Ibadah Haji

12 Desember 2008 at 10:45 AM 1 komentar


Haji sebagai salah satu Rukun Islam mempunyai tujuan yang sangat mulia. Seringkali orang tidak memahami apa tujuan ibadah haji, sehingga begitu pulang dari ibadah haji, tidak banyak didapatkan hikmah dan manfaatnya. Kalau kita kaji firman Allah di dalam Surah Al-Hajj ayat 27-28, Allah telah memaparkan hikmah dan manfaat ibadah haji yang sangat banyak, yaitu:

(27) Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (28) supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Q.S. Al-Hajj: 27-28)

Allah menginformasikan, bahwa ibadah haji itu setiap tahun tidak pernah sepi dari manusia. Setiap tahun, jamaah haji akan datang berbondong-bondong dari seluruh penjuru dunia. Hal ini bisa kita lihat pada saat orang melaksanakan thawwaf. Yang namanya Baitullah (Ka’bah), selama 24 jam setiap hari tidak pernah kosong dari manusia yang beribadah, walaupun hanya satu detik. Jam berapapun kita ke Baitullah, di situ pasti banyak orang yang thawwaf, salat, tadarrus Alquran, zikir, dan sebagainya.

Untuk apakah kita berhaji? Paling tidak ada dua tujuan yang akan diraih oleh orang yang berhaji:

Pertama, agar jamaah haji mampu menyaksikan, bahkan merasakan secara langsung tentang manfaat-manfaat ibadah haji bagi mereka.

Kedua, banyak berzikir kepada Allah pada hari-hari tertentu.

Allah menjelaskan, bahwa ibadah haji itu banyak manfaatnya, antara lain:

Pertama, taqquyatul aqidah taqquyatul iman. Haji itu akan mampu menguatkan iman orang-orang yang beriman.

Jika kita belum pernah berhaji ataupun umrah, kita baru sampai pada ‘ilmul yaqin. Kita baru sekedar tahu adanya Ka’bah di Mekkah yang merupakan kiblat kita ketika salat. Kita baru sekedar tahu yang namanya Hijr Isma’il, maqam Ibrahim, dan sebagainya. Tapi itu baru sekedar tahu. Begitu kita pergi haji, bukan hanya ‘ilmul yaqin, tapi akan meningkat menjadi ‘ainul yaqin, bahkan haqqul yaqin. Karena kita bisa melihat langsung apa-apa yang tadinya kita hanya sekedar tahu. Ketika itulah kita akan meyucurkan air mata. Tidak ada orang yang tahan ketika bertemu dengan Ka’bah. Karena itulah, Allah berfirman:

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (Q.S. Ali Imraan: 96)

Di sini Allah menggunakan kata-kata “Bakkah” yang merupakan nama lain dari Mekkah. Mengapa disebut Bakkah? Bakkah berasal dari kata-kata “Bakkin“, artinya orang yang menangis, karena banyak orang yang datang ke Mekkah, pasti menangis. Mungkin meratapi dosa-dosa yang telah lalu, mungkin terharu karena bisa datang ke Baitullah yang selama ini hanya diketahui dari cerita. Maka orang itu akan terenyuh hatinya, sehingga meneteskan air mata.

Jadi hikmahnya adalah memperkuat akidah dan keimanan kita.

Kedua, manfaat ibadah haji adalah ziyadatul ‘ibadah. Dengan ibadah haji maka kuantitas dan kualitas ibadah kita akan bertambah. Jika sebelum ibadah ibadah haji, ketika kita berada di kampung halaman kita, mungkin kita sering melalaikan ibadah. Ketika terdengar azan, mungkin kita tidak segera untuk salat. Tetapi ketika kita berhaji di Mekkah, hal seperti itu tentunya takkan terjadi. Di Masjidil Haram, sebelum waktu salat tiba, dua ataupun tiga jam sebelumnya kita sudah berada di Masjidil Haram. Bahkan untuk salat subuh yang biasanya dilakukan sekitar jam setengah lima, maka jam 2 ataupun jam 3 dinihari kita sudah harus berada di Masjidil Haram. Karena itulah, semangat ibadah ketika berada di sana itu begitu luar biasanya. Setiap waktu kita ingin thawwaf, salat sunnat, ingin membaca Alquran, karena kita yakin, bahwa salat satu rakaat di Masjidil Haram nilainya lebih baik dibandingkan 100 ribu rakaat di luar Masjidil Haram, sehingga motivasi kita sangat kuat sekali. Demikian juga ketika di Madinah, rasanya kita tidak ingin meninggalkan 40 waktu salat berjamaah di Masjid Nabawi, karena kita ingin mendapatan fadhilah dan keutamaan arbain di Madinah.

Maka dapat dipastikan, bahwa dengan ibadah haji ini, kuantitas dan kualitas ibadah kita akan meningkat, termasuk di dalamnya salat, infak dan sadaqah, zikir dan bacaan Alquran kita.

Ketiga, manfaatnya adalah tahsinul akhlaq (memperbaiki moral dan akhlak kita), karena sebelum kita berangkat haji, Allah telah memberi warning (peringatan) kepada kita:

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (Q.S. Al-Baqarah: 197)

Rafats adalah hubungan suami istri, ucapan atau perbuatan yang mengarah kepada syahwat, juga ucapan-uacapan yang tidak baik. Maka setiap jamaah haji dalam dirinya telah tumbuh kesadaran untuk selalu menghindari perbuatan rafats.

Fusuq adalah pelanggaran di dalam ibadah haji. Walaupun kita bisa membayar dam berupa seekor kambing sebagai sanksi atas pelanggaran tersebut, tetapi kita mempunyai komitmen untuk tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, yaitu agar haji kita mabrur, karena dengan haji mabrur tersebut seperti yang dikatakan oleh Rasulullah: al-hajjul mabrur laysalahu jaza’ illal jannah.

Jidala adalah berbantah-bantahan. Bahkan berbantah-bantahan pun tidak boleh. Oleh karena itulah, orang yang berhaji betul-betul latihan memperbaiki akhlaknya, tidak mau menyakiti hati orang lain, tidak mau melukai hati orang lain, bahkan tidak mau berbantah-bantahan karena takut akan merusak ibadah haji.

Inilah hikmah yang didapatkan, bahwa haji itu bisa memperkuat akidah kita, menambah kualitas ibadah kita, dan memperbaiki akhlak kita. Bahkan berhaji mempunyai hikmah akan menjadikan jamaah haji dan umrah menjadi orang-orang yang mulia, orang-orang yang lebih baik daripada sebelumnya.

Perhatikanlah, orang yang sudah berhaji dan berumrah pasti ada peningkatan kualitas iman, ibadahnya semakin baik, juga akhlaknya menjadi semakin baik, dan dia akan semakin mulia dan agung dibandingkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena setiap kita melihat Ka’bah, di situ antar jamaah akan saling mendoakan:

Ya Allah, Ka’bah ini begitu agung, begitu mulia, begitu berwibawa, maka tambahkanlah kemuliaan, keagungan, dan kewibawaannya. Dan mudah-mudahan setiap orang yang datang ke sini, baik untuk haji maupun umrah, yang mereka memuliakan dan mengagungkan Ka’bah, mudah-mudahan mereka kau tambahkan kemuliaan, keagungan, dan kebaikannya.

Jadi, antar jamaah saling mendoakan. Mustahil dari jutaan orang tersebut tidak ada yang makbul. Di sinilah hikmah dan manfaat ibadah haji.

Dengan ibadah haji dan umrah juga akan mampu menghapuskan dosa-dosa yang kita lakukan selama ini.

Rasulullah mengatakan: “Jamaah haji dan umrah itu adalah tamu-tamu Allah, sehingga Allah akan memuliakan. Jika mereka memohon ampunan, pasti dosa-dosanya akan diampunkan.“

Karena itulah, menurut Rasulullah: “Orang yang pergi haji, kemudian ia menjaga hajinya supaya mabrur, supaya baik, tidak melakukan rafats dan fusuq, maka ketika ia pulang akan seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya, yaitu tidak mempunyai dosa sama sekali.“

Di sinilah hikmahnya luar biasa. Bahkan lebih jauh lagi, karena jamaah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah, ketika mereka berdoa, maka akan dikabulkan oleh Allah. Doa itu akan diterima oleh Allah sangat tergantung kepada:

Pertama, yang berdoa siapa. Semakin ia dekat dengan Allah, maka doanya akan semakin mudah diterima. Karena itulah biasanya kita suka datang kepada para ulama, para awliya, mohon didoakan, karena beliau-beliau adalah orang-orang yang dekat dengan Allah. Semakin suci hati seseorang, maka doanya akan semakin mudah dikabulkan oleh Allah.

Kedua, doa itu akan diterima oleh Allah sangat dipengaruhi oleh waktu. Kalau waktu kita berdoa merupakan waktu mustajab, seperti waktu tengah malam, ketika kita sedang tahajjud, ketika orang lain tidur, maka Allah akan turun ke langit dunia menyampaikan rahmatnya, sambil mengatakan:

Barangsiapa yang berdoa, maka akan Ku-kabulkan, siapa yang istighfar maka akan Ku-ampunkan dosa-dosa.

Waktu Jum’at juga merupakan waktu yang mustajab. Waktu Hari Arafah juga merupakan waktu yang mustajab. Sehingga, kalau orang yang berdoa itu baik, shaleh, dan dekat dengan Allah, waktunya tepat, maka doanya akan sangat mudah diterima oleh Allah.

Ketiga, doa itu juga sangat dipengaruhi oleh tempat. Kalau kita berdoa di tempat yang mustajab, maka doanya akan lebih cepat dikabulkan oleh Allah. Jika kita berdoa di masjid yang merupakan tempat yang suci, jika kita berdoa di Padang Arafah, apalagi ketika wukuf, ketika kita berdoa di Masjidil Haram, ini merupakan tempat-tempat yang mustajab, apalagi di Multazam, di Maqam Ibrahim, di Hijir Ismail, yang itu merupakan tempat yang suci. Tempat yang biasa digunakan untuk beribadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi semacam qadha’ al-musyarafah dijadikan sebagai tempat beribadah, yang Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan semua nabi-nabi berdoa di situ, maka dapat dipastikan bahwa tempat itu adalah tempat yang sangat mustajab.

Ada suatu kisah nyata:

Seorang tabib yang kebetulan dia beragama Budha. Suatu ketika dia akan mengadakan pengobatan massal. Maka dia menyewa sebuah ruangan di hotel untuk pengobatan tersebut. Kemudian dia mencari tempat yang bagus. Pertama-tema dia masuk ke lobi, kemudian dia mencari ballroom, ternyata dilihatnya kurang bagus. Lalu dia naik ke lantai 2, dalam pandangannya ternyata kurang bagus. Sampai dia ke lantai 3, barulah dia mengatakan bahwa tempat itu bagus sekali, sehingga cocok untuk pengobatan. Kemudian dia menanyakan, mengapa tempat yang dimaksud itu auranya bagus. Dijelaskan oleh petugs hotel, bahwa di tempat itu kalau hari Jum’at digunakan untuk Salat Jum’at.

Ternyata tempat yang hanya seminggu sekali dipergunakan untuk beribadah itu mempunyai aura yang sangat bagus, berbeda dengan tempat-tempat yang lain. Apalagi Ka’bah Al-Musyarafah yang selama 24 jam setiap harinya selalu digunakan untuk beribadah, yaitu sejak zaman Nabi Adam hingga kini. Karena itulah, jika berdoa di tempat yang biasanya digunakan untuk beribadah, maka doa tersebut akan sangat mudah dikabulkan.

Inilah hikmah yang sangat besar bagi jamaah haji. Untuk itulah, jika kebetulan kita sedang berhaji, jangan lupa doakan diri kita masing-masing, keluarga kita, saudara-saudara kita, dan terutama bangsa dan negara ini juga kita doakan, mudah-mudahan mencapai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Tentunya masih banyak hikmah yang lain, seperti:

Dengan berhaji, kita bisa bersilaturahim kepada Umat Islam seluruh dunia. Sebab memang jika kita lihat, bahwa filosofi Islam itu banyak memerintahkan kita untuk menjalin ukhuwah dan silaturahim. Sebagai contoh, mengapa kita setiap hari diperintahkan untuk salat berjamaah? Karena dengan salat berjamaah, minimal selama sehari semalam lima kali kita bisa bersilaturahim dengan tetangga kita yang dekat, se-RT misalkan. Nanti seminggu sekali kita Salat Jum’at, mungkin ruang lingkup silaturahimnya akan semakin besar, se-RW atau mungkin se-kelurahan. Nanti setahun dua kali kita Salat Idul Fitri dan Idul Adha, kita salat di masjid yang besar ataupun di lapangan, di situ semakin banyak lagi jamaah yang hadir, sehingga silaturahim semakin luas. Kemudian, setahun sekali kita Umat Islam berhaji dan berumrah yang di situ kita bisa bersilaturahim dengan Umat Islam seluruh dunia, sehingga dengan silaturahim itu mungkin kita bisa mengadakan suatu kongres ataupun muktamar internasional untuk membicarakan problem Dunia Islam. Maka seharuasnya dengan ibadah haji akan bisa mengilhami untuk memperbaiki perekonomian Dunia Islam.

Kalau kita perhatikan, kita pergi haji dengan biaya yang sangat besar. Tapi sayang, biaya itu lebih banyak mengalir ke orang-orang non muslim. Sebagai contoh: kita pergi haji naik pesawat, bayarannya lumayan mahal. Kita sewa pesawat-pesawat ke negara-negara non muslim, karena kita belum punya sendiri. Yang pergi haji kita (orang Islam), boleh jadi pilot dan kru nya juga orang Islam, tapi yang mendapat keuntungan besar adalah yang punya pesawat yang kebanyakan adalah non muslim. Mengapa tidak kita pikirkan agar Dunia Islam mampu menyediakan pesawat untuk jamaah haji seluruh dunia, sehingga keuntungannya kembali lagi ke Negara Islam dan Umat Islam.

Kita semua pergi haji perlu kain ihram. Tapi sayang, yang mensuplay kain ihram malahan dari Negara Cina. Mengapa bukan Dunia Islam yang membuat kain ihram? Kita kan sebenarnya juga banyak pabrik-pabrik tekstil, tetapi mengapa kita tidak mampu untuk menciptakan kain ihram, sehingga seluruh kebutuhan jamaah itu terpenuhi oleh Dunia Islam.

Kita pergi haji semuanya memerlukan souvenir (oleh-oleh), seperti sajadah, surban, tasbih, dan sebagainya. Siapakah yang memproduksinya? Lagi-lagi, yang memproduksinya adalah Negara Cina. Mengapa kita (Dunia Islam) tidak bisa memproduksi souvenir-souvenir tersebut? Di sinilah seharusnya kita sebagai Umat Islam perlu memikirkan bagaimana kebutuhan Umat Islam, terutama untuk ibadah haji ini semuanya terpenuhi oleh Umat Islam.

Di sinilah mengilhami, agar haji juga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi bagi kita Umat Islam. Selain itu mungkin juga keuntungan secara politis. Seandaikan seluruh jamaah haji yang ada di Arafah mereka menggunakan kain ihram semuanya, kemudian berdoa untuk kepentingan Dunia Islam, sungguh luar biasa pengaruhnya. Tidak ada agama yang seperti Agama Islam, yang bisa menghimpun umatnya dalam jumlah besar di waktu yang sama di tempat yang sama seperti di Padang Arafah. Itulah hikmah dari ibadah haji.

Tentunya, hikmah yang besar ini mulai dari: taqquyatul iman, ziyadatul ibadah, tahsinul akhlaq, istijabatud du’a, yang itu semuanya bisa kita raih dengan syarat dua hal:

Pertama, kita akan mendapatkan hikmah yang besar manakala ibadah haji dan umrah itu dilaksanakan dengan ikhlas. Mengapa demikian? Karena ibadah haji itu banyak godaanany. Menurut Imam Al-Ghazali di dalam Kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwa orang yang pergi haji itu bisa jadi niatnya menyimpang. Ada di antara jamaah haji yang niatnya sekedar untuk berekreasi. Mungkin ada juga yang pergi haji untuk mencari peluang bisnis. Boleh kita mencari rizki, tapi niat utamanya tetaplah untuk beribadah haji, bukanlah untuk berbisnis. Boleh jadi orang yang beribadah haji itu sekedar untuk mendapatkan pujian.

Kedua, bahwa orang yang berhaji itu harus tahu ilmu mengenai tata cara ibadah haji. Mengenai hal ini sudah ada petunjuk dari Rasulullah (bukan sesuatu yang bisa kita karang-karang). Oleh karena itulah, kita mesti memahami proses ibadah haji. Bahkan bukan hanya sekedar pendekatan fiqh, tapi juga pendekatan tasawwuf, aqidah, dan juga filosofi. Sering kali orang yang berhaji tidak memahami filosofi dari ibadah haji, sehingga haji yang dilaksanakannya itu terkesan main-main. Mengapa kita harus mengelilingi Ka’bah (thawwaf), mengapa kita harus bersa’i (lari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwa), dan sebagainya, yang semuanya itu ada filosofinya, bukan hanya ritual belaka, dan bukan hanya sesuatu yang bisa kita samakan dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Dengan memahami filosofinya, maka kita akan merasakan nikmatnya ibadah haji dan umrah, serta akan merasakan hikmahnya yang besar. Setelah pulang dari haji, maka kita juga akan menjadi orang yang baik.

Kalau kita renungkan, mengapa orang yang pergi haji dan umrah itu terlebih dahulu disunnatkan untuk mandi ihram?

Mandi ihram itu bukan hanya sekedar memandikan diri kita secara fisik. Dalam kajian tasawwuf, seorang yang mandi ihram harus niat membersihkan kotoran-kotoran jasmaniah, dan yang tak kalah pentingnya adalah membersihkan kotoran-kotoran rohaniah, karena kita akan menghadap Allah Yang Maha Suci. Sedangkan Allah tidak akan menerima, kecuali yang suci.

Jamaah haji juga harus memakai pakaian ihram. Bagi laki-laki memakai kain yang tidak berjahit. Mengapa jamaah haji itu harus memakai pakaian ihram? Bahwa dengan pakaian ihram itu kita harus menanggalkan simbol-simbol keduniaan. Sungguhpun kita seorang Raja yang biasanya menggunakan pakaian kebesaran, maka ketika berhaji, semua pakaian kebesaran itu harus dilepaskan, sehingga kita tidak menjadi orang yang sombong. Ketika menghadap Allah, kita harus melepaskan semua simbol-simbol duniawi, sehingga tidak ada bedanya antara penguasa dengan rakyat jelata. Dengan pakaian ihram kita juga disadarkan, bahwa itulah pakaian yang akan kita kenakan ketika kita wafat, yaitu yang kita bawa hanya dua helai kain kafan. Sehingga bagi yang menghayati ihram, maka mungkin ia takkan korupsi, karena semuanya tak ada gunanya. Ketika meninggal dunia, semuanya itu akan ditinggalkan, karena yang kita bawa hanyalah iman dan amal shaleh. Dengan ihram, kita juga disadarkan, bahwa di hadapan Allah kita ini semuanya sama.

Thawwaf juga memiliki filosofi tersendiri, yaitu mengandung pesan: innalillahi wa inna ilayhi raji’un. Kita semuanya hidup dimulai dari Allah, diciptakan oleh-Nya, kemudian kita hidup, yang ujung-ujungnya kita akan kembali lagi kepada Allah. Inilah gambaran dari thawwaf. Kita mulai dari Hajar Aswad, kemudian kita keliling, akhirnya kembali lagi ke Hajar Aswad sebagai titik akhirnya.

Sa’i memiliki makna untuk selalu berusaha. Ketika Allah ingin menjadikan Makkah al-Mukarramah sebagai pusat ibadah umat manusia, maka Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk pergi ke Mekkah dengan membawa istrinya (Hajar) dan anaknya yang masih bayi (Ismail). Ketika sampai di Mekkah, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk kembali lagi ke Palestina dengan meninggalkan istri dan anaknya di Mekkah sendirian. Sebagai seorang suami, tentunya perintah seperti ini begitu beratnya. Tetapi karena Nabi Ibrahim beriman kepada Allah, yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan anak dan istrinya, maka ketika diperintahkan oleh Allah untuk ke Palestina, Ibrahim pun mematuhi perintah Allah tersebut.

Ketika ditanya istrinya akan ke mana dia, ternyata Ibrahim tak bisa menjawab, karena dia tak tega untuk memberikan penjelasan. Ditanya kedua kalinya oleh istrinya, Ibrahim pun masih terdiam. Ketika ditanyakan oleh istrinya apakah hal tersebut merupakan perintah Allah, barulah Ibrahim menjawab, bahwa memang benar hal tersebut merupakan perintah Allah. Lalu istrinya mengatakan, bahwa kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka semua. Akhirnya Nabi Ibrahim berdoa:

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (Q.S. Ibraahim: 37).

Pada hari-hari berikutnya, Hajar dan Ismail mulai kehabisan perbekalan. Makanan dan air sudah habis, air susunya pun sudah kering. Di sinilah Hajar sebagai seorang ibu yang bertanggungjawab kepada anaknya, dia berusaha mendapatkan air, sehingga ia pun lari dari Shafa ke Marwa. Dilihatnya di Bukit Shafa seakan-akan ada air, ia lalu mendekati, ternyata hanya fatamorgana. Dari Shafa ia lihat seakan-akan di Marwa ada air, lalu ia pun berlari lagi ke Marwa yang ternyata itu juga hanya fatamorgana. Sampai tujuh kali ia berlari-lari antara Bukit Shafa dan Marwa.

Di sinilah memberikan pelajaran kepada kita, bahwa hidup ini harus berjuang, bekerja keras, tidak cukup hanya berdoa. Walaupun istri dan anak seorang Nabi, untuk mendapatkan seteguk air pun, Hajar harus lari antara Shafa dan Marwa, yang ternyata itupun tidak ada hasilnya. Ternyata ketika Ismail meronta-ronta di sebelah Ka’bah, dihentakkan kakinya, di situlah keluar air zamzam yang hingga kini tak pernah kering waluapun diambil oleh manusia sedunia.

Hal ini memberikan pelajaran, bahwa boleh jadi sebagai orang tua kita berjuang untuk mendapatkan rizki, namun ternyata tidak berhasil, justru rizki itu datang lewat anak kita. Karena itulah, janganlah menyia-nyiakan anak, dan kita harus yakin bahwa anak itu membawa rizki dari Allah.

Jadi pelajaran haji ini begitu luar biasanya. Jika kita menghayati setiap ritual yang ada di dalamnya, maka kita akan mendapatkan pelajaran hidup yang begitu banyak.

Sa’i dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwa. Hal ini mengandung pesan, karena Shafa adalah simbol kebersihan hati (shafa’ul qalb), kita memulai usaha kita dengan ikhlas mengharap ridha Allah, kemudian berakhir di Marwa, yaitu mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

Setelah itu kita tahallul sebagai simbol pelepasan dari dosa-dosa kita. Maka orang yang pergi haji itu disunnatkan untuk bercukur sebagai simbol melepaskan dosa-dosa, setelah itu kita disunnatkan memakai peci putih yang artinya pola pikir kita ini sudah bersih dan jernih, sehingga tidak ada lagi pikiran-pikiran negatif.

Jadi kalau kita renungkan, betapa banyaknya hikmah yang akan kita peroleh. Belum lagi ketika kita berada di Padang Arafah sebagai miniatur Padang Mahsyar. Di situlah kita akan menghayati bagaimana kehidupan manusia kelak di akhir zaman, ketika kiamat, kita semuanya akan berkumpul di Padang Mahsyar yang merupakan tempat yang panas yang di situ tidak ada naungan, kecuali naungan Allah. Dan di situ pula tempat Rasulullah menerima wahyu terakhir (Al-Maidah ayat 3).

Maka kalau kita renungkan, bahwa di Padang Arafah ini kita diperintahkan oleh Allah untuk “‘arafah” (untuk mengenal diri kita masing-masing), karena dengan mengenal diri kita, maka akan sampailah kita mengenal Allah.

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (Barangsiapa yang mengenal diri, maka dia akan mengenal Allah).

Di situ tidak ada perintah apa-apa kecuali wuquf, yaitu diam, duduk merenungkan diri, bermuhasabah akan apa yang telah kita jalankan selama ini, apakah umur kita sudah digunakan untuk mengabdi kepada Allah, apakah kita sudah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan sebagainya. Maka, bagi yang menghayati wukuf di Arafah, dia akan kembali sebagaimana bayi yang baru dilahirkan.

Setelah itu Allah memerintahkan:

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (Q.S. Al-Baqarah: 198)

Masy’aril Haram adalah suatu masjid yang ada di Muzdalifah. Ini adalah tempat yang mustajab. Maka dalam hidup ini, setelah kita selesai beraktivitas, janganlah lupa untuk berzikir kepada Allah. Dalam kondisi apapun, berzikirlah kepada Allah. Jika dicermati, ternyata ayat Alquran yang paling banyak adalah memerintahkan untuk berzikir, yaitu ada 269 kali Allah memerintahkan kita untuk berzikir. Salat yang kita kerjakan sehari semalam (minimal 5 kali salat fardhu) itu tujuan utamanya adalah untuk berzikir kepada Allah. Ibadah haji tujuannya juga untuk berzikir kepada Allah. Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya, termasuk juga rangkaian ibadah di dalam ibadah haji.

Jadi ternyata, hidup ini penuh untuk berzikir. Maka sungguh pun kita tidak pergi haji, maka dalam kondisi apapun kita selalu diperintahkan oleh Allah untuk berzikir. Dalam Surah Ali Imran ayat 190-191 disaebutkan bahwa berzikir itu dalam kondisi apapun, berdiri, duduk, maupun berbaring:

(190) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (191) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imraan: 190-191)

Mudah-mudahan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia diberikan keselamatan oleh Allah, baik jasmani ataupun rohaninya sehingga bisa beribadah dengan sempurna. Dan mudah-mudahan kita-kita semuanya pada tahun-tahun mendatang diberikan kesempatan oleh Allah untuk bisa berhaji dan berumrah bersama dengan keluarga kita yang semuanya untuk meraih izzul islam wal muslimin. []

Disarikan dari Kuliah Dhuha Ahad yang disampaikan oleh KH. Hamdani Rasyid, M.A. pada tanggal 9 November 2008 di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan

Entry filed under: Islamika, Mozaik Islam. Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .

Menapaktilas Perjalanan Nabi Ibrahim Membaca dari Belakang

1 Komentar Add your own

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.082 hits
Desember 2008
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter