Pengertian Tawakal

25 Februari 2009 at 3:58 PM 12 komentar


Tingkatan-tingkatan tawakal antara lain: tawakal level awwam, tawakal khawas, tawakal khawasul khawas.

Tawakal berasal dari kata “wakal” yang berarti “mewakilkan”. “Tawakkal” berarti memberikan perwakilan, kepasrahan, dan penyerahan diri kita kepada Allah. “Tawakkal” ialah menyamakan yang ada pada diri manusia, banyak ataupun sedikit.

Dengan kata lain, sepanjang kita masih mau membedakan yang banyak dan yang sedikit di dalam diri kita, maka kita bukanlah orang yang bertawakal. Biasanya kalau kita diberikan banyak, maka kita berterima kasih, tetapi jika diberi sedikit ataupun tak diberi, maka kita mengeluh. Kata-kata banyak dan sedikit bagi orang yang sudah bertawakal kepada Allah tidak lagi menjadi signifikan. Sudahkah kita seperti ini?

Pendapat lain menyatakan, bahwa tawakal adalah menanggalkan keinginan yang bersifat abstrak.

Ada orang yang hidup dengan angan-angan, bercita-cita untuk menjadi ini dan itu. Orang yang bertawakal takkan dibuai oleh angan-angan. Orang yang bertawakal angan-angannya hanyalah ingin menyerahkan dirinya dan Allah menerima dirinya.

Tawakal ialah ketetapan seorang hamba bersama Allah tanpa ketergantungan. Kalau kita masih tergantung kepada makhluk Allah, maka ini bukanlah tawakal.

Seorang istri takkan menggantungkan nasib sepenuhnya kepada suaminya. Demikian pula sebaliknya. Seorang karyawan takkan menggantungkan diri sepenuhnya kepada pimpinannya. Dia tergantung sepenuhnya kepada Allah.

Tawakal ialah menyempurnakan keyakinan kepada Allah. Keyakinan itu takkan terjadi kecuali dengan berbaik sangka kepada Allah, dan mempercayai sepenuhnya terhadap rezeki yang dijanjikan, serta meridhai terhadap ketentuan yang berlaku dari qadha’ dan qadarnya. Jika keyakinan seperti ini sudah sempurna di dalam hati kita, maka inilah yang dinamakan sebagai “tawakkal”.
Selama kita masih mengira-ngira negatif terhadap qadha’ dan qadar Tuhan, berburuk sangka terhadap Tuhan, kecewa terhadap pemberian Tuhan, maka kita tidak termasuk sebagai orang yang “mutawakkilin”.

Tawakal ialah menyempurnakan keyakinan kepada Allah. Kalangan para sufi menganggap, bahwa tawakal adalah “maqam puncak” (anak tangga puncak).

Ada suatu riwayat:

Hasan saudara Sinan mengatakan, sudah empat belas kali aku melaksanakan ibadah haji dengan kaki telanjang bertawakal. Kakiku tertusuk duri, namun aku tidak mencabutnya agar tidak merusak tawakal.

Jangan menggunakan akal untuk mencerna riwayat ini. Yang pasti, kita tidak akan melakukan hal seperti ini. Akal kita mengatakan, bahwa ini adalah orang gila. Namun buktinya, ternyata orang ini tidak merasa sakit, bahkan ia tidak cacat sedikit pun, ia telah bersahabat dengan duri yang menusuknya.

Ada suatu rombongan dari Syam datang ke seorang ulama bernama Bisyr Al-Hafi. Mereka meminta ikut beribadah haji bersama Bisyr. Lalu dijawab oleh Bisyr, bahwa ia mau asalkan mereka akan ikut dengan yang disyaratkannya. Ada tiga persyaratan yang diajukan oleh Bisyr: Pertama, kita tidak boleh membawa perbekalan apapun. Kedua, kita tidak boleh meminta apapun kepada siapapun. Ketiga, kita tidak boleh menerima apapun dari siapapun.

Rombongan dari Syam itu kemudian berkata, bahwa syarat pertama dan kedua sanggup mereka terima. Sedangkan syarat ketiga tak sanggup mereka laksanakan. Maka Bisyr Al-Hafi mengatakan, “Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dengan tawakal pada perbekalan haji, tidak tawakal kepada Allah.”

Itulah sebabnya, masih banyak di lingkungan Ka’bah orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, karena menganggap itu adalah Kota Tuhan. Tidak mungkin ada orang yang mati kelaparan kalau ia berangkat dengan tawakal, karena Mekah adalah kota berkah.

Abu Hamzah Al-Khurasani mengatakan:

Suatu saat aku pergi melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan, aku terjatuh ke dalam sebuah sumur. Nafsuku mendesak agar aku meminta tolong, namun aku tidak melakukannya, karena aku pasrah untuk menyerahkan segala jiwa ragaku untuk mencari ridha Allah di tanah suci. Begitu aku berpikir demikian, maka lewatlah dua orang laki-laki di pinggir lubang sumur. Salah seorang di antaranya berkata kepada temannya, “Mari kita tutup lubang sumur ini agar tidak ada orang yang terjatuh ke dalamnya!” Temannya kemudian menyetujui hal itu.

Aku ingin berteriak, tetapi aku berkata kepada nafsuku, bahwa aku hanya akan berteriak kepada Dia (Allah) yang lebih dekat kepadaku daripada dua orang itu. Lalu aku terdiam saja hingga mulut sumur itu ditutupi, kemudian dua orang itu pergi.

Satu jam kemudian, aku mendengarkan suara sesuatu yang berisik yang berusaha untuk membuka penutup sumur itu, kemudian mengulur-ngulurkan kakinya ke dalam sumur, sambil ia berkata kepadaku dengan berbisik lembut, “Berpeganglah pada kakiku!”

Lalu aku pun berpegang pada kakinya, dan ia mengeluarkanku dari sumur itu. Ternyata yang mengeluarkanku dari sumur itu adalah seekor binatang buas. Setelah itu, ia pergi dan meninggalkanku. Tiba-tiba aku mendengarkan suara entah dari mana, “Wahai Abu Hamzah, bagaimana pendapatmu? Kami telah menyelamatkanmu dari kebinasaan dengan kebinasaan.”

Sumur membinasakan, seandainya tidak diangkat secepatnya, maka Abu Hamzah akan kehabisan oksigen. Tapi dia diangkat oleh kebinasaan, karena binatang buas yang kelaparan seperti itu memang mencari manusia untuk dimangsa, namun ternyata binatang buas itulah yang menolongnya.

Keajaiban seperti ini pernah kita alami. Ketika kita pernah mencapai suatu puncak tawakal, tidak semua urusan kita itu tawakal puncak kepada Allah. Tetapi insya Allah di antara kita mungkin pernah ada yang mencapai puncak tawakalnya kepada Allah, dan pada saat itu juga Tuhan memberikan keajaiban kepadanya.

Tuhan tidak pernah mengecewakan kekasihnya. Karena itu, jadilah kekasih Tuhan.

Ada yang mengatakan, bahwa berdiam diri: tafakkur, tazakkur, dan pasrah, termasuk juga tidak berdoa terhadap jalan keputusan Allah, maka adalah lebih sempurna, rela menerima apa yang sudah berlalu daripada memilih dan mengikuti hak dan hasrat kemauannya.

Orang yang terlalu banyak berdoa jangan sampai tidak pernah melakukan tazakkur dan tafakkur. Biasanya, orang yang banyak tafakkur itu materi doanya kurang. Biasanya, orang yang banyak materi doanya itu kurang tafakkurnya.

Seandainya ada pilihan, lebih baik mana kita memperdalam tafakkur dan tazakkur kepada Allah, memasrahkan dan menyerahkan diri menyebut nama-Nya dibandingkan berdoa sebanyak-banyaknya?

Ternyata, lebih baik tafakkur sebanyak-banyaknya dibandingkan berdoa sebanyak-banyaknya. Dalam suatu hadis shahih disebutkan:

Barangsiapa lebih sibuk berzikir kepada-Ku daripada berdoa, niscaya Aku akan memberikan yang lebih utama daripada yang diberikan kepada orang-orang yang meminta kepada-Ku.

Berdoa itu mulia. Tetapi jauh lebih mulia kalau kita berzikir dan bertafakkur kepada-Nya. Yang keluar dari mulut orang-orang yang mencari Tuhan itu sesungguhnya bukanlah doa, melainkan munajjat.

Munajjat itu misalkan permohonan doanya paling-paling hanya satu dua buah saja, yang banyak itu adalah penyerahan dirinya kepada Tuhan, kepasrahan dirinya kepada Tuhan, memuji-muji Tuhannya, merindukan Tuhannya, merindukan Nabinya, memohon agar rindunya terhadap Rasulullah disampaikan oleh Allah. Yang sering keluar adalah permohonan pengampunan dosa. Mana ada doa-doa para wali yang meminta kendaraan mewah, yang meminta jabatan seperti halnya kita. Bagi mereka, itu adalah sampah-sampah dunia yang tidak mesti kita rindukan. Permintaan yang paling mulia ialah tafarruq ilallah (mendekatkan diri kita kepada Allah).

Jangan sampai doa yang kita panjatkan kepada-Nya itu didikte oleh hawa nafsu kita. Pekerjaannya rasio adalah selalu meminta hal-hal yang materialistis, juga kepuasan biologis. Pekerjaan nafsu adalah selalu ingin puas dengan seleranya, sehingga rohaninya tidak pernah kebagian konsumsi. Konsumsi rohani adalah tafarruq ilallah (kedekatan diri dengan Allah).

Mungkin kita memang masih jauh kelas tawakal seperti ini. Tetapi, paling tidak kita tahu, bahwa sudah ada orang yang sampai ke tingkat tawakal yang tinggi. Dan orang yang sudah sampai ke tingkat tawakal yang tinggi ini sudah begitu banyaknya. Dengan demikian, setidaknya dalam diri kita ada prinsip “mengapa mereka bisa, kita tidak bisa?” Tidak ada dispensasi Tuhan bahwa orang yang bisa tawakal hingga tingkat yang tinggi itu hanya para nabi. Siapapun anak cucu Adam bisa naik ke jenjang puncak tawakal. Tidak peduli miskin, tidak peduli kaya, melainkan siapapun bisa.

Ada sahabat Rasulullah yang bernama Sahal, ia ditanya tentang tawakal.

“Apakah serendah-rendahnya tawakal?”

Dijawab oleh Sahal, “Meninggalkan anak-anak.”

Ditanya lagi, “Apakah tawakal yang sedang?”

Jawabnya, “Meninggalkan ikhtiar.”

Kemudian ditanya lagi, “Apakah tawakal yang tertinggi?”

“Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali orang yang telah sampai di tengahnya tawakal.”

Sepanjang kita masih dipenuhi oleh angan-angan, apalagi angan-angan duniawi, meskipun itu hak kita, dan itu tidak terlarang, tetapi kalau angan-angan itu memadati pikiran kita, memadati benak kita, maka salat tahajud kita di tengah malam pun sepertinya tak ada gunanya jika dilihat dari perspektif tasawuf.

Seharusnya yang kita ingat hanya Allah yang berdekatan dengan kita di tengah malam itu, namun mengapa yang kita ingat terus malahan adalah angan-angan duniawi itu?

Sudah lupa berapa rakaat yang kita lakukan. Bukan lupa karena ingat Tuhan, melainkan lupa karena angan-angan di dalam benaknya itu dipakai salat tahajud, sehingga salat tahajudnya itu entah ke mana perhatiannya. Begitu juga ketika ia melakukan ibadah yang lain, tetap saja tidak mempan untuk mendekatkan diri dengan Allah, karena dia terhijab (terdinding) oleh angan-angannya itu, walaupun angan-angan itu mulia baginya dan tidak haram. Lebih celaka lagi kalau angan-angannya itu adalah angan-angan yang haram. Isi salat tahajudnya adalah angan-angan, sampah-sampah duniawi, sedangkan Tuhannya hilang.

Dalam suatu dialog, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Quraisy ditanya tentang tawakal. Ternyata, pendapat para ulama berbeda-berbeda definisinya tentang tawakal. Ini pertanda, bahwa tawakal itu merupakan pengalaman yang sangat pribadi.

Apakah tawakal itu?

Beliau menjawab, “Tawakal adalah menggantungkan diri kepada Allah pada setiap keadaan, dalam keadaan gembira, berkecukupan, maupun dalam keadaan tidak berkecukupan, sama saja. Hidup ini tergantung kepada Allah, berpegang teguh kepada Allah. Tidak akan menangis meronta-ronta karena kehilangan anggota keluarganya yang dijemput oleh ajal. Tidak akan sedih keterlaluan manakala harta kekayaannya itu dicuri orang. Bahkan, tidak akan menderita sekalipun jika dia digerogoti penyakit, karena hidupnya sudah tergantung sepenuhnya kepada Allah.”

Lalu ditanya lagi, “Apalagi setelah itu?”

Dijawabnya, “Meninggalkan menggantungkan diri pada setiap sebab yang dapat menyampaikan kepada sebab lain, sehingga Al-Haq itu yang memerintahkan untuk demikian.”

Al-Haq yang dimaksud adalah Allah.

Misalkan kita sebagai pegawai. Menjadi pegawai menyebabkan datangnya rezeki. Kalau kita masih menggantungkan diri pada sebab pekerjaan itu sendiri, seolah-olah jika kita tidak bekerja, ataupun kalau nanti di-PHK, maka sudah tak ada lagi kehidupan. Orang yang seperti ini tawakalnya sangat rendah.

Orang yang tawakalnya kepada Tuhan, maka ia takkan pernah takut dipecat. Demi mempertahankan prinsipnya hingga dia di-PHK, maka ini tak ada masalah baginya. Malah sebaliknya, justru orang yang tertindas itu biasanya lebih tinggi loncatan ke atasnya.

Allah mempergilirkan nasib setiap orang. Yang tadinya berkuasa menindas yang lemah, maka kemudian yang lemah malah menjadi penguasa menggantikan dirinya. Jika melakukan pengulangan sejarah, maka akan terjadi lagi pada dirinya. Inilah tabiat naluri kemanusiaan. Tetapi bagi seorang yang tawakal takkan pernah menjalani kegiatan seperti ini. Karena itulah, tidak ada orang yang tertindas. Tertindas dan tidak tertindas baginya sama saja.

Abu Said Ahmad bin Isa Al-Harras menyatakan, bahwa tawakal itu adalah goncangan dengan tanpa ketenangan, dan ketenangan tanpa kegoncangan.

Maksudnya, kalau orang sudah tawakal kepada Allah, maka ia akan tergetar, tergoncang dadanya. Siapakah yang tidak goncang kalau bertemu dengan sang kekasih?

Kegoncangan tanpa ketenangan merupakan suatu isyarat pada perlindungannya kepada wakilnya. Kalau kita sudah berlindung kepada Yang Maha Dahsyat dan Maha Kuat, maka kita akan tersedot oleh energi yang amat besar, hingga diri kita akan goncang.

Ketenangan tanpa kegoncangan juga terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini ibarat satu mata uang yang memiliki dua sisi yang berbeda. Bermohon dan bertawadhu’ di hadapan-Nya, seperti kegoncangan seorang anak kecil dengan tubuhnya kepada ibunya.

Kadang-kadang ketika kita sangat rindu kepada Allah, maka kita seperti kehilangan kekuatan normal kita, seperti kita tidak normal.

Orang tawakal itu ada fenomena fisiknya.

Abu Hasan Ali An-Naishaburi menyatakan, bahwa tawakal itu ada tiga tingkatan: tawakal taslim dan taqwiz. Maka orang yang bertawakal itu merasa tenang dengan janji Allah. Allah berfirman:

Dan tidak ada suatu makhluk melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Q.S. Huud: 6)

Inilah dalil yang digunakan oleh orang-orang yang sampai pada tawakal puncak.

Orang yang bertaslim adalah orang yang menyerahkan diri dan segala urusannya hanya kepada Allah. Itulah Islam. Maka cukup dengan diketahui oleh Allah akan keadaannya, karena Allah mengetahui apa yang ada padanya.

Orang yang bertaqwiz adalah orang yang pasrah, merasa ridha dengan keputusan Allah, yaitu dengan segala yang dilakukan oleh Allah kepadanya, baik itu sesuai dengan maksudnya ataupun tidak.

Kalau orang sudah berkepribadian taslim, maka penyerahan dirinya sangat kuat. Tapi kalau orang sudah bertaqwiz, maka kepasrahan dirinya sangat kuat. Jadi, taqwiz itu diawali dengan taslim. Efek yang timbul dari penyerahan diri itu adalah kepasrahan.

Kalau sudah muncul perasaan ini di dalam diri kita, jadi Islam itu bukan hanya dilakukan, namun juga dirasakan. Islam itu adalah penyerahan diri. Orang yang bertaqwiz itu adalah orang yang sudah pasrah. Jadi, sesudah Islam itu kita harus bertaqwiz.

Penjelasan orang-orang yang bertawakal:

Ketahuilah bahwa ilmu itu dapat mewariskan keadaan. Keadaan itu dapat membuahkan amal perbuatan.

Terkadang orang menyangka, bahwa makna tawakal itu adalah meninggalkan usaha dengan badan.

Bagi orang yang belum berpengalaman menjadi mutawakkilin, maka ia akan menghadap-hadapkan dan mempertentangkan antara tawakal dengan syariah. Sesungguhnya, pembekalan tawakal itu nampak dalam gerak-gerik seorang hamba. Orang yang cerdas menjalani tawakal itu, maka dua-duanya akan sukses. Dunianya akan sukses, akhiratnya akan lebih sukses lagi. Mengapa? Karena baginya pekerjaan dunianya juga merupakan pekerjaan akhirat. Bagi dirinya, pekerjaan dunia dan akhirat itu adalah satu paket. Ini adalah sinergi.

Mampukah kita membedakan teh dengan airnya? Mampukah kita membedakan matahari dengan cahayanya? Mampukah kita membedakan antara laut dengan ombaknya? Mampukah kita membedakan antara api dengan panasnya?

Tidak, kita takkan mampu untuk membedakannya.

Orang yang bertawakal, maka pada satu sisi dia pasrah seperti seonggok mayat, tetapi pada sisi lain dia juga akan menunjukkan sesuatu yang sangat aktif pada dirinya. Aktivitasnya itu ada tiga: dia berjihad, fisiknya bergerak, mengerjakan pekerjaan sosial tanpa mengenal lelah. Hal ini dilakukannya karena dia ikhlas. Ciri orang yang mutawakkilin adalah dia juga berijtihad, berpikir mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan umat.

Dalam suatu riwayat disebutkan:

Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dengan mengendarai unta. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah untaku aku biarkan saja?”

Dijawab oleh Rasulullah, “Jangan. Ikatkan dahulu unta itu, barulah bertawakal.”

Rasulullah mengajarkan kita, bahwa tawakkal bukanlah dengan cara melepaskan unta pada sembarangan tempat, kemudian menyerahkan kepada Tuhan untuk mengawasinya.

Terkadang orang bertasawuf hanya mengambil satu sisi saja. Terkadang ada yang terlalu rasional, dan terkadang juga ada yang terlalu mistis. Sesungguhnya kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Bagaimanakah dua wujud ini bisa menyatu?

Makna kehidupan ini seperti halnya Tuhan. Tuhan itu mempunyai dualitas. Satu sisi Dia Maha Keras, tapi di sisi lain Dia juga Al-Lathif (Maha Lembut, Maha Halus). Mengapa bisa seperti ini?

Kedua-duanya tidak perlu dipertentangkan, karena merupakan alat kelengkapan yang Allah anugerahkan ke dalam diri kita. []

Disarikan dari Pengajian Tasawwuf yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. pada tanggal 14 Januari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Entry filed under: Islamika, Tasawwuf. Tags: , .

Kitabuttawhid wa Tawakkal Betapa Pentingnya Menghargai Waktu Sekarang Ini

12 Komentar Add your own

  • 1. maryono yahya  |  20 April 2009 pukul 7:41 AM

    Sebagai orang awam, saya berusaha beramal disertai tawakal/berserah diri kepada Allah semata, dan tidak lupa berdoa/memohon yang saya sampaikan kepada Beliau. Iyya kana budu waiyya kanastaiin. Dengan tambahnya pengetahuan tentang tawakal dari bahasan ini, semoga tambahlah rasa tawakal kita kepada Beliau, Allah, Sesembahan yang Maha Pengasih.

    Suka

  • 2. Hayatozain  |  19 Desember 2009 pukul 10:25 AM

    Jazakalloh kkairankatsira atas artikelnya..
    mudah2an kita termasuk orang2 yang bertawakal.AMin ya Allah ya robbalalamin..’

    Suka

  • 3. maria  |  24 Januari 2010 pukul 4:04 AM

    sblmnya MAAF nih,, sY copy artikelnya,,buat tugas SCHOOL ,, gak pa2 kan? TERIMA KASIH bANYAK,, semoga kita termasuk org2 yang bertawakal..AMIN

    Suka

  • 4. Fini Althafunnisa El-Shirazy  |  23 September 2010 pukul 9:54 AM

    Ya Allah mdah2an kita trmasuk orang2 yang bertawakal yach….. aiin ya robbal alamin

    Suka

  • 5. Sultan Agung  |  20 Oktober 2010 pukul 11:42 AM

    untung ada blog ini ngerjain pr jd gampang

    Suka

  • 6. Pujex Carlox's blog  |  2 Juni 2011 pukul 4:58 PM

    […] Pengertian Tawakal […]

    Suka

  • 7. Syamsudin  |  10 Oktober 2011 pukul 3:40 PM

    Alhamdulillah kami bertambah yakin tentang tawakkal.trima kasih

    Suka

  • 8. Mss D'vil Rutu  |  2 November 2011 pukul 11:58 AM

    seneng bget dpt referensi tawakal buat debat , kok ndak da pertaxaan” tgas buat bahan debat q ya…………

    Suka

  • 9. ayaka  |  18 Maret 2012 pukul 7:49 AM

    makasih infonya, keren

    Suka

  • 10. Hamba Allah  |  27 September 2012 pukul 11:18 AM

    Thx Infonya
    Izin Sharenya !!!

    Suka

  • 11. ylnjn  |  15 Oktober 2013 pukul 6:21 AM

    hbggyok

    Suka

  • 12. ylnjn  |  15 Oktober 2013 pukul 6:21 AM

    ewefwaeffefWF

    Suka

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.082 hits
Februari 2009
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
232425262728  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter