Istihsan dan Mashalih Mursalah sebagai Sumber Hukum Islam

27 Februari 2009 at 3:45 PM 2 komentar


– Istihsan

Yang dikehendaki Istihsan adalah suatu kondisi yang itu berada di tengah-tengah di antara dua ketentuan. Seolah-olah jika dilihat dari satu sisi, maka hukum yang lebih cocok adalah A, tetapi jika dilihat dari sisi yang lain lagi, maka kelihatan hukumnya yang lebih sesuai adalah B.

Di dalam bahasa ulama, bahwa Istihsan itu adalah: mutarajidayni bayna ashlayni, yaitu adanya kemungkinan bisa kembali kepada dua sumber hukum yang berbeda. Misalkan ada suatu kasus yang jika diqiyaskan kepada suatu ayat, maka hukumnya adalah haram, tetapi jika diqiyaskan dengan ayat yang lain lagi, maka hukumnya menjadi berbeda lagi. Dalam kasus ini, tidak ada ayat Alquran yang jelas-jelas menunjukkan, juga tak ada Hadis ataupun Ijma’ ulama yang menunjukkan itu, Qiyas pun ada dua kemungkinan. Sehingga dalam kasus seperti ini digunakanlah Istihsan.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, yaitu apakah Istihsan (dari kata hasan) itu layak atau tidak layak dijadikan sebagai ketentuan (sumber) hukum seperti halnya Alquran, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Mayoritas ulama memakai Istihsan sebagai sumber hukum, sementara pada Mazhab Syafi’i tidak menerima Istihsan untuk digunakan sebagai sumber hukum.

Istihsan merupakan suatu kondisi yang berada di antara dua dalil. Berkaitan dengan hal ini, diriwayatkan bahwa pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar ibn Khattab ada seseorang yang karena begitu marahnya terhadap istrinya hingga mengeluarkan ucapan, “Anti thaaliqun tsalaatsan” (Aku menthalaq/mencerai tiga kepadamu). Dari sisi tekstual, ketika di zaman Rasulullah tak pernah ada thalaq (cerai) yang dihukumi kecuali hanya satu kali thalaq (sekali ucapan thalaq, maka dihitung thalaqnya itu adalah satu). Bahkan pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, ketentuan thalaq satu tersebut masih dipertahankan. Jika ada yang mengatakan bahwa ia menthalaq seribu kali pun (dalam satu kali ucapan), maka tetap dianggap thalaqnya hanya satu.

Selama dua tahun awal masa kekhalifahan Sayyidina Umar ibn Khattab, ketentuan thalaq itu hanya satu masih tetap dipertahankan. Tetapi pada tahun ketiga masa kekhalifahan Sayyidina Umar ini, maka terjadilah peristiwa thalaq tiga secara sekaligus tersebut (thalaq tiga dalam sekali ucapan). Karena begitu mudahnya orang ketika itu mengucapkan cerai yang mungkin hanya karena persoalan yang biasa-biasa saja, maka setelah kejadian tersebut, Sayyidina Umar akan langsung menghukumi thalaq tiga jika ada orang yang mengucapkan “Aku menthalaqmu tiga kali”.

Kondisi sebenarnya lebih dekat kepada dua persoalan, yaitu: Pertama, bahwa kalimat cerai adalah aqad, yaitu sama halnya dengan nikah. Sehingga seharusnya thalaq diqiyaskan atau lebih disamakan dengan aqad yang aqad itu bukan persoalan logika, melainkan persoalan tekstual yang ditentukan oleh Rasulullah. Ketentuan Rasulullah adalah, bahwa beliau tak pernah menjatuhkan (menghukumi) thalaq lebih dari sekali berapapun yang diucapkan dalam sekali pengucapan thalaq. Sehingga kalimat “Aku menthalaqmu tiga kali” lebih dekat kepada persoalan aqad, sehingga harus mengikuti teks, karena aqad adalah teks yang ditetapkan oleh syari’ (yaitu Allah dan Rasul-Nya), sehingga keputusannya seharusnya satu dalam sekali ucapan, walaupun diucapkan menthalaq tiga kali.

Kedua, pada sisi yang lain, thalaq (cerai) lebih disamakan kepada ayman (sumpah) dan nuzhur. Ucapan “kamu saya cerai” sama halnya mengucapkan sumpah “wallaahi, kamu saya cerai”, atau paling tidak sama halnya dengan nazar. Kalau nazar, maka tergantung kepada jumlah thalaq dari yang diucapkannya itu. Kalau dia bersumpah dan bernazar tiga, maka jatuhlah thalaq tiga seperti yang dimaksud dari ucapannya itu. Sehingga, orang yang mengucapkan “Aku thalaq kamu tiga kali” maka berada pada dua dinding ini (ma baynal amrayni). Secara logika lebih dekat kepada yang pertama (aqad), tetapi ternyata Sayyidina Umar mengambil yang kedua (yaitu ayman/sumpah) walaupun lebih jauh dibandingkan yang pertama.

Menentukan yang seperti ini, jika dihukumi satu, maka para ulama tidak berbeda pendapat, karena hal tersebut adalah keputusan yang benar. Tetapi ketika ditetapkan tiga, maka dalilnya karena Istihsan. Hal ini di antara sekian banyak contoh-contoh Istihsan yang dilakukan oleh para ulama yang ada teksnya tetapi tidak persis.

Pertimbangan-pertimbangan seperti ini muncul juga pada kemudian hari dengan istilah sumber hukum Islam yang kelima, yaitu al-mashalih (kemaslahatan). Kareba Istihsan secara prinsipnya berasal dari kata hasan, yang artinya baik yang itu identik dengan maslahah, yang artinya juga kebaikan.

– Mashalih Mursalah

Pada hakikatnya, al-mashalih artinya adalah mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk (yang tidak baik). Apakah yang dimaksud dengan “yang baik” tersebut? Para ulama menyebutkan, bahwa “yang baik” itu kriterianya adalah sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum, maka itulah kebaikan yang dimaksud tersebut, tak peduli jika menurut logika kita itu tidak baik. Ketika Allah mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan maka diperintah dan adalah keburukan sehingga dilarang. Sehingga kita tak mempunyai hak untuk mengatakan, bahwa babi itu baik, walaupun mungkin secara logika ada yang mengatakan bahwa babi itu lebih enak dibandingkan dengan daging yang lainnya. Ketika Allah melarangnya, maka itulah keburukan.

Mashalih itu ada tiga jenis, yaitu:

Pertama, al-mashalih al-mu’tabarah, yaitu kemaslahatan (kebaikan-kebaikan) yang memang secara tekstual ditentukan oleh Allah ataupun Rasul-Nya. Dalam kasus ini, para ulama tidak berbeda pendapat, semuanya sepakat bahwa kebaikan yang sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya tersebut memang harus kita pegangi.

Kedua, al-mashalih al-mulghah, yaitu kebaikan-kebaikan yang memang tidak pernah dianggap, bahkan jelas-jelas dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan keburukan. Walaupun hal tersebut baik menurut logika kita, tetapi ketika Allah mengatakan bahwa hal tersebut harus dijauhi, maka sudah jelas bahwa hal tersebut memang harus dijauhi. Para ulama juga tidak berbeda pendapat pada jenis yang kedua ini. Jenis ini memang harus dijauhi, tidak peduli apakah itu cocok (sesuai) dengan otak kita atau tidak.

Ketiga, mashalih yang tidak diketahui, apakah Allah menganggap hal itu sebagai kebaikan atau Allah menganggapnya sebagai keburukan, tidak ada petunjuk mengenai hal tersebut. Jenis yang ketiga ini di dalam kajian ushul fiqh dinamakan al-mashalih al-mursalah, yaitu kebaikan yang Allah dan Rasul-Nya tidak memberikan rambu-rambu apakah hal tersebut baik ataukah buruk, tidak ada kejelasan dalam hal ini. Di sini terjadi benturan-benturan pemikiran yang begitu tajam. Di sinilah para ulama berbeda pendapat, apakah jenis yang seperti ini kita serahkan kepada otak, ataupun jenis ini perlu dukungan yang lainnya.

Dalam kasus ini, hampir-hampir antara Al-Istihsan dan Al-Mashalih ini sangat erat kaitannya, sehingga kasus seperti yang terjadi pada Sayyidina Umar tersebut ketika ada orang yang mengatakan “anti thaaliqun tsalaatsan”, maka Sayyidina Umar menentukan jatuh tiga thalaqnya. Ini merupakan suatu perlawanan yang terkesan ekstrim dari seorang Umar ibn Khattab. Ketika ditanya mengapa beliau berani mengubah ketentuan Rasulullah, maka dijawab oleh Sayyidina Umar:

“Bahwa dulu ketika Rasulullah menjadi pemimpin, rakyatnya adalah orang-orang sepertiku. Sedangkan sekarang pada masa kekhalifahanku, rakyatnya adalah kalian yang jauh lebih buruk dari orang-orang sepertiku pada masa itu. Pada masa itu (masa hidupnya Rasulullah), kami akan berpikir berkali-kali untuk mengucapkan thalaq. Tetapi pada masa kekhalifahanku ini, kalian begitu mudahnya untuk mengucapkan thalaq, walaupun hanya karena persoalan yang sepele. Sekarang, biar kalian tidak lagi terlalu mudah untuk mengucapkan thalaq, maka akan kujatuhkan thalaq tiga sekaligus jika kalian mengucapkan menthalaq tiga. Ini adalah untuk kebaikan kalian semuanya, sehingga kalian tidak gampang menjatuhkan thalaq.”

Dalam hal ini, Sayyidina Umar tidak sembarangan, karena ia mempunyai pegangan, yaitu bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar tersebut adalah mashalih, karena berangkat dari kebaikan-kebaikan untuk kebaikan-kebaikan. Hal ini takkan dijumpai di dalam teks-teks Alquran, Hadis, Ijma’, ataupun Qiyas. Sehingga dalam kasus ini, hukum Islam akan stagnan jika tidak menggunakan sumber hukum seperti mashalih. Dari sini dapatlah kita pahami, bahwasanya sumber hukum Islam yang digunakan oleh para ulama, bahkan di zaman Rasulullah, di antaranya adalah mashalih.

Maqashid tersebut dianggap sebagai barometer untuk menentukan apakah suatu masalah itu termasuk maslahat (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), yang itu harus ditinjau dari maqashid atau maqshad atau tujuan dari ketentuan yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Para ulama kemudian menyimpulkan bahwsanya maqashid itu ada lima:

Pertama, maqashid hifzhud-din, yaitu tujuannya adalah menjaga agama. Salah satu contohnya adalah dianjurkannya kita berjihad ketika jihad itu memang diperlukan untuk menjaga agama. Sebab kalau tidak, umat Islam mungkin akan dibantai sehingga akan habis. Kalau pemeluk agama Islam habis, maka agama Islam juga akan habis. Namun kadang kita mengartikan “jihad” itu seenaknya saja, padahal jihad adalah suatu ketentuan yang sangat sakral dan sangat mulia.

Kedua, maqashid hifzhun-nafsi, yaitu menjaga diri. Tujuan syari’ (tujuan Allah) menentukan suatu ketentuan hukum adalah untuk menjaga diri. Misalkan mengenai ketentuan qishash. Qishash adalah membunuh seseorang yang memang sudah layak untuk dibunuh. Ketika ada seseorang yang membunuh tanpa adanya kejelasan, sehingga perbuatannya tersebut merupakan perbuatan yang sangat salah, maka hukum terhadap orang yang membunuh tersebut adalah qishash. Ditentukan dan dianjurkannya qishash ini pada prinsipnya adalah menjaga diri. Mengapakah qishash itu dianggap menjaga diri, sedangkan qishash itu sendiri merupakan membunuh?

Allah menyatakan, bahwasanya qishash itu adalah “hayaatun ya ulil albab” (qishash itu adalah kehidupan bagi kalian). Mungkin jika suatu saat kita sedang berada di Saudi Arabia, maka akan begitu terasa bahwa qishash merupakan suatu kehidupan. Biasanya pada hari Jum’at setelah imam mengucapkan salam, maka tiba-tiba ada pengumuman, maka itu pasti akan diadakannya hukum qishash, atau paling tidak potong tangan ataupun rajam. Diumumkan juga kepada seluruh umat Islam yang ada ketika itu dianjurkan untuk melihat pelaksanaan hukum qishash tersebut. Ketika melihat pelaksanan hukum qishash tersebut, mungkin akan begitu terasa di hati kita, mudah-mudahan kita diberi perlindungan oleh Allah agar tidak membunuh orang, karena hukumnya sangat berat. Inilah dampak psikis dari hukum qishash yang kita lihat itu. Sehingga orang yang melihat pelaksanaan hukuman tersebut, maka akan tertahan untuk melakukan tindak pidana. Inilah yang dikehendaki oleh Allah, bahwa qishash itu sebetulnya merupakan kehidupan bagi umat manusia.

Ketiga, maqashid hifzhul-aqli, menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih. Karena itu, disyariatkanlah ketentuan hukuman (had) bagi orang yang mabuk (baik itu karena minuman keras ataupun narkoba). Sehingga, tujuan dari mengapa orang yang mabuk ataupun menenggak narkoba itu dihukum adalah agar tidak melakukan hal tersebut, sehingga otak ini tetap jernih.

Keempat, maqashid hifzhun-nasab, yaitu menjaga keturunan. Menjaga keturunan yang dimaksud di antaranya menjaga nasab dalam bentuk perintah dan menjaga nasab dalam bentuk larangan. Menjaga nasab dalam bentuk perintah salah satunya adalah menikah. Jadi, menikah itu adalah ketentuan dan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti juga ketentuan dalam perintah-perintah yang lainnya. Sehingga kalau ada orang yang mengatakan bahwa nikah itu hanya untuk meredam nafsu seksual, maka berarti orang tersebut tidak paham pada syariat, karena sesungguhnya nikah merupakan perintah Allah untuk menjaga keturunan, dalam hal ini tentunya keturunan yang terhormat. Dalam bentuk larangan yaitu ketentuan dilarangnya melakukan perzinahan dan dianjurkannya menghukum orang-orang yang berzinah.

Kelima, maqashid hifzhun-maal, menjaga harta. Ada yang berbentuk anjuran, yaitu seperti perintah untuk bekerja mencari nafkah yang halal, yang hal ini sama dengan ibadah yang diperintahkan seperti dalam bentuk salat. Tujuan dari diperintahkannya bekerja adalah untuk menjaga harta. Selain itu, ada juga dalam bentuk larangan, yaitu larangan bahkan dihukumnya orang-orang yang mencuri dengan cara dipotong tangannya.

Inilah lima maqashid, yang kemudian disempurnakan lagi oleh para ulama menjadi enam, yaitu maqashid hifzhul-‘irb, yaitu tujuan menjaga kehormatan. Sehingga dalam hal ini, misalkan dilarang dan dihukumnya orang-orang yang melakukan qadhab dan li-an. Qadhab adalah menuduh orang lain berzina. Seseorang yang menuduh orang lain berzina yang itu tanpa adanya empat orang saksi, maka orang tersebut (orang yang menuduh) harus dihukum. Sehingga seseorang tidak seenaknya saja menuduh orang lain berzina. Kalau tuduhan tersebut kepada istrinya, maka dinamakan li-an.

Jika menuduh orang lain berzina yang kemudian tidak bisa membuktikan dengan empat orang saksi, maka orang yang menuduh tersebut akan dijatuhi hukuman cambuk. Mengapa seperti ini? Karena kehormatan orang Islam itu terjaga, tidak seenaknya saja menuduh orang lain melakukan perbuatan yang tidak terhormat. Bagi seorang suami yang menuduh istrinya melakukan perbuatan zina, maka si suami yang menuduh tersebut harus bisa membuktikan dengan bersumpah empat kali sebagi ganti dari empat orang saksi.

Kalau bersumpah atas nama Allah, maka taruhannya adalah surga dan neraka. Kalau bersumpah tidak dengan nama Allah, misalkan “demi langit dan bumi”, maka orang tersebut kafir. Jadi, konsekuensi bersumpah itu sangat berat. Sehingga orang yang dimintai sumpahnya itu sebetulnya jauh lebih berat daripada menghadirkan saksi. Dari hal ini dapatlah kita lihat, bahwa begitu kerasnya syariat menjaga kehormatan orang Islam.

Persoalan ini begitu pentingnya kita ketahui. Mengenai Alquran dan Hadis mungkin sudah sering kita dengar, tetapi hukum-hukum yang seperti ini mungkin jarang ataupun tak pernah kita dengar. Dan ini adalah ketentuan yang secara nyata terjadi pada para ulama.

Dengan mengetahui ini, mudah-mudahan akan membuka pikiran kita, sehingga kita tidak lagi seperti “katak dalam tempurung”, yang sedikit-sedikit kita mengatakan “hanya Alquran dan Hadis”. Memang tak dapat dipungkiri bahwa Alquran dan Hadis adalah sumber hukum Islam, tetapi bukan hanya Alquran dan Hadis, karena nyatanya para ulama tidak hanya bersumberkan kepada Alquran dan Hadis, melainkan ada sumber-sumber hukum Islam yang lainnya yang juga digunakan. []

Disarikan dari Pengajian Tarikh Tasyri yang disampaikan oleh Dr. H.M. Masyhoeri M. Naim, M.A. pada tanggal 5 Februari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Entry filed under: Fiqh, Islamika. Tags: .

Betapa Pentingnya Menghargai Waktu Sekarang Ini Shalat Sebagai Ibadah dan Upaya Menggapai Ridha Allah

2 Komentar Add your own

  • 1. junaidi N. Din  |  15 Oktober 2009 pukul 1:35 PM

    wah luas juga ni wawasanya

    Suka

  • 2. Pujex Carlox's blog  |  2 Juni 2011 pukul 4:59 PM

    […] Istihsan dan Mashalih Mursalah sebagai Sumber Hukum Islam […]

    Suka

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.087 hits
Februari 2009
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
232425262728  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter