Keistimewaan Ramadhan

11 September 2009 at 9:53 AM 1 komentar


IBEAUTY4Rasulullah pernah mengungkapkan pesan yang merupakan doa agar kita pun mengikutinya, yaitu:

Allahumma baarikna fi rajjab wa baarikna fi sya’ban wa baalikna ila ramadhan (Ya Allah, anugerahkanlah berkah kepada kami pada bulan Rajjab, dan anugerahkanlah berkah kepad akami pad abulan Sya’ban, serta sampaikanlah kami semuanya kepada bulan Ramadhan).

Dari doa ini tersirat, bahwa Rasulullah dan juga kita semuanya selalu mengharap agar dapat menemui Ramadhan setiap tahunnya. Ungkapan Rasulullah tersebut pasti bukan tanpa alasan. Seperti kita ketahui, bahwa bulan ini menjadi istimewa karena pada bulan inilah pertama kali Alquran diturunkan (nuzulul quran). Hal ini jelas diungkapkan di dalam Alquran:

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. Al-Baqarah: 185)

Pada ayat di atas ada kalimat “unzila fiihil quraan”. Dalam Alquran ketika berbicara tentang kitab suci ini dalam kaitan penurunannya, Allah menggunakan tiga istilah, yaitu: nazzala (menurunkan), anzala (menurunkan), dan unzila (diturunkan). Apakah perbedaan antara anzala dan nazzala? Ternyata kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, anzala dan nazzala artinya sama-sama “menurunkan”. Dalam kaidah ilmu Sharaf, nazzala itu mengisyaratkan li taksir (untuk mengungkapkan peristiwa yang berulang-ulang). Sehingga kalau dikatakan: nazzalal quran (menurunkan Alquran secara berulang-ulang) ini artinya sesuai dengan yang diterima Rasulullah, karena Rasulullah tidak menerima Alquran secara sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit.

Dari sinilah kemudian ulama Alquran bersepakat, bahwa anzala dan nazzala walau artinya sama-sama menurunkan, tapi mempunyai perbedaan dalam cara penurunannya. Anzala artinya adalah Allah menurunkan sekaligus. Sedangkan nazzala artinya adalah Allah menurunkan sedikit demi sedikit (berangsur-angsur) ayat demi ayat secara berulang-ulang. Mengenai makna ini dapat dilihat pada ayat berikut ini:

Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Q.S. Ali Imraan: 3)

Pada ayat di atas jelas tertulis bahwa ketika membicarakan Alquran, Allah mengungkapkan dengan kata nazzala. Tetapi ketika membicarakan Taurat dan Injil, Allah mengungkapkan dengan kata anzala. Ternyata di dalam sejarah Alquran juga diungkapkan, bahwa pewahyuan kepada Nabi Musa untuk menerima Taurat itu terjadi sekaligus. Dalam Surah Al-Baqarah diungkapkan:

Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Baqarah: 51)

Jadi, Nabi Musa menerima Taurat itu sekaligus. Maka di dalam Alquran digunakan kata anzala. Sedangkan Rasulullah menerima Alquran secara sedikit demi sedikit, maka digunakanlah kata nazzala. Bagaimanakah kaitannya dengan penurunan Alquran pada bulan Ramadhan?

Ketika dikaitkan dengan kapankah diturunkannya Alquran, maka diungkapkan bahwa turunnya Alquran pada bulan Ramadhan, tepatnya yaitu pada laylatul qadr:

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. (Q.S. Al-Qadr: 1)

Laylatul qadr yang dimaksud yaitu seperti yang diungkapkan pada ayat berikut ini:

sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Q.S. Ad-Dukhaan: 3)

Karena itulah, malam qadr (laylatul qadr) itu disebut juga sebagai malam yang penuh berkah.

Tahap-Tahap Turunnya Alquran

Para ulama mengisyaratkan bahwa Alquran itu turun dalam tiga tahap:

Tahap pertama, Alquran diturunkan Allah ke Lauh Mahfuzh. Dalam salah satu ayat diungkapkan:

(21) Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, (22) yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh. (Q.S. Al-Buruuj: 21-22)

Tahap kedua, penurunan dari Lauh Mahfuzh ke Baytul Izzah. Di sinilah Alquran diturunkan sekaligus.

Tahap ketiga, dari Baytul Izzah kepada Rasulullah secara bertahap yang awalnya adalah Surah Al-‘Alaaq ayat 1 sampai 5.

Sedangkan mengenai ayat Alquran yang terakhir turun, ada beberapa perbedaan pendapat mengenai hal itu. Ada yang mengatakan bahwa yang terakhir turun itu adalah Surah Al-Maidah ayat 3. Namun ayat ini setelah dilacak ternyata turun pada saat Rasulullah melaksanakan Haji Wadaa’. Setelah haji wadaa’ itu selesai, Rasulullah masih hidup 2 bulan 22 hari. Padahal, ternyata ada ayat yang turun sembilan hari sebelum Rasulullah wafat, yaitu Surah Al-Baqarah ayat 261.

Sehingga kemudian para ulama bersepakat, bahwa Surah Al-Maidah ayat 3 adalah ayat terakhir yang berkaitan dengan hukum, karena ayat itu membicarakan mengenai hukum-hukum yang ditetapkan Allah. Sedangkan Surah Al-Baqarah ayat 261 merupakan ayat terakhir dari segi waktu turunnya.

Nuzuul artinya adalah turun. Nuzuulul quran berarti turunnya Alquran. Apakah maknanya Alquran itu dikatakan turun? Yang turun bukanlah Alquran yang berbentuk buku, melainkan yang turun itu adalah ayat-ayat yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah. Karena itulah, Allah selalu memakai kata anzalna (Kami menurunkan). Dalam hal ini Alquran tidak diturunkan secara langsung oleh Allah kepada Rasulullah, melainkan melalui perantaraan Malaikat Jibril.

Laylatul Qadr

Mengapakah malam Nuzulul Quran selalu diperingati?

Pertama, karena hal itu merupakan titik tolak dari adanya sumber petunjuk yang mestinya diikuti dan dilaksanakan oleh umat Islam. Lebih-lebih lagi ketika Alquran mengenalkan dirinya sebagai hudan linnaas (sebagai petunjuk bagi manusia). Tetapi, kalau Alquran itu sendiri tidak dipahami dan tidak dilaksanakan, maka fungsinya sebagai petunjuk menjadi sia-sia, karena Alquran adalah benda mati, tidak mempunyai fungsi apa-apa, kecuali kalau kita yang meyakininya mau melaksanakan tuntunan-tuntunannya.

Sehingga dengan ungkapan: Allahumma baalikna ila ramadhan (Ya Allah, sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan) antara lain adalah untuk mengingatkan kembali bahwa pada bulan ini (Ramadhan) Alquran pertama kali diturunkan dan itu merupakan petunjuk bagi manusia yang mesti dilaksanakan untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkan.

Kedua, bahwa dalam bulan Ramadhan ini juga terjadi sesuatu yang selalu dinantikan umat Islam, yaitu yang disebut Laylatul Qadr (malam qadr). Laylatul Qadr yaitu malam yang penuh berkah, karena pada malam ini nilai ibadah yang dilakukan umat Islam sama dengan jumlah yang mereka kerjakan selama seribu bulan. Pada malam ini pula para malaikat turun untuk menyampaikan berkah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih mendapatkan Laylatul Qadr.

Tapi kemudian muncul persoalan, kapankah sebenarnya Laylatul Qadr itu terjadi? Jika kita mencermati Surah Al-Qadr, bahwa Alquran itu diturunkan pada Laylatul Qadr. Laylatul Qadr yang disebutkan pada surah Al-Qadr ini diyakini terjadi pada tanggal 17 Ramadhan.

Namun di sisi yang lain, Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk mendapatkan Laylatul Qadr pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah memberikan contoh dengan melaksanakan ibadah secara intensif yang disertai dengan i’tikaf di masjid. Mengenai hal ini, ummul mu’minin Aisyah pernah mengungkapkan suatu hadis yang kemudian diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Aisyah r.a. istri Nabi mengatakan bahwa Nabi saw. selalu beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau. Setelah itu para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau. (Al-Hadits)

Dalam shahih Bukhari diriwayatkan lebih dari 40 hadis yang berbicara tentang Laylatul Qadr. Namun ternyata informasinya berbeda-beda. Ada hadis yang menyebutkan, bahwa Laylatul Qadr terjadi pada bulan Ramadhan tanpa disebutkan kapan waktunya (tanggal atau hari ke berapa dari bulan Ramadhan tersebut). Sehingga dengan demikian, Laylatul Qadr bisa turun di setiap saat selama bulan Ramadhan. Pada bulan Ramadhan, umat Islam dianjurkan mensucikan diri, mengaktifkan ibadah, tekun membaca Alquran, karena siapa tahu Laylatul Qadr sudah turun pada awal-awal Ramadhan.

Ada juga hadis lain yang menyatakan, bahwa Laylatul Qadr terjadi di awal atau puluhan awal Ramadhan. Sehingga sejak inilah umat Islam pun melakukan ibadah-ibadah dalam rangka mensucikan batin. Ada pula yang mengatakan bahwa Laylatul Qadr itu terjadi pada pertengahan Ramadhan. Mungkin yang menjadi dasar bahwa Laylatul Qadr itu terjadi pada tanggal 17 Ramadhan adalah salah satu ayat di dalam Surah Al-Anfaal:

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Anfaal: 41)

Dua pasukan besar yang dimaksud yaitu pasukan muslimin dari Madinah dan pasukan kafir dari Mekah. Pertemuan dua pasukan tersebut terjadi tepat pada tanggal 17 Ramadhan, yaitu ketika Perang Badar. Dan 17 Ramadhan pada 13 tahun sebelumnya Rasulullah menerima wahyu yang pertama. Sehingga dari di sinilah kemudian dianggap bahwa 17 Ramadhan adalah Nuzulul Quran yang pertama, dan itu terjadi tepat pada Laylatul Qadr.

Namun, sebagian besar dari 40 hadis shahih Bukhari tersebut menyatakan bahwa Laylatul Qadr itu terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, yaitu dari malam 21 sampai malam 29. Sehingga dari sinilah Rasulullah pun menganjurkan umat Islam untuk beri’tikaf di masjid. Dan yang harus diingat juga, bahwa i’tikaf mesti dihayati sebagai sarana untuk mensucikan diri, karena ada orang yang sudah beri’tikaf, tetapi kemudian melalaikan yang wajib.

Karena itulah, jika ingin melaksanakan i’tikaf, tentunya harus didasari keimanan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah:

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan ibadah Ramadhan karena iman dan mengharap ridha-Nya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat.” (Muttafaq Alaihi)

Jadi, puasa yang kita laksanakan bukan karena merasa tidak enak terhadap tetangga ataupun malu dengan keluarga, melainkan betul-betul melaksanakannya karena Allah. Mungkin ada orang yang mau berpuasa agar menjadi sehat, bukan karena iman. Bisa jadi orang tersebut menjadi sehat, tetapi tidak akan mendapatkan balasan Allah dari imannya. Yang ia dapat sehatnya saja. Tapi kalau kita melakukan puasa dilandasi dengan keimanan, maka kita akan mendapatkan ridha Allah, dan juga akan mendapatkan kesehatan.

Tujuan Berpuasa

Puasa adalah suatu yang baik, maka di saat itu harus diisi pula dengan kegiatan-kegiatan yang baik sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Puasa merupakan bulan ibadah, karena itu kita pun harus mengisi waktu-waktunya dengan ibadah, baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah muamalah (sosial).

Ramadhan juga mempunyai makna “pembakaran”. Yang dibakar adalah semua dosa-dosa yang telah kita lakukan. Sehingga dengan begitu, dosa-dosa yang telah kita lakukan itu habis dibakar oleh ibadah kita di bulan Ramadhan. Karena ibadah dan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan di bulan ini, maka dosa-dosa yang telah kita lakukan menjadi terhapus dan diampuni oleh Allah. Tapi harus diingat juga, bahwa hal tersebut akan bermanfaat apabila kita tidak melanjutkan dan tidak mengulangi lagi dosa-dosa yang pernah kita lakukan itu. Kalau pada Ramadhan kali ini kita membakar dosa kita, tapi kemudian setelah Ramadhan kita mengulangi lagi dosa-dosa tersebut, maka hal ini menjadi tidak bermakna, bahkan seolah-olah kita mempermainkan Allah.

Ramadhan memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu disebabkan ada peristiwa-peristiwa yang selalu akan mengingatkan kita untuk lebih meningkatkan kualitas takwa. Sehingga tujuan seperti diungkapkan Allah, yaitu: “la allakum tattaqun” (semoga engkau menjadi orang yang lebih bertakwa) akan terwujud melalui ibadah puasa yang kita lakukan. Di dalam ungkapan Alquran, kata tattaqun itu berbeda dengan kata muttaqun. Kalau al-muttaqun atau al-muttaqin artinya adalah orang yang sudah benar-benar bertakwa. Sedangkan tattaqun artinya adalah orang yang takwanya meningkat. Secara umum, kita termasuk ke dalam golongan tattaqun, yaitu orang yang takwanya selalu meningkat lebih baik.

Ungkapan yang hampir serupa dengan tattaquun yaitu yaa ayyuhallaziina aamanu (wahai orang-orang yang beriman). Aamanu di sini memakai kata kerja, berbeda dengan kata al-mu’minun. Al-mu’minun artinya juga orang-orang yang beriman. Tapi kalau diterjemahkan, makna sebenarnya dari al-mu’minun yaitu orang-orang yang benar-benar beriman. Aamanu yaitu orang yang beriman tapi masih bisa berubah-ubah (imannya fluktuatif atau turun naik), yaitu kadang-kadang imannya kuat, ibadahnya rajin, di saat yang lain ketika malas, imannya pun menurun. Kalau al-mu’minun yaitu orang yang imannya selalu stabil. Cirinya antara lain disebutkan di dalam Alquran:

(1) Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (2) (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, (3) dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (4) dan orang-orang yang menunaikan zakat, (Q.S. Al-Mu’minuun: 1-4)

Bandingkanlah dengan diri kita, apakah salat kita selama ini sudah khusyu’ atau belum? Jika memang salat kita belum khusyu’, maka belumlah pantas kita menjadi orang yang disebut mu’minun, namun barulah disebut aamanu. Yang pasti, kita ingin meningkat menjadi al-mu’minun.

Pada bulan Ramadhan ini kita semuanya juga mesti siap untuk berzakat, baik itu zakat maal, maupun zakat fitrah. Jangan sampai bagi yang berkecukupan secara materi ketika ditanya apakah sudah berzakat, lalu dikatakannya sudah berzakat yaitu 2,5 liter beras. Padahal itu barulah zakat fitrah, sedangkan zakat maalnya tak pernah dikeluarkan.

Dengan itu semuanya, semoga Ramadhan kita kali ini akan lebih baik dari yang telah lalu. Bahkan ketika sudah puluhan kali kita berpuasa di bulan Ramadhan, pernahkah ada Ramadhan yang berkesan dalam sanubari kita karena keutamaan ibadah yang kita lakukan? Kalau sudah ada, maka pada Ramadhan kali ini hal itu ditingkatkan kembali. Kalau belum ada, buatlah Ramadhan kali ini menjadi yang terbaik dalam nuansa kerohanian dan spiritual kehidupan kita. Sebagaimana ungkapan Allah di dalam Alquran:

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Al-Hadiid: 16)

Buatlah Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan yang terbaik dari Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Sehingga sesuai dengan pesan Rasulullah, bahwa siapa saja yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka dia beruntung.

Marilah kita menjadi orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah, yaitu termasuk orang yang beruntung. Caranya yaitu dengan menjadikan Ramadhan kali ini lebih baik dari Ramadhan sebelum-sebelumnya, diisi dengan memperbanyak salat sunnah (selain juga salat fardhu), banyak berzikir, banyak tadarrus, banyak berdoa, banyak i’tikaf, serta banyak melakukan kebaikan-kebaikan untuk sesama manusia. Dengan begitu kita akan menjadi manusia yang fitri pada akhir Ramadhan kelak. []

Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Hamdani Anwar pada tanggal 23 Agustus 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Sumber: https://thenafi.wordpress.com/

Entry filed under: Islamika, Mozaik Islam. Tags: , .

Puasa dan Spirit Musyawarah Tafsir yang Serampangan mengenai Gempa Padang Tertulis Dalam Al-Qur’an

1 Komentar Add your own

  • 1. BaNi MusTajaB  |  25 September 2009 pukul 5:15 PM

    Selamat Idul Fitri
    1 Syawal 1430 H

    Taqobbalallahu minna wa minkum
    Taqoballah ya karim
    Minal aidzin wal faizin
    Mohon Maaf Lahir Batin

    Suka

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.082 hits
September 2009
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter