebahagiaan. Jika ada keluarga kita yang meninggal, maka kita mengucapkan innalillahi … yang berarti kita harus berbahagia, jangan bersedih. []

Entry filed under: Ceramah Agama Islam. Tags: , , .

Ayat-Ayat Fitnah Hakikat Kesuksesan

2 Komentar Add your own

  • 1. uniq  |  23 Juni 2008 pukul 9:15 AM

    memang sih dalam kehidupan sehari2,kita hendaknya selalu mengingat tuhan,sesibuk apapun harus mendahulukan ibadah tapi kadang karena dateline jadi kita mengabaikan hal itu.maka hendaknya kita benar2 memohon kepada tuhan agar diberikan nikmat keimanan yang kuat!

    Suka

  • 2. thenafi  |  2 Juli 2008 pukul 12:32 PM

    jadikanlah ibadah sbg kebutuhan kita.

    ibadah menjadi begitu berat ketika kita menjadikan ibadah sbg suatu kewajiban, sehingga kita bagaikan hamba sahaya.

    atau ada juga orang yg beribadah bagaikan seorang pedagang. dia beribadah hanya karena ingin masuk surga dan terhindar dari neraka, dia beribadah hanya karena ingin mendapat pahala.

    ibadah yg baik adalah ibadah yg dilakukan hanya utk mendapatkan keridhaan dari Allah. inilah ibadah orang yg ikhlas, dia tidak mengharapkan apa2, melainkan hanya keridhaan Allah lah yg ia harapkan.

    Suka

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.082 hits
Juni 2008
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter