Sultan Hamid II; Federalis Itu Bukan Pengkhianat Bangsa

7 Januari 2009 at 2:05 PM 12 komentar


Allahyarham Sultan Hamid II

Allahyarham Sultan Syarif Abdul Hamid II Al-Qadri, Sultan Pontianak ke-8 (1945-1978)

Jika ditanya, siapakah yang menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya? Maka dijamin banyak yang tahu. Ya, benar, penciptanya adalah WR. Supratman. Tapi banyakkah yang tahu, siapakah perancang lambang negara Indonesia (Burung Garuda/Garuda Pancasila)? Kemungkinan besar tidak banyak yang tahu jawabannya.

Ternyata, perancang lambang negara Indonesia adalah seorang Sultan di Kesultanan Pontianak-Kalimantan Barat. Dialah Sultan Hamid II. Banyak yang tak tahu akan hal ini. Kiprahnya dilupakan, bahkan beliau dituding sebagai pengkhianat bangsa. Ia dituduh sebagai dalang pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Westerling). Begitulah sejarah, siapa yang berkuasa, maka dialah yang bisa menulis sejarah sesuai dengan versinya (versi penguasa).

Sultan Hamid II memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan

Sultan Hamid II dengan senyum khasnya

Sultan Hamid II dengan senyum khasnya

Indonesia. Beliau adalah Sultan Pontianak yang telah meneguhkan keberadaan Kalimantan Barat sebagai daerah yang seharusnya diperhitungkan dan dihargai sebagai negeri yang bermarwah. Beliau merupakan tokoh yang sudah kenyang asam garam perpolitikan pra kemerdekaan, semasa kemerdekaan dalam prosesi pembentukan identitas Negara Republik Indonesia ini, dan turut menjadi tokoh yang mempunyai peran dalam periode awal kemerdekaan. Karena itulah, eksistensi Sultan Hamid II tak pelak lagi menjadi percontohan yang mesti dibanggakan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

Selama sejarah berkembangnya negara ini, penuh cerita yang manipulatif, sehingga peranan-peranan putra Kalimantan ini diabaikan dan tiada dianggap sebagai tokoh yang memainkan peranan dalam pembentukan negara-bangsa ini. Sultan Hamid II di-stereotipekan sebagai pemberontak, anti negara kesatuan, dalang APRA, dan sebagainya. Sehingga dengan gampangnya sejarah yang dimunculkan mentadbirkan Sultan Hamid II sebagai sosok antagonis dalam republik ini.

Sultan Hamid II dan rekan-rekan sejawatnya

Sultan Hamid II dan rekan-rekan sejawatnya menghadiri resepsi Hari Ulang Tahun (HUT) Ratu Yuliana di Kedutaan Belanda Jalan Diponegoro, Jakarta.

Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Hamid Al-Qadrie, merupakan putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Melayu-Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda. Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang.

Beliau menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA (sejenis Akademi Militer) di Breda-Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda (KNIL = Koninklijk Nederland Indische Leger).

Sultan Hamid II dalam pakaian dinas

Sultan Hamid II dalam pakaian dinas

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945, dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Beliau juga pernah memperoleh jabatan sebagai Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Sultan Hamid II tanpak berbincang-bincang dengan para menteri usai Sidang Kabinet Hatta. Ketika itu, Sultan Hamid II diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai salah satu Menteri Negara.

Sultan Hamid II tampak berbincang-bincang dengan para menteri usai Sidang Kabinet Hatta. Ketika itu, Sultan Hamid II diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai salah satu Menteri Negara.

Aktivitasnya di bidang politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 1949-1950. Pada 13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota panitia mengusulkan tentang lambang negara. Dalam kedudukannya sebagai Menteri ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.

Pada tanggal 10 Februari 1950, Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai hingga saat ini. Rancangan lambang negara tersebut diresmikan dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Republik Indonesia.

Sultan Hamid II tampak sedang berbincang-bincang dengan Prince Bernhard (Pangeran Bernhard) dari Kerajaan Belanda.

Sultan Hamid II tampak sedang berbincang-bincang dengan Prince Bernhard (Pangeran Bernhard) dari Kerajaan Belanda.

Sultan Hamid II mempunyai jejaring diplomatik yang amat sangat berpengaruh dalam upaya mendapatkan pengakuan atas kedaulatan negeri ini. Namun kedekatannya dengan pemerintahan kolonial Belanda kerap dijadikan argumentasi bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat. Apalagi ketika tokoh ini menjadi ketua sebuah daerah federasi dengan nama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada awal tahun 1948 yang membawahi daerah swapraja dan neo-swapraja di Kalimantan Barat. Pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah. Lantas kemudian beliau memimpin delegasi BFO yang lebih setuju negara ini sebagai negara federal pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag-Belanda. Maka cukup sudah alasan untuk menyingkirkan dan mengubur dalam-dalam jasa-jasa Sultan Hamid II.

Beliau adalah seorang federalis, namun bukan berarti dirinya juga seorang yang tidak nasionalis. Ia mendukung pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi ia tetap menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai sebuah negara bagiannya. Hal inilah yang dihilangkan dari sejarah. Padahal, dengan kecakapan dan keluasan jaringan diplomasinya pada saat itu, jika memang beliau menginginkan DIKB menjadi negara bagian Belanda, maka boleh jadi Kalimantan Barat sekarang bukan bagian dari Republik ini.

Cita-cita Sultan Hamid II bersama-sama ketua-ketua daerah swapraja dan neo-swapraja lainnya sederhana sekali, bahwa dengan terbentuknya negara federal, mereka menginginkan kesepakatan seperti yang telah mereka buat yakni untuk membentuk pemerintahan Kalimantan Barat sebagai sebuah daerah istimewa, sebagaimana kedudukan Kesultanan Yogyakarta yang berstatus sebagai provinsi daerah istimewa yang masih wujud hingga kini. Tapi karena federalisnya inilah, Sultan Hamid II menjadi korban perjuangan politiknya. Bahkan seumur hidupnya difitnah sebagai “pemberontak”.

Suasana sidang Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana Sultan Hamid II hadir dalam sidang tersebut. Sidang ini membahas perundingan Indonesia dengan Belanda. Yang akhirnya menentukan kemerdekaan Indonesia, dengan kata lain Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Suasana sidang pada Konferensi Meja Bundar (KMB). Sultan Hamid II hadir dalam sidang tersebut.

Sultan Hamid II dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, sebagai wakil negara-negara bagian dan daerah federasi dengan gigihnya memperjuangkan agar negara Indonesia tetap menjadi negara federal. Selaku Ketua DIKB, Sultan Hamid II berusaha agar status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa mendapat pengakuan resmi dalam perundingan dengan pemerintah Indonesia dan Belanda.

Secara singkat, perjuangan tersebut tidak sia-sia. Kedudukan Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dan negara-negara bagian serta daerah federasi kemudian mendapat pengakuan dalam konstitusi negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Hal ini sesuai dengan perjanjian KMB tentang pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persetujuan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan pada tahun 1949 kepada pemerintahan RIS.

Jasa lainnya yang dihilangkan begitu saja adalah peranan Sultan Hamid II dalam KMB yang tidaklah semata-mata memperjuangan BFO dan Federalisme. Kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat ternyata tidak terlepas daripada jasa Sultan Hamid II yang mampu membujuk Ratu Yuliana selaku Ratu Belanda. Inilah bukti kelihaian diplomasi dan karena kedekatan Sultan Hamid II yang pernah menjadi Ajudan/Pengawal Ratu Yuliana-Belanda.

Garuda Pancasila, yaitu Lambang Negara Indonesia yang dirancang oleh Sultan Hamid II

Garuda Pancasila, yaitu Lambang Negara Indonesia yang dirancang oleh Sultan Hamid II

Hal lain yang juga dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi desainer dari Lambang Negara Indonesia yang masih terpakai hingga saat ini, yaitu Burung Garuda (biasa juga disebut Garuda Pancasila). Meski sejarah menutup-nutupi, namun sumbangsih Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Negara Indonesia tersebut tak boleh dilupakan.

Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada Sultan yang cerdas ini. Begitulah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model/bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu, terutama jika bertentangan dengan rezim yang berkuasa. Karena rezim yang berkuasalah yang menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.

Dalam hal tiadanya pengakuan negara, Sultan Hamid tiada sendiri. Ada Tan Malaka yang merupakan tokoh Pergerakan yang Revolusioner nan berjasa, tapi mati karena bangsanya sendiri. Ada juga Semaun yang tidak dihargai jasanya sebagai tokoh yang bergerak untuk memperjuangkan bangsanya, jauh sebelum 1945, tapi tak dianggap, hanya karena Semaun seorang yang berfaham kiri marxis sama halnya dengan Tan Malaka. Ada Natsir, yang keluar masuk penjara oleh bangsa yang diperjuangkannya. Dan ada juga Alex Evert Kawilarang seorang militer mumpuni yang hilang jejak sejarahnya hanya karena bermusuhan dan bermasalah dengan rezim Orba. Dan masih banyak lagi yang lainnya. [Hanafi Mohan/5Januari 2009]

Sumber tulisan:

Rudi Handoko, Sultan Hamid II, Federalisme dan Nasib Borneo Barat, link: http://www.wikimu.com/

Situs Web Kepustakan Presiden Republik Indonesia, link: http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/

Sultan Hamid II adalah Perancang Lambang Negara Republik Indonesia, Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, link: http://istanakadriah.blogspot.com/

Sultan Hamid II Perancang Lambang Negara RI yg terlupakan, link: http://swaramuslim.net/

Hamid II dari Pontianak, link: http://id.wikipedia.org/

Sultan Hamid II Pencipta Burung Garuda, link: http://www.liputan6.com/


Entry filed under: Profil Kita. Tags: , , , , , , , , , , , , , .

2008 dalam Kenangan Andaikan Setiap Hari adalah â€˜Asyura

12 Komentar Add your own

  • 1. Endry  |  8 Januari 2009 pukul 10:23 AM

    Sebuah kebanggaan bagi saya sebagai masyarakat kalbar Memiliki pemimpin seperti Beliau..

    Ya,,mungkin sejarah , di tuliskan berbeda oleh penguasa sebelumnya,,tapi sesuatu yang sudah di gariskan kebenaranya dan sudah terjadi tentu tidak bisa di bantah oleh siapapun…

    Semoga rakyat indonesia semakin giat menggali tentang kebenaran sejarah,,

    Terimakasih Untuk Mas Hanafi , artikel ini sangat bermanfaat

    Suka

  • 2. Hanafi Mohan  |  8 Januari 2009 pukul 10:47 AM

    Trims Endry atas kunjungan dan komentarnya.

    Sultan Hamid II bukan saja patut dibanggakan, tapi patut dan layak diangkat sbg Pahlawan Nasional.

    Selama ini nama Beliau ditenggelamkan oleh Penguasa. Karena itu sudah selayaknya Beliau dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.

    Selain itu, namanya juga sudah semestinya dibersihkan, yaitu dibersihkan dari fitnah2an dan tuduhan2 yg sebenarnya apa yg difitnahkan dan dituduhkan tsb tak pernah dilakukan oleh Sultan Pontianak ini.

    Sultan Hamid II setidaknya juga bisa menjadi inspirasi setiap warga Kal-Bar untuk membangun Kal-Bar lebih baik lagi ke depannya.

    Suka

  • 3. Endry  |  8 Januari 2009 pukul 11:22 AM

    Saya setuju dengan pendapat Mas Hanafi…
    Memang seharusnya begitu,,,

    Tidak sepantasnya tokoh seperti Beliau mendapatkan predikat Penghianat , Beliau adalah salah satu tokoh penting bangsa ini,
    Kira2 ada ga ya mas,lembaga atau semacam badan yang bisa mengembalikan kehormatan dan Nama baik Orang2 seperti beliau..?
    Sangat disayangkan jika sejarah di kotori dengan anggapan dan opini yang di bentuk oleh segelintir orang saja.

    Tentu masyarakat kalbar sudah seharusnya belajar Dari Beliau , dan Orang2 seperti mas Hanafi yang peduli dengan perkembangan dan sejarah kalbar sudah sepantasnya mendapatkan apreseiasi dari masyarakat kalbar..

    Terimaksih untuk semangatnya mas..

    Salam hangat..

    Suka

  • 4. putra_kalbar2008  |  23 Agustus 2009 pukul 12:38 PM

    tttrima kasih berita dan informasinya…benar2 bermanpaat

    Suka

  • 5. putu rizky  |  5 September 2009 pukul 10:34 AM

    senang sekali membaca tulisan bang hanafi. banyak sekali kebohongan sejarah di negri ini, sangat menyedihkan. kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan nama baik sultan ini??
    semoga tulisan bang hanafi menjadi inspirasi bagi masyarakat pontianak untuk lebih mencintai sejarah dan menumbuhkan semangat untuk memajukan pontianak. amin

    Suka

  • 6. iqra fikri.  |  6 September 2009 pukul 7:42 AM

    inilah namanya “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”dan ini pulalah kekurangan dari bangsa kt yg tdk siap berbeda..bung hanafi anda salah satu pembuat kunci,utk membuka pintu sejarah bangsa kita lebih lebar lagi…thank yaa.

    Suka

  • 7. Izhar Rifki  |  8 September 2009 pukul 8:37 AM

    Salut de buat bang Nafi, anda sudah menggali dan membuka pintu kebohongan sejarah yang sengaja dibuat Pemerintahan yang picik dijaman itu..
    Semoga dengan tulisan anda dapat meluruskan sejarah Kalbar yang selama ini dipenuhi dengan kebohongan2 para penguasa untuk mendapatkan kekuasaan dengan mengorbankan jasa para Pahlawan2 Bangsa diantaranya Sultan Hamid II asli Putra Daerah Kalimantan Barat..

    Suka

  • 8. iman  |  17 September 2010 pukul 2:54 AM

    bangsa ini emang udah picik demi perut dan kekuasaannya sejak berdiri ya…sampai sekarang g berubah2,,mental bangsa terjajah 350 tahun yg g bisa hilang. ..wajar aja klo kita dapet musibah terus dinegeri ini, karena kita bangsa yang tidak tau terimakasih dan penuh penyakit hati. ..

    makasih mas hanafi, tulisannya benar2 membuka mata saya jika daerah kami KALBAR seharusnya memiliki sejarah yang patut diperhitungkan..semoga berawal dari tulisan ini kita dapat membuka mata bangsa ini, dan membersihkan nama baik yang mulia sri sultan pontianak ini, amin. . . .

    Suka

  • 9. Pujex Carlox's blog  |  2 Juni 2011 pukul 4:58 PM

    […] Sultan Hamid II; Federalis Itu Bukan Pengkhianat Bangsa […]

    Suka

  • […] SUMBER […]

    Suka

  • 11. erwin libert  |  27 Juli 2013 pukul 8:35 AM

    Saya sangat bangga denga SH II, karena lukisannya tersebut merupakan bentuk protesnya yang lembut namun tidak dipahami oleh Pemerintahan RIS jaman itu. Sekarang protesnya mulai terbukti. Banyak partai, ide, gagasan, namun tidak untuk membangun keseluruhan bangsa indonesia. Ada beberapa provinsi yang Gubernurnya saja yang mati-matian mengajak warganya maju, tapi perhatian dari pusat hampir tidak ada. Ada diskriminasi di Indonesia. Ga=Bodoh/Ru=Orang/Da=Perintah (orang bodoh yang memerintah) buktikan sendiri…… Harapannya di Kalimantan Barat, pemimpin tidak diskriminasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Miliki sikap SH II yang bangga menjadi orang asli Kalimantan Barat. Di agresi Jepang dirinya luput. Namun apa yang dibuat oleh Petinggi di RIS jaman itu? salam…..

    Suka

  • […] Berbeda dengan Moehammad Hoesni Thamrin (MHT), tetapi sama dengan Mohammad Hatta (MH) dan Anak Agung Gde Agung (AAGA), ide politik SHIIA lebih mengarah pada federasi. Walaupun begitu, SHIIA tetap seorang nasionalis, mendukung pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), dan tetap menolak keinginan Belanda untuk menjadikan Kalbar sebagai sebuah negara bagiannya (Lihat Nafi’s story, “Sultan Hamid II; Federalis Itu Bukan Pengkhianat Bangsa“) […]

    Suka

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.082 hits
Januari 2009
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter