Istishhab sebagai Sumber Hukum Islam

7 Februari 2009 at 10:24 AM 2 komentar


Sumber Tasyri’ pada era sahabat adalah: Alquran, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Ini semua merupakan sumber yang dijadikan rujukan oleh para ulama ketika itu dalam menetapkan suatu ketentuan hukum. Ternyata perkembangan yang terjadi melahirkan banyak peristiwa yang tidak tercover di dalam Alquran dan Hadis. Tidak pula kita jumpai kesepakatan (ijma’) ulama ketika itu. Kita juga tak bisa menetapkan hukum berdasarkan analogi (qiyas), sehingga sumber hukum yang juga menjadi pegangan para ulama ketika itu selain empat sumber hukum di atas, maka juga digunakan beberapa dalil, yaitu:

Pertama, At-talazum bayna hukmaini, yaitu keharusan menyamakan suatu hukum dari konsukuensi hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Alquran maupun Hadis, ataupun oleh Ijma’ dan Qiyas.

Kedua, Al-Istishhab, yaitu menetapkan hukum yang sudah ditetapkan oleh Alquran dan Hadis ataupun oleh Ijma’ dan Qiyas pada era yang pertama, kemudian ditetapkan pada kondisi yang kedua.

Misalkan, seorang yang baru bangun tidur, ia lalu wudhu’, kemudian ia salat berjamaah. Setelah itu ia keluar melakukan aktivitas lain (selain aktivitas salat). Ketika pada jam 8 pagi dia mau salat dhuha, namun dia ragu-ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum. Tidak ada kejelasan dalam hal ini. Artinya, ia tidak jelas-jelas batal, tetapi juga tak ada kejelasan atau tak ada jaminan kalau ia masih suci dari hadats.

Pada kasus ini, kita takkan menemukan dalil-dalil Alquran untuk menetapkan batal atau tidaknya wudhu’ yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, hadis juga tidak memberikan solusi, begitu juga ijma’ ataupun qiyas. Di sinilah Istishhab menjdi pegangan, yaitu menetapkan hukum yang awal. Dalam kasus ini, hukum yang awal tersebut adalah kita sudah wudhu’ karena kita yakin kita tadinya salat jamaah. Hanya di dalam perjalanannya kemudian kita ragu-ragu. Keragu-raguan ini tidak bisa menghapuskan kondisi awal yang yakin. Sehingga kondisi awal tersebut kita transfer pada kondisi ketika kita akan melakukan salat lagi, yaitu hukumnya menjadi suci. Penetapan hukum suci ini takkan kita jumpai di dalam Alquran, Hadis, Ijma’, ataupun Qiyas, melainkan akan ditemui dari Istishhab.

Istishhab adalah menetapkan hukum yang awal ditetapkan pada hukum atau kondisi yang kedua.

Istishhab ini pada prinsipnya ada lima macam, yaitu:

Pertama, Istishhab dari kondisi yang sudah ditetapkan oleh dalil syara’ dan akal. Misalnya, ada orang yang kawin yang itu banyak saksinya, sehingga secara syara’ nikah yang telah ia lakukan itu sah. Secara akalpun bisa diterima, karena jelas-jelas dihadiri oleh orang banyak. Ternyata dalam perjalanan rumah tangganya, kedua suami istri tersebut bertengkar dan mau bercerai. Mereka bingung memutuskan anak mereka akan mengikuti siapa di antara mereka. Ketika dihadapkan pada hakim, mereka ragu-ragu apakah yang laki-laki sudah menjatuhkan thalaq atau belum. Dalam kondisi ini, maka hukum yang asal bahwa mereka sudah sah menikah dan disaksikan oleh banyak orang (secara syara’ dan akal) walaupun dalam perjalanan tadi tidak ada kejelasan apakah sudah dithalaq atau masih tetap sebagai suami istri yang sah. Maka ditetapkanlah kondisinya masih sebagai suami istri yang sah.

Hal yang seperti ini semua ulama sepakat menerimanya. Semua ulama bersepakat, bahwa jenis yang pertama ini bisa dijadikan pegangan.

Kedua, istishhabul azam. Artinya, secara akal memang kita tak pernah mengetahui bahwa kalau sesuatu itu wajib. Maka hukum bisa menetapkan bahwa hal itu tidak wajib hukumnya.

Misalnya, apakah salat fardhu sehari-semalam itu lima kali? Jawabannya, iya, dengan dalil yang sudah begitu jelas seperti ditunjukkan pada banyak ayat Alquran dan juga Hadis. Apakah salat fardhu sehari-semalam itu hanya lima, tidak enam atau lebih? Ternyata secara logika tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa salat fadrhu sehari semalam itu lebih dari lima kali. Karena itulah, kalau ada yang menambah salat fardhu sehari semalam itu menjadi enam kali karena misalkan sangat inginnya dekat kepada Allah, maka yang ke enam ini jelas-jelas salah dan ini bisa-bisa mengantarkan kepada kekafiran, karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa salat fardhu itu enam kali sehari semalam.

Ketiga, istishhabul hukmi aqli ila an-yadad dalilusy syar’i, yaitu menggunakan istishhab dari suatu kondisi yang ditetapkan oleh otak. Apakah ini bisa dijadikan pegangan?

Misalnya, ada orang yang berzina, tetapi ia tak pernah tahu ada aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah melalui Alquran, tidak pula sampai kepadanya Hadis Rasulullah berkenaan dengan larangan zina.

Pada kasus seperti ini, para ulama terpecah menjadi dua. Kelompok I’tizal (kemudian dikenal sebagai kelompok Mu’tazilah) mengatakan, bahwa orang tersebut wajib didera atau dirajam. Kalau dia sudah beristri ataupun sudah bersuami, maka dirajam sampai meninggal dunia. Sementara mayoritas ulama menyatakan, bahwa orang tersebut takkan diapa-apakan, karena tidak ada dalil. Bagi kelompok Mu’tazilah, dalilnya ada, yaitu otak, karena otak kita bisa menghukumi bahwa zina adalah perbuatan buruk. Sehingga, tanpa ada ketentuan dari Allah pun, maka perbuatan buruk harus dijauhi. Sedangkan bagi kelompok kedua (mayoritas ulama) menyatakan, bahwa tak bisa seperti itu, karena dalam beragama kita memiliki aturan yang kongkrit dari Allah. Karena ini agamanya Allah, maka kita mengikuti Allah serta mengikuti Rasul-Nya. Kalau kita mengikuti otak, berarti agama kita adalah otak.

Kelompok Mu’tazilah mempunyai kaidah yang dikenal sebagai qaidatut tahsin wat-taqdir (kaidah-kaidah kebaikan dan keburukan). Misalkan, selama ini kita semuanya setuju dan sepakat bahwa korupsi itu adalah perbuatan yang tidak baik. Sehingga, misalnya walaupun tak ada ayat yang melarang korupsi dan mencuri, juga tak ada yang menunjukkan hal tersebut, maka melalui Istishhab jenis ini (menurut kelompok Mu’tazilah), maka wajib orang tersebut meninggalkan korupsi. Dan kalau orang tersebut melakukan korupsi, maka wajib dihukum, karena semua orang sepakat bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak baik. Begitu juga kalau ada orang yang tak mau mengeluarkan zakat, maka orang tersebut wajib diperangi atau dibunuh, karena dia meninggalkan kebaikan. Kebaikan adalah suatu ketentuan hukum, karena itulah kebaikan harus dikerjakan.

Jika kasusnya seperti ini, dan dengan pandangan menurut kelompok Mu’tazilah itu, maka misalnya kalau ada perintah Allah yang melarang mendekati zina, melarang korupsi, di manakah posisi perintah Allah tersebut? Menurut kelompok Mu’tazilah, posisi ayat Alquran tak lebih hanya menguatkan apa yang telah ditentukan oleh akal. Bahayanya berpandangan seperti ini, kalau ternyata ada ayat yang tidak cocok dengan akal (logika), maka ayat tersebut bisa diabaikan. Kalau cocok, maka ayat tersebut akan memperkuat ketentuan akal.

Berbeda dengan pandangan kedua (mayoritas ulama), bahwa sesuatu itu dikembalikan kepada ketentuan Allah. Jika Allah mengatakan bahwa hal tersebut dilarang, maka kita jauhi. Jika Allah mengatakan bahwa sesuatu itu merupakan perintah, maka kita kerjakan. Kalau tidak ada ketentuan, atau ada ketentuan tapi kita tak pernah tahu, maka hukum bagi orang tersebut adalah tidak dikenai hukuman seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut. Ini yang disebut sebagai Istishhabul Azam.

Klaim dari kelompok Mu’tazilah yang menyatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk menurut akal, ternyata belum tentu baik ataupun buruk menurut sebagian orang. Hal ini kadang terjadi di masyarakat. Kesimpulannya, baik ataupun buruk menurut logika itu sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan. Kalau sudah seperti ini, kita akan berpegangan kepada apa? Tentunya kita akan berpegangan pada ketentuan baik dan buruk yang ditentukan oleh Allah, bukanlah baik ataupun buruk yang ditentukan oleh otak.

Keempat, istishhabud-dalilusy syar’i maa ihtimaalil ma’aarif.

Sebagai contoh yaitu berkaitan dengan adanya ketentuan wajib melakukan salat. Seperti ketentuan-ketentuan lainnya, maka perintah salat pun ada sebab-sebab yang melatarbelakanginya, bahkan terjadi beberapa tahap. Ini yang dalam ketentuan Islam dinamakan nasakh (penganuliran). Misalkan, pertama kali perintah salat fardhu sehari semalam itu sebanyak 50 kali. Perintah tersebut kemudian dianulir oleh Allah, hingga turun menjadi 45 kali saja. Setelah itu dianulir lagi, sehingga turun menjadi 40 kali. Kemudian dianulir lagi, hingga turun beberapa kali, hingga menjadi 5 kali saja. Tidak ada ketentuan apakah 5 ini berhenti ataukah kemudian masih ada anulir lagi.

Mengenai hal ini, mungkin saja ada kemungkinannya dianulir lagi, sebab setiap ketentuan dari Allah itu (seperti tercatat dalam sejarah) banyak terjadi penganuliran mengenai suatu hukum. Misalkan, mula-mulanya meminum minuman keras itu dibolehkan, kemudian oleh Allah dinasakh (dianulir). Aturan itu kemudian diganti, yaitu meminum minuman keras itu dibolehkan ketika di luar mengerjakan salat, tetapi ketika akan mengerjakan salat (menjelang salat) tidak dibolehkan meminum minuman keras. Kemudian dianulir lagi, hingga ketentuan itu menyatakan, bahwa kapan saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa saja, mutlak dilarang mengkonsumsi minuman keras.

Dari kasus di atas, yaitu berkaitan dengan salat, para mujtahid menyatakan, jangan-jangan salat fardhu lima waktu itu ada kemungkinan dianulir lagi, tetapi kemungkinan ini memakai istishhab, yaitu sepanjang tidak ada perubahan, maka ketentuan mengenai salat wajib lima waktu ini tetap diberlakukan untuk kondisi sekarang ini.

Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa istishhab adalah menetapkan hukum yang awal itu ditetapkan pada hukum yang kedua sepanjang tidak ada perubahan. Sehingga, jika ketentuan mengenai salat fardhu lima waktu itu tak ada perubahan, maka ditetapkanlah bahwa salat fardhu tetap sebanyak lima kali sehari samalam, walaupun ada kemungkinan terjadi anulir lagi. Ulama bersepakat, bahwa ketentuan mengenai perintah salat fardhu lima waktu ini bisa dijadikan pegangan, sehingga kita wajib melaksanakan salat lima waktu (salat fardhu).

Kelima, istishhabul hukmu tsabit bil ijma’ fi mahallinniza, yaitu ketika menetapakan sebuah hukum berdasarkan ijma’. Misalkan, orang bertayammum ketika tidak ada air. Tayammum itu ada beberapa macam, antara lain tayammum karena tidak ada air, dan juga tayammum karena tidak bisa menggunakan air. Tidak bisa menggunakan air tersebut bisa saja karena orangnya mempunyai penyakit yang tak boleh terkena air, atau bisa juga karena memang tak bisa menggunakan air karena air yang ada itu dipergunakan untuk keperluan yang lebih penting seperti untuk minum ataupun untuk memasak (airnya sedikit).

Ketika tidak ada air, maka berdasarkan kesepakatan para ulama diperbolehkan untuk bertayammum. Tayammum itu menjadi batal karena hal-hal tertentu. Misalkan, jika setelah bertayammum itu, ternyata turun hujan, atau kemudian menemukan air, maka tayammumnya itu menjadi batal dan dia harus berwudhu’ lagi.

Pada kasus lain, misalkan seseorang bertayammum karena tidak ada air, setelah itu dia salat. Ketika sedang salat, tiba-tiba turun hujan. bagaimanakah hukumnya jika seperti ini?

Para ulama terpecah menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama menyatakan, pada prinsipnya yang menggunakan istishhab jenis kelima ini menyatakan, bahwa orang tersebut boleh meneruskan salatnya, dan salatnya tidak batal karena turunnya hujan.

Tetapi bagi yang tidak sependapat dengan dalil istishhab ini, maka orang tersebut otomatis salatnya hanya sampai di situ. Salatnya ketika itu juga menjadi batal, kemudian ia harus mengulang wudhu’nya lagi, kemudian barulah melakukan salat.

Hal-hal seperti ini takkan dijumpai di dalam Alquran dan Hadis, juga tidak ada pada Ijma’ dan Qiyas. Sehingga, hal ini perlu diketahui, karena ini adalah dalil hukum yang digunakan oleh para ulama pada generasi itu (generasi sahabat). Selain itu agar kita tidak menjadi katak di dalam tempurung yang kadang-kadang dengan gagah tapi “ngawur” mengatakan semuanya adalah selalu berpegangan dengan Alquran dan Hadis. Memang diakui, bahwa Alquran dan Hadis itu harus menjadi pedoman kita, tetapi apakah Alquran dan Hadis itu menjawab semua permasalahan yang terjadi kini?

Berkaitan dengan in, jangankan di masa sekarang, masa kedua pun (masa sahabat) ternyata sudah banyak masalah yang itu tidak ada petunjuknya di dalam Alquran. Tetapi secara umum, Alquran dan Hadis menyebutkan mengenai hal ini. Misalkan, dalil yang digunakan oleh para ulama mengapa menggunakan istishhab dalam kasus ini, maka ada petunjuk hadisnya:

Rasulullah menyatakan, bahwa jika ada suara yang berbunyi di perut, maka itu tidak membatalkan wudhu’, melainkan sampai terdengar suara yang sangat jelas atau tercium baunya. Jadi, kalau sudah terdengar jelas suaranya ataupun tercium baunya, maka barulah wudhu’ tersebut batal.

Dari hal ini dapatlah diambil hikmah, bahwa keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keragu-raguan. Keyakinan bahwa kita masih suci dari hadats tidak bisa dikalahkan oleh keragu-raguan apakah kita batal atau tidak. Hadis di atas menjadi sandaran bagi para ulama dalam menentukan persoalan-persoalan yang tidak ada ketika masa hidup Rasulullah. Karena itu, pantaslah dikatakan bahwa Islam adalah agama yang shaalihun li kulli zamaanin wa makaanin (Islam itu cocok untuk diterapkan di mana saja dan kapan saja).

Kini, tak seharusnya kita menjadi katak dalam tempurung, ternyata banyak dalil-dalil lain yang kita perlukan, salah satu di antaranya yaitu Al-Istishhab.

Jika dalil yang pertama adalah At-talazum bayna hukmaini, dan yang kedua adalah Al-Istishhab, maka yang ketiga adalah syar’u man qablana (syariat-syariat terdahulu). Makasudnya, bahwa syariat-syariat ataupun ketentuan-ketentuan yang ada dan berlaku pada umat-umat terdahulu (seperti umat Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dam sebagainya), sepanjang tidak ada ketentuan pada syariat untuk umat Nabi Muhammad, maka wajib kita pegangi, karena Allah pada hakikatnya mengutus agama ke dunia ini hanya satu, yaitu Islam.

Agama yang diturunkan sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad semuanya itu Islam, hanya saja masing-masing kadang-kadang disesuaikan dengan kondisi, sehingga beberapa aturan yang sifatnya cabang itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan untuk aturan-aturan yang sifatnya ushul, maka itu sama sejak zaman Nabi Adam hingga sekarang.

Berkaitan dengan hal ini, jika kita menemukan persoalan yang itu tidak ditemukan pemecahannya di Alquran, Hadis, dan juga tak ada kesepakatan ulama (ijma’) dan tidak juga diqiyaskan, maka kita juga bisa melakukan syariat-syariat yang pernah berlaku pada umat-umat terdahulu.

Misalnya mengenai khitan. Pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan, bahwa Rasulullah pernah menceritakan, sesungguhnya Nabi Ibrahim itu khitan pada usia 80 tahun. Maka dalam kasus ini, umat Islam pun bisa melakukan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim, dengan catatan sepanjang Alquran tidak menyinggung mengenai hal itu, tidak mengiyakan, tidak pula menghalangi, serta Rasulullah tidak mengiyakan dan tidak juga menghalangi. Maka dalam kasus ini, kita boleh melakukan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim.

Dari manakah para ulama berani mengambil dalil yang kedua ini? Mengenai hal ini ada dalilnya. Alquran memerintahkan hal tersebut, walaupun tidak secara tekstual dinyatakan seperti itu.

Allah berfirman:

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur’an)”. Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat. (Q.S. Al-An’aam: 90)

Jadi jelaslah, bahwa hal ini dilegitimasi oleh Allah. Belum lagi ada ayat lain yang menyatakan:

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.S. An-Nahl: 123)

Ini adalah landasan, bahwasanya sesuatu yang dikatakan sebagai syariat-syariat umat terdahulu itu sepanjang tidak dianulir oleh Rasulullah ataupun oleh Alquran, maka itu boleh dan harus kita jadikan sebagai sumber hukum, dan ini pernah terjadi ketika masa hidup Rasulullah.

Dalam suatu hadis dinyatakan, bahwa pada suatu hari Rasulullah menyaksikan orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa. Peristiwa ini terjadi di Madinah yang ketika itu memang cukup banyak orang Yahudi bermukim di kota tersebut. Orang-orang Yahudi ketika itu masih erat berpegangan kepada syariat Nabi Musa.

Rasulullah bertanya-tanya, puasa apakah gerangan yang dijalankan oleh orang-orang Yahudi itu? Sedangkan dia sebagai Nabi tidak mendapatkan perintah ataupun wahyu dari Allah berkenaan dengan puasa seperti halnya puasa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu.

Para sahabat memberitahukan kepada Rasulullah, bahwa puasa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu adalah puasa yang pada hari itu dahulunya Allah menyelamatkan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Hari tersebutlah kemudian diabadikan dalam bentuk bersyukur kepada Allah oleh orang-orang Yahudi atas pertolongan Allah menyelamatkan Nabi Musa. Begitu diberitahu seperti ini, maka Rasulullah pun bersabda:

Nahnu ahabbu bi Muusa minhum
Aku lebih berhak daripada mereka (orang-orang Yahudi). Karena itu, berpuasalah kalian semuanya pada hari itu.

Hal tersebut sebenarnya tak ada ketentuan di dalam Alquran. Tetapi karena hal itu merupakan tradisi (ketentuan/syariat) yang dilakukan oleh Nabi Musa dan kaum-kaum sebelumnya, maka Rasulullah pun menganjurkan umat Islam untuk juga melaksanakan puasa yang dimaksud. Kalau Rasulullah mau mencontoh dan melakukan, mengapa kita kemudian masih memprotes tentang hal itu? Inilah yang dinamakan sebagai syar’u man qablana (syariat-syariat terdahulu). []

(Disarikan dari Pengajian Tarikh Tasyri yang disampaikan oleh Dr. H.M. Masyhoeri M. Naim, M.A. pada tanggal 22 Januari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan)

Entry filed under: Fiqh, Islamika. Tags: , , .

Falsafah Ilmu dalam Islam Lahirnya Humanisme di Barat

2 Komentar Add your own

  • 1. abdul wahid  |  14 Desember 2009 pukul 3:47 PM

    Assalamu’alaikum wr. wb,
    Artikelnya sangat menarik, saya mohon izin coppy tulisan ini untuk di bahas di forum diskusi pada perkuliahan.
    Terima kasih.
    Wassalam.

    Suka

  • 2. Hilyah A_A  |  22 Juni 2013 pukul 12:59 PM

    artikelnya kok banyak memuat tentang kelompok JIL , ya ?

    Suka

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.082 hits
Februari 2009
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
232425262728  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter