Archive for September, 2008

Kajian Kitab Hadits Nashahihul ‘Ibad

KAJIAN KITAB HADITS NASHAHIHUL ‘IBAD

Disarikan dari Ceramah Dzuhur yang disampaikan oleh Dr. KH. Zakky Mubarak, M.A. pada tanggal 4 September 2008 di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta

Transkriptor: Hanafi Mohan

Hadis Pertama

Rasulullah bersabda:

‘An ‘Abdullah ibni ‘Amrin, qaala: qaala rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam, arrahimuna yarhamuhurrahman.

Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, berkata: bersabda Rasulullah SAW, orang-orang yang pengasih, mereka akan dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.

Bahwa orang-orang yang mengasihi sesamanya di dunia ini, maka pasti akan dikasihi oleh Allah Yang Maha Pengasih. Karena itulah, misi dari Islam adalah kasih sayang. Dari namanya sendiri, bahwa Islam adalah keselamatan dan kedamaian. Dan jelas sekali surah pertama di dalam Alquran menyatakan mengenai hal ini (Al-Fatihah ayat pertama). “Bismillahirrahmanirrahim” (dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).

Di dalam ajaran Islam, jika kita mencermati akhlak dari orang-orang yang agamanya sudah termasuk tingkat tinggi, jangankan terhadap manusia, terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan pun ada akhlak yang diterapkan. Bahkan dalam hadits yang lain ditegaskan oleh Rasulullah, bahwa ada seorang perempuan yang masuk ke dalam neraka disebabkan ia mengurung seekor kucing di dalam kamarnya, kemudian kucing itu kelaparan dan kehausan, hingga kemudian kucing itu mati.

Terhadap hewan saja kita semestinya berakhlak baik, apalagi terhadap sesama manusia.

Di dalam hadis lain juga ditegaskan, bahwa ada seorang wanita jalang, dalam suatu perjalanan di padang pasir, ia mengalami kehausan. Kemudian ia menemukan suatu oase (perigi/sumur) di tengah-tengah padang pasir. Oase itu begitu dalamnya, dan untuk mengambil airnya begitu susah. Kemudian wanita itu turun ke oase tersebut, lalu ia pun minum sepuas-puasnya. Setelah ia minum, ia naik lagi ke atas. Ketika sudah di atas, ia menjumpai seekor anjing yang kelihatan kehausan. Wanita tersebut begitu yakin, bahwa anjing tersebut begitu hausnya, seperti halnya ia yang barusan mengalami kehausan. Kemudian wanita tersebut mengambilkan air untuk diberikan kepada anjing tersebut. Ia pun turun ke sumur tersebut dan menampung air yang diambilnya dengan sepatu yang sedang dipakainya. Setelah itu dia naik lagi, kemudian memberikan air tersebut kepada anjing yang sedang kehausan itu.

Rasulullah mengatakan, bahwa wanita tersebut tergolong ahli surga, karena mengasihi seekor anjing.

Para sahabat kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ada kebaikan dari berbuat baik terhadap seekor binatang?”

Rasulullah pun menjawab, “Pada setiap makhluk hidup, anda berbuat baik, maka anda akan mendapatkan pahala.”

Jadi, begitu luar biasanya misi yang ditegakkan oleh Islam. Karena itu, Rasulullah memperlakukan hewan begitu baiknya. Bahkan unta beliau diberi nama, yaitu “al-quiswa“. Bukan hanya itu, benda-benda mati seperti pisau dan sebagainya diberi nama oleh Rasulullah (ada nama tersendiri bagi benda-benda mati tersebut). Dalam hal ini, Rasulullah memanusiakan benda mati. Tentunya berbeda sekali dengan umumnya kita yang tidak bisa berbuat semestinya terhadap sesama manusia, apalagi terhadap makhluk yang lainnya.

Karena itulah, ditegaskan:

Irhamu mawfil ardhi, yarhamukumaa fissama’.

Kasihanilah orang-orang yang ada di bumi, akan mengasihani kamu semua yang ada di langit.

Setiap orang yang mengasihi sesama di muka bumi ini, maka penduduk langit, para malaikat, termasuk pencipta alam ini (Allah SWT) akan merahmati orang yang seperti ini.

Di dalam hadits yang lain juga ditegaskan:

Man rahima wa lawzabi hata ‘ushuurin rahimahullahu yawmal qiyamah.

Siapa yang mengasihani orang lain, meskipun hanya sekedar menyembelih seekor burung yang kecil untuk menghormati orang lain, Allah akan merahmati orang tersebut di hari kiamat.

Dalam sejarahnya, Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang sangat hormat terhadap tamu. Bahkan digambarkan di dalam legenda orang-orang Arab, bahwa ada seorang Arab yang bernama Khatim Ath-Thayyi. Ia ini sangat baik terhadap tamu. Semua tamunya ia beri makan, serta ia beri segala macam. Sampai suatu saat, dia hanya mempunyai satu-satunya seekor kuda yang sangat bagus, luar biasa, dan tentunya mahal.

Kemudian Kaisar Byzantium mendengar bahwa kudanya Khatim Ath-Thayyi ini luar biasa. Akhirnya Kaisar Byzantium mengirim empat orang untuk mendatangi Khatim Ath-Thayyi dengan tujuan untuk membeli kuda tersebut, berapapun harganya.

Waktu tamu asing ini (utusan Kaisar Byzantium) datang, Khatim Ath-Thayyi tidak memiliki apa-apa lagi. Ia hanya tinggal mempunyai kuda tersebut. Akhirnya kuda tersebut dipotongnya untuk disuguhkan kepada tamu asingnya itu.

Tamu tersebut beberapa hari menginap di rumahnya, dan dalam beberapa hari itu juga, tamu tersebut belum menyampaikan maksud kedatangannya. Khatim Ath-Thayyi pun terus mengurus tamunya itu, termasuk juga makan dan minumnya. Pada hari ketiga, barulah tamu tersebut menyampaikan maksudnya, bahwa mereka adalah utusan dari Kaisar Byzantium yang bertujuan untuk membeli kuda yang dimiliki oleh Khatim Ath-Thayyi berapapun harganya.

Mendengar ini, Khatim Ath-Thayyi tersenyum dan mengatakan, bahwa karena ia sudah tak mempunyai apa-apa lagi, maka kuda yang dimaksud itu sudah menjadi santapan mereka bersama-sama dalam beberapa hari tersebut semenjak sang tamu berada di rumahnya.

Inilah suatu legenda di kalangan orang-orang Arab, bahwa mereka itu orang-orang yang sangat menghormati tamu. Karena itulah, “duyufurrahman” (tamu Allah/jamaah haji) di Mekkah dan Madinah dimuliakan begitu luar biasa.

Hadis kedua

Ahabbunnaasi ilallaahi an faa-uhum linnaas. Wa ahabbul a’mali ilallaah sururun yudkhiluhu ‘ala muslimin.

Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesama manusia). Dan amal (aktifitas) yang dicintai oleh Allah adalah kebahagiaan (kegembiraan) yang disampaikan kepada sesama muslim.

Diriwayatkan, ketika Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa Asy’ari sebagai gubernur di Yaman Barat dan Yaman Timur, Nabi berpesan ketika kedua sahabat tersebut akan berangkat, yaitu tiga pesan pokok yang merupakan dasar ajaran agama Islam:

Pertama, “yassira wa laa tu’assira” (permudahlah oleh kalian dan jangan dipersulit).

Kedua, “basysyira wa laa tunaffira” (gembirakan mereka oleh kamu berdua, dan jangan kalian takut-takuti).

Ketiga, “sururun bidkhiluhu ‘ala muslim” (bawakan berita gembira/menyenangkan orang muslim itu baik).

Begitu kita menyenangkan seorang muslim, itu berarti melebihi sedekah. Rasulullah mengatakan, “fa bi fadshin thalib (dengan wajah yang cerah)”. Dengan wajah yang simpatik, itu sudah merupakan bagian dari sedekah.

Qaulun ma’rufun wa maghfiratun khairum min shadaqatin irba’ ra’aza” (ucapan yang bagus, ampunan, wajah yang cerah, lebih baik dari sedekah yang disertai dengan menyebut-nyebut).

Inilah yang disebutkan hadis ini, bahwa kita harus datang, pergi, kembali, memberikan berita gembira kepada sesama kita, jangan menakut-nakuti, jangan mengancam, jangan sampai orang lain merasa dengan adanya kita, maka keadaan akan menjadi sulit, sehingga permudahlah semuanya.

Aw yaqsifu anhu qurbahu” (atau orang itu datang ataupun pergi ke manapun bisa menghilangkan kesulitan orang lain).

Aw yaqdhi an hudayna” (atau dia bisa membantu orang yang mempunyai hutang yang tak bisa bayar).

Aw yadhudu an huju’a” (atau menghilangkan kelaparan di tengah-tengah kehidupan masyarakat).

Wal an’am syiima ahin fii haajatin ahabbu ilallaahi min a’taqifa fii haazal masjid” (Dan hendaklah jika anda berjalan dengan seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhannya, lebih dicintai oleh Allah daripada i’tiqaf di masjid ini/masjid Madinah).

Kita tegaskan, bahwa di mana pun kita pergi, kita berangkat, kita kembali, ataupun kita bergaul, maka kita harus mendatangkan rahmat untuk sesama. I’tiqaf yang dimaksudkan oleh Rasulullah adalah I’tikaf selama sebulan di Masjid Nabawi-Madinah.

Wa man kaffa ghadabahu, sataruhullahu aaratahu (Dan siapa yang dapat menahan amarahnya, maka Allah akan menutup aibnya).

Jadi, setiap orang yang bisa menahan amarahnya, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut.

Wa man kaazima ghizahu, wa law syaa-an yamdiyahu, amdahullahu maa laa Allahu qalbahu raja-an yawmal qiyamah (Dan siapa yang dapat mengendalikan amarahnya, meskipun ia bisa melampiaskan amarahnya itu, maka Allah akan memenuhi hati orang tersebut dengan pengharapan-pengharapan di hari kiamat).

Kita dizalimi dan disakiti orang lain, maka sebenarnya kita bisa membalas orang tersebut. Tapi kita kemudian tidak membalasnya, malahan kita memaafkan, maka Allah akan memenuhi hati kita dengan suatu harapan-harapan yang sangat indah nantinya pada hari kiamat.

Hidup kita ini memang sudah selayaknya dengan raja’ (harapan/optimisme). Tapi jika hidup disertai dengan pesimisme, maka kita akan gagal.

Wa innassu al-khuluqi yufsidul amala (Dan sesungguhnya akhlak yang buruk itu dapat membinasakan amal-amal kita).

Seandaikan beramal baik itu adalah menanam pohon, maka kita harus memperhatikan hama-hama pohon yang kita tanam itu. Kalau kita menanam pohon meskipun dipupuk sedemikian rupa, tapi hamanya tidak diberantas, maka akan hancurlah pohon yang kita tanam itu. Akhlak yang buruk bagaikan hama yang menggerogoti tanaman.

Yang merusak amal kita antara lain: akhlak yang buruk, adab yang buruk, namimah (mengadu domba), riya’, dan juga hasad. Bahkan Rasulullah mengatakan:

Al-hasadu ya’kulul hasanat kama ta’kulun naarul hathaba (Hasad itu dapat merusak kebaikan-kebaikan seseorang bagaikan api yang membakar jerami).

Bayangkanlah api yang membakar jerami, habislah semuanya, sehingga tinggallah debunya yang halus diterbangkan angin.

Kama yufsidul khalla al-ashala (Sebagaimana merusakkannya cuka yang dicampurkan ke dalam madu).

Hadis ketiga

Saya’ti zamaanun ‘ala ummati, Yafirruuna ‘anil ‘ulama wal fuqaha, Fayabtaliya humullaahu bi tsalaasaati baliyyaatin: Awwaluha yarfa’ullahul barakah min kasbihin, Wats-tsaniyah, yushallitullahu ta’ala alaihim sulthaanan zaalima, Wats-tsaalisatu, yakhrujuuna minaddunya bi ghayri iimaan.

Akan datang di suatu masa menimpa ummatku, di mana mereka umatku itu banyak yang lari dari para ulama dan para fuqaha, maka Allah akan mencoba menguji orang tersebut dengan tiga bahaya: Pertama, Allah akan mengangkat berkah-Nya dari usaha mereka. Kedua, Allah akan menguji orang-orang tersebut dengan diberi pemimpin yang zalim. Ketiga, orang-orang tersebut meninggal dunia dalam keadaan tidak membawa iman. []

18 September 2008 at 7:06 AM 2 komentar

Esensi Puasa Ramadhan dalam Perspektif Alquran

ESENSI PUASA RAMADHAN DALAM PERSPEKTIF ALQURAN

Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Prof. Dr. H.M. Quraish Shihah, M.A. pada tanggal 7 September 2008 di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta

Transkriptor: Hanafi Mohan

Di dalam Alquran, ada dua kata yang digunakan untuk makna puasa dari segi bahasa.

Pertama, “shiyam“; kutiba alaykumush shiyam.

Kedua, “shaum“; inni nazartu lirrahmanish shauma.

Shaum dan shiyam berasal dari akar kata yang sama, yaitu: menahan diri.

Sewaktu Maryam (Ibu Nabi Isa) melahirkan, orang-orang menuduhnya yang bukan-bukan. Lalu Maryam pun mengatakan:

Inni nazartu lirrahmanish shauman fala tukallimay yauma insiya.

Aku bernazar puasa (menahan diri), karena aku menahan diri, maka aku menahan diri tidak mau berbicara kepada seorang manusia pun.

Tidak mudah seseorang menahan diri untuk membela dirinya ketika dituduh macam-macam. Inilah puasa yang dimaksudkan oleh Alquran, yaitu dengan kata shaum.

Yang diwajibkan kepada kita bukanlah shaum, melainkan shiyam. Shiyam adalah menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Jadi, shaum adalah menahan diri, sedangkan shiyam adalah menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri, dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Persamaan shaum dan shiyam, bahwa kedua-duanya adalah menahan diri. Orang yang tidak menahan dirinya dalam hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, maka dinamakan bahwa orang tersebut tidak shaum dan tidak melakukan shiyam.

Ada orang yang berpuasa (tidak makan tidak minum) hanya bertujuan untuk menguruskan badan. Dalam puasa yang kita lakukan, bukan hal-hal seperti ini yang akan kita capai.

Ada orang yang berpuasa (dalam arti tidak makan saja). Ini juga “shaum”, tapi bukan “shiyam”.

Ada orang yang berpuasa dengan tujuan untuk berbela sungkawa.

Para ulama mengatakan, bahwa sebenarnya dalam konteks shiyam, ada penampakan bela sungkawa kepada orang-orang yang tidak berpunya yang tidak bisa makan. Sehingga dapatlah dikatakan, bahwa puasa yang kita lakukan adalah untuk menampakkan bela sungkawa kepada orang-orang yang tidak berpunya, tapi ini bukanlah esensi dari puasa yang dilakukan tersebut.

Esensi shiyam

Mengapa Allah memerintahkan kita untuk berpuasa? Memang, pada ayat yang memerintahkan puasa disebutkan: la allakum tattaqun (agar kamu bertakwa). Sehingga dapatlah dikatakan, bahwa tujuan puasa itu adalah agar kita bertakwa. Tetapi itu di ujung sana. Ada jalan yang harus ditempuh oleh yang berpuasa agar bisa sampai ke sana.

Kata takwa mencakup segala macam kebajikan. Ilmu itu takwa, sabar itu takwa (bagian dari takwa). Ada yang mengatakan, bahwa puasa yang kita lakukan adalah untuk menenun pakaian takwa. Lebaran nanti, barulah pakaian takwa tersebut kita kenakan. Wa libasut taqwa zalika khair.

Sebutlah apa saja dari kebaikan, maka itu termasuk ke dalam takwa. Jadi, kalau kita mengatakan takwa, maka segala macam kebaikan ada di dalamnya. Takwa adalah istilah yang digunakan oleh Alquran untuk menggambarkan dima ul khair (himpunan dari segala macam kebaikan).

Jika Alquran mengatakan, bahwa diwajibkan kepada kamu berpuasa supaya kamu bertakwa, maksudnya adalah supaya terhimpun dalam dirimu segala macam kebajikan. Jadi jelaslah, bahwa puasa bukanlah cuma menahan diri (sabar) untuk tidak makan dan tidak minum.

Ada hadits Rasulullah yang cukup terkenal, hadits ini merupakan sabda Rasulullah yang merupakan firman Allah, yang firman Allah tersebut tidak termaktub di dalam Alquran, tetapi disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah menyusun kata-katanya. Kalau Alquran merupakan firman Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril yang redaksinya langsung dari Allah. Kalau ini, ada yang dikatakan oleh Rasullah, ada yang dikatakan oleh Jibril.

Rasulullah bersabda, Allah berfirman:

Ash-shaumuli wa ana azzibi.

Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan memberi ganjaran-Nya.

Jadi untuk ibadah puasa, malaikat hanya mencatat, tanpa melakukan kalkulasi berapa ganjaran yang didapatkan. Bandingkan dengan membaca Alquran, kalau kita membacanya terbata-bata, maka setiap huruf 10 pahalanya. Kalau kita membacanya lancar, maka 20 pahalanya. Kalau kita mengerti artinya, maka 70 pahalanya.

Ada ulama yang mengatakan, bahwa sebenarnya lebih baik membaca Alquran itu satu juz saja tetapi kita mengerti artinya, daripada membaca 30 juz tetapi tidak mengerti artinya.

Allah mengatakan, bahwa puasa itu untuk-Nya, Dia lah yang akan memberinya pahala.

Ada orang yang berpuasa cuma menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Ada juga yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri, dan menahan diri untuk tidak memaki orang lain. Ada juga yang berpuasa tidak makan, minum, hubungan suami istri, tidak memaki orang lain, dan dia belajar, membersihkan hatinya, serta tidak dengki.

Jadi, yang tahu hati itu hanyalah Allah. Karena itulah, tidak bisa lantas digeneralisir. Akulah yang akan memberi pahalanya, kata Allah.

Para ulama memahami sabda Rasulullah yang merupakan firman Allah ini dengan mengatakan: Karena puasa itu adalah rahasia antara yang berpuasa dengan Allah, maka itu sebabnya Allah berfirman: puasa untuk-Ku.

Ada juga yang mengatakan, bahwa esensi (tujuan akhir) dari puasa adalah takwa. Dia untuk Allah, yang kemudian ditafsirkan, bahwa untuk Allah yang dimaksud itu adalah rahasia.

Pendapat yang lebih baik mengatakan, untuk Allah maksudnya adalah untuk meneladani Allah. Orang yang berpuasa itu, dengan puasanya, dia meneladani Allah sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk.

Kebutuhan apa yang paling mutlak harus kita miliki?

Ada kebutuhan yang sangat mutlak kita miliki, yang kita tidak bisa sama sekali jika tidak memperolehnya. Hal ini adalah udara. Allah mengatakan, bahwa ini adalah di luar kemampuan manusia.

Allah tidak membutuhkan apa-apa, termasuk tidak membutuhkan udara. Sesudah udara, yang kita butuhkan adalah makan dan minum. Apakah Allah makan dan minum? Ternyata Allah tidak makan dan minum. Karena itulah, teladanilah Allah, yaitu jangan makan dan minum.

Tetapi, kita tidak bisa mencontohi Allah dalam sifat-sifat-Nya ini. Contohilah sesuai dengan kemampuan kita. Karena itulah, Allah kemudian mengatur, bahwa menurut penilaian Allah, yang mampu dilakukan oleh manusia adalah dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Ini adalah normal

Seandainya ada seorang manusia yang tidak bisa melakukannya, di Alquran disebutkan:

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [Q.S. Al-Baqarah: 184]

Orang yang bisa puasa tetapi sangat berat untuk berpuasa, maka orang tersebut janganlah berpuasa. Orang yang seperti ini, berarti ia tidak mampu memenuhinya, Karena itulah, orang seperti ini membayar fidyah saja.

Allah itu tidak makan, dan Allah memberi makan. Karena itulah, jika berpuasa, contohilah Allah, berilah makan kepada orang lain, berilah makan berbuka puasa kepada orang lain, sesuai dengan kemampuan kita.

Ternyata bukan hanya ini.

Allah ar-rahman, apakah kita bisa bersikap ar-rahman kepada orang lain? Allah ar-rahim, apakah kita bisa bersikap ar-rahim kepada orang lain?

Rahman adalah memberi rahmat kepada seluruh makhluk, baik itu manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh makhluk Tuhan, termasuk juga merahmati orang-orang kafir.

Rahim, yaitu memberi rahmat kepada orang-orang yang beriman.

Malik, yaitu raja (penguasa). Kita bukan raja, bukan penguasa, tetapi apakah kita tidak bisa menjadi raja, apakah kita tidak bisa menjadi penguasa? Bisa. Kita menjadi raja terhadap diri kita. Kita mempunyai tentara, anggota tubuh kita ini adalah tentara kita. Kita mempunyai alat yang bisa digunakan untuk meraih keinginan dan nafsu kita. Jadi rajalah terhadap diri kita.

Jadi, raja adalah orang yang bisa menguasai dirinya.

Quddus artinya suci. Suci adalah gabungan dari tiga hal: benar, baik, dan indah. Kalau cuma benar, tapi tidak baik, maka itu bukanlah suci. Misalkan, jika ada satu orang melakukan kesalahan, maka orang tersebut perlu dibenarkan. Jika orang tersebut kita tegur di depan umum, maka apa yang kita lakukan itu benar, tetapi tidak baik. Jika kita tegur dia sendirian (tidak di depan orang banyak), tetapi cara kita menegurnya tidak indah, karena dengan cara memaki-maki dan kasar.

Allah itu quddus, suci, semua yang datang dari-Nya itu benar, baik, dan indah.

Yang mencari kebenaran itu menghasilkan ilmu. Yang mencari kebaikan itu menghasilkan akhlak. Yang mencari keindahan itu menghasilkan seni. Karena itulah, bagi orang yang berpuasa jika meneladani al-quddus, maka bisa menjadi ilmuwan, budiman, dan seniman.

‘Alim, artinya maha mengetahui. Karena itulah, jadikanlah waktu puasa ini untuk belajar. Salah satu buktinya, Alquran itu turun pertama kali pada Bulan Ramadhan dengan ayatnya “iqra’” (bacalah/belajarlah).

Membaca Alquran pada Bulan Ramadhan memang merupakan suatu amal ibadah yang baik, tapi jangan hanya sekedar dibaca, melainkan dipelajari. Dan bukan cuma Alquran, kita juga bisa mempelajari yang lainnya. Dan kita juga tidak harus dari pagi hingga sore hanya membaca Alquran. Ternyata ada hal-hal lain yang juga harus dan bisa kita pelajari. Bagi ibu-ibu, mungkin bisa belajar masak, merias, merangkai bunga, dan membuat kerajinan tangan. Semua itu ilmu. Jangan membatasi kebaikan hanya pada persoalan-persoalan yang kita anggap itu persoalan agama murni. Bacalah koran dan majalah yang baik. Nonton televisi yang acaranya baik-baik.

Ghaniy, artinya kaya. Kaya adalah tidak butuh kepada sesuatu. Allah dinamakan “ghaniy“, karena Allah tidak membutuhkan sesuatu.

Tahsabuhum aghniyaa-a minat ta’affuf.

Orang yang tidak mau meminta-minta, bukan berarti dia tidak butuh. Dia sebenarnya butuh, tetapi karena harga dirinya begitu tinggi, sehingga dia tidak mau meminta-minta.

Semakin sedikit kebutuhan kita, maka semakin kayalah kita. Karena itulah, orang yang mempunyai kelebihan, maka ia harus mencari siapa yang tidak memiliki kelebihan. Karena boleh jadi, yang tidak butuh ini malu untuk meminta.

Selain ghaniy, ada juga mughniy. Mughniy artinya memberi kekayaan. Allah itu kaya, juga memberi kekayaan. Karena itulah, kita patut meneladani Allah yang kaya dan juga memberi kekayaan.

Kekayaan itu seperti lingkaran (360 derajat). Kalau kecil lingkarannya, maka besarnya adalah 360 derajat. Kalau lingkarannya besar, maka besarnya 360 derajat juga. Kalau besar, tapi tidak sampai lingkarannya, maka bukanlah 360 derajat.

Banyak orang yang lingkarannya sudah begitu besar, tetapi lingkaran tersebut tidak sampai 360 derajat, maka ini bukanlah orang kaya. Sebaliknya, ada juga orang yang penghasilannya kecil, tetapi ia puas dengan usaha maksimalnya, maka inilah orang kaya.

Ambillah semua sifat-sifat Allah ini, pelajari esensinya. Bagus sekali jika kita membaca Asmaul Husna, tetapi tujuannya jangan hanya sekedar membaca, tetapi memahami dan meneladani sifat-sifat Allah tersebut.

Di beberapa negara Timur Tengah, yang ditonjolkan adalah sifat “karim“, yang artinya baik. Misalkan surat. Bagaimanakah surat yang baik? Yaitu surat yang isinya baik, kata-katanya baik, sampulnya baik, dan alamatnya pun baik dan benar.

Di sini, yang jadi karim itu adalah semua yang baik apa yang ia sifati. Allah itu karim. Tentunya kita tidak bisa membayangkan, bahwa Allah itu memberi sebelum kita meminta. Allah itu kecewa jika kita tidak meminta. Apakah ada di antara kita yang kecewa bila tidak dimintai sesuatu kepada kita?

Allah karim, maka teladanilah itu. Pada Asmaul Husna, itulah esensi ataupun jalan yang mengantar seseorang yang berpuasa sampai kepada takwa.

Rasulullah suatu ketika pada akhir Jum’at terakhir Sya’ban, beliau berkhutbah Jum’at.

“Wahai jama’ah, Bulan Ramadhan sebentar lagi akan datang. Ada empat hal yang hendaknya kamu raih di Bulan Ramadhan: dua hal yang menjadikan Tuhan ridha kepadamu, dan dua hal yang menjadikan Allah senang kepadamu, yaitu: pertama, syahadat laa ilaa ha illallah. Kedua, memohon ampun kepada-Nya.”

Sebagai Umat Islam, seringkali kita memahami petunjuk Rasulullah ataupun petunjuk Alquran itu hanya teks saja. Kita tidak masuk ke substansinya. Karena itulah, dalam tradisi para tetua, khususnya menjelang berbuka puasa, biasanya membaca doa, yang bunyinya:

Asyhaduan laa ilaa ha illallah, astaghfirullah, nas alukal jannah, wa na’uzu bika minannaar.

Ini sebenarnya adalah hadits Rasulullah.

Perbanyaklah bacaan seperti ini, tetapi bukan hanya sekedar bacaan (ucapan), melainkan hayatilah maknanya.

Tidak ada Tuhan selain Allah, berarti tidak ada penguasa di alam raya ini kecuali Allah. Seandainya berkumpul semua makhluk untuk memberi kita manfaat, maka takkan bisa manfaat itu menyentuh kita, kecuali seizin Allah. Tak ada yang bisa memberi pengaruh terhadap sesuatu, kecuali Dia (Allah).

Syahadat kita sering disentuh oleh debu, karena itu perlu dibersihkan dari debu-debu tersebut. Rasulullah bersabda:

Jaddidu imaanakum sa’atan fa sa’ah.

Perbaharui imanmu dari saat ke saat.

Wa kaifa nujaddid?

Bagaimana kami memperbaharui iman kami?

Aksiru min qauli laa ilaa ha illallah.

Perbanyak mengucapkan laa ilaa ha illallah.

Begitu banyaknya sikap kita yang kadang meluruhkan laa ilaa ha illallah.Misalkan jika ada yang mempercayai bahwa angka 13 adalah angka sial, mempercayai ramalan bintang, dan yang semacamnya.

Suatu ketika di Hudaybiyah, setelah Shalat Shubuh, Rasulullah duduk-duduk, lalu beliau berkata:

Hari ini ada yang percaya Tuhan tidak percaya bintang, ada yang percaya bintang tidak percaya Tuhan. Yaitu yang beranggapan bahwa bintang tertentu itu bisa memberikan keuntungan.

Hal seperti ini ada di benak kita, dalan hidup keseharian kita.

Yang paling disenangi Allah di Bulan Ramadhan adalah syahadat laa ilaa ha illallah. Tujuannya adalah bertakwa kepada Allah.

Tidak ada orang yang tidak mempunyai dosa. Maka di sinilah tempatnya untuk bertaubat. Kalau kita melakukan itu, maka Allah senang kepada kita.

Apa yang merugikan kita jika kita tidak mendapatkannya di Bulan Ramadhan?

Laa ghinaa ankum an huma, tas aluuna ul jannah, wa tasta-iluna-u minannaar.

Di bulan inilah tempatnya kita meminta surga, dan di bulan ini pula tempatnya kita meminta dijauhkan dari neraka.

Ada sebuah hadits yang mengatakan, bahwa di Bulan Ramadhan ini, pintu surga dibuka, pintu neraka tertutup. Banyak penafsirannya, tetapi kita ambil yang mudah saja.

Kalau kita di rumah, ada tamu mau datang, maka pintu rumah kita buka sebelum dia datang ataukah setelah ia datang, baru pintu rumah kita buka? Jawabannya, sebelum tamu itu datang, pintu rumah sudah kita buka, supaya tamu tersebut tak perlu mengetuk pintu rumah kita dan menunggu di luar.

Tapi kalau orang jahat mau masuk penjara, apakah pintu penjara tersebut sudah dibuka atau belum?

Mengenai hal ini, terdapat pada Surah Az-Zumar ayat 71-74:

{71} Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar (telah datang)”. Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir.

{72} Dikatakan (kepada mereka): “Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya”. Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.

{73} Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”.

{74} Dan mereka mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.” Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.

Kalau penghuni surga dikatakan “wa futhihat“, kalau penghuni neraka tidak memakai “wa“. Mengapa yang pertama ada “wa“, sedangkan yang kedua tidak?

Pada ayat tersebut ingin digambarkan, bahwa penghuni surga itu kalau diantar masuk ke surga, dia dapati pintu surga sudah terbuka. Kalau penghuni neraka, nanti ketika sampai di sana, barulah pintunya dibuka. Setelah penghuni neraka itu masuk, pintunya ditutup lagi.

Di Bulan Ramadhan ini, pintu surga terbuka, sehingga kita tidak perlu mengetuk dan kita bisa langsung masuk. Jangan ketuk pintu neraka, karena itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang jahat.

Kalau waktu terbuka (pintu surga), lalu kita tidak masuk, maka rugilah kita. Kalau waktu tertutup (pintu neraka) kita ketuk, maka rugilah kita. Ini lagi obral, maka carilah banyak-banyak. Carilah amal yang baik, berbobot, harganya murah. Inilah waktunya.

Yang masuk surga, maka pasti terhindar dari neraka. Orang yang masuk neraka pasti terhindar dari surga. Karena di akhirat hanya ada dua tempat, yaitu surga dan neraka.

Man yuhyiha anin-naar wa uqtilal jannah faqad faaza.

Siapa yang disingkirkan (walaupun sedikit) dari neraka, maka dia beruntung, karena dia masuk surga.

Pertanyaannya, mengapa Rasulullah mengajarkan kita untuk memohon surga dan berlindung dari neraka?

Ada yang mengatakan, bahwa doa itu diulang-ulang, karena merupakan suatu perbuatan yang baik. Dalam hal ini, berarti kita mendesak Allah. Allah itu tidak seperti manusia. Manusia jika didesak, maka akan marah. Sedangkan Allah, kalau tidak kita desak, maka Dia akan marah.

Janganlah ketika kita berdoa dengan mengatakan, “Ya Allah, jika Engkau berkenan”, melainkan mintalah dengan cara merengek dan mendesak Allah, karena inilah yang Dia sukai. Ulang-ulangilah doa itu. Di sini, permintaan untuk dimasukkan ke surga itu sebenarnya diulangi, namun redaksinya saja yang diubah, “Ya Allah, masukkanlah aku ke surga, jauhkanlah aku dari neraka.”

Apakah ada yang masuk neraka dulu, setelah itu barulah masuk surga?

Rasulullah mengatakan, “Siapa yang akhir hidupnya ucapannya adalah laa ilaa ha illallah, maka dia akan masuk ke surga. Tetapi jika dia berdosa, maka dicuci dulu di neraka.”

Doa itu seakan-akan berkata, “Ya Allah, masukkanlah aku ke surga tanpa melalui neraka.” Konsekwensinya, berkenaan dengan konteks Ramadhan, maka janganlah lakukan perbuatan yang bisa mengantar kita ke neraka, karena Allah sudah menutup pintu neraka dan membuka pintu surga. Begitu kita jalan, maka ada persimpangan jalan: ada jalan yang ke kiri dan ada jalan yang ke kanan. Jalan yang ke kiri kalau di luar Bulan Ramadhan maka pintunya terbuka, dan jalan yang ke kanan pintunya juga terbuka, sehingga kita bebas untuk memilih antara kedua jalan tersebut. Jalan yang ke kiri ada lampu merah sebagai tanda untuk kita tidak menuju ke jalan tersebut. Sudah ada penghalang seperti itu, tapi kita masih juga menuju ke jalan tersebut, mengapa kita tidak menuju kepada jalan yang kanan. Jika seperti ini, tentunya Allah akan begitu murka kepada kita.

Takwa itu bukan hanya shalat. Jika ada yang berhalangan (misalkan bagi perempuan) sehingga tidak bisa beribadah puasa, shalat, dan membaca Alquran, ternyata banyak amal baik yang bisa dilakukan yang mungkin lebih baik dari shalat dan puasa sunnah. Bagi seorang perempuan yang berhalangan, itu bukanlah keinginan kita, melainkan adalah kehendak Allah. Apakah ada amalan yang bisa dilakukan sebagai pengganti dari shalat, puasa, dan membaca Alquran? Ternyata banyak sekali penggantinya. Bacalah buku yang bermanfaat, membantu orang, senyum, sedekah, yang itu semua adalah bagian dari makna “takwa” yang merupakan arah yang dituju oleh puasa. Itulah esensinya.

Rasulullah bersabda:

Qammin shaa-imin laysalahu min shiyamihi illal ju’u wal ‘athas.

Banyak orang yang puasa, tetapi tidak mencapai esensinya, melainkan hanya lapar dan haus.

Dari segi hukum ia mungkin berpuasa, tetapi bukan itu yang dimaksudkan oleh Allah. Maksud dari puasa adalah kendalikan diri, hiasi diri. Itulah esensi dari puasa. []

18 September 2008 at 6:58 AM 8 komentar

Puasa

PUASA

Disarikan dari Pengajian Tasawuf yang disampaikan oleh Drs. H. Wahfiudin, M.BA., pada tanggal 20 Agustus 2008 di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta

Transkriptor: Hanafi Mohan

Ayat yang menegaskan mengenai perintah berpuasa di Bulan Ramadhan adalah:

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. Al-Baqarah: 185)

Sedangkan pada Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Pada Al-Baqarah ayat 183 hanya memerintahkan kewajiban puasa, namun tanpa menyebutkan waktu yang pasti mengenai kewajiban puasa tersebut. Sedangkan pada Al-Baqarah ayat 185 secara tegas menyebutkan bahwa kewajiban berpuasa tersebut adalah di Bulan Ramadhan.

Pada Al-Baqarah ayat 185 menyebutkan:

…fa man syahida min kumusy-syahra fal yashumhu …

… siapa yang menyaksikan di antara kamu datangnya bulan itu (Bulan Ramadhan), maka berpuasalah ….

Bulan Ramadhan adalah bulan kesembilan menurut penanggalan hijriyah. Ramadhan berasal dari kata “ramadha” (panas yang menghanguskan), sebab sebelum kedatangan Islam, penghitungan kalender itu berdasarkan pada matahari. Sehingga Bulan Ramadhan waktu itu setara dengan September. Dan memang kita ketahui, bahwa musim panas di Jazirah Arabia adalah pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Pada Bulan Juni, Juli, dan Agustus adalah puncak musim panas. Sehingga setelah Juni, Juli, Agustus terbakar oleh sinar matahari, maka September adalah sedang panas-panasnya. Siangnya begitu panjang. Pukul setengah empat sudah masuk waktu Shubuh. Matahari membakar batu. Ketika maghrib, matahari terbenam. Batu yang terbakar terkena sinar matahari seharian, kemudian mulai dingin. Tapi belum dingin betul, pagi lalu muncul lagi. Kemudian terkena panas lagi. Begitulah berbulan-bulan. Karena itulah, bulan yang panas menghanguskan disebut sebagai Bulan Ramadhan.

Setelah Ramadhan, maka masuklah Bulan Syawwal. Syawwal berasal dari kata “syawwala”. Biasanya di gurun-gurun pasir itu ada sumur (oase). Maka air di sumur itu setelah bulan-bulan yang panas itu lalu diangkat. Karena airnya habis ditimba, maka sumur itu menjadi kering. Syawwala artinya sumur yang sudah mengering karena airnya diangkat.

Pada Al-Baqarah ayat 183 disebutkan, bahwa puasa itu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum Umat Nabi Muhammad.

Di Injil-Kitab Jeremia (36) ayat 9 disebutkan:

Adapun dalam tahun yang kelima pemerintahan Yoyakin bin Yosia, Raja Yahuda, dalam bulan yang kesembilan, orang telah memaklumkan puasa di hadapan Tuhan bagi segenap rakyat di Yerusalem. (Injil)

Jadi, sudah ada perintah puasa untuk umat-umat terdahulu (sebelum Umat Nabi Muhammad) melalui nabi-nabi yang diutus kepada umat tersebut. Bahkan Nabi Musa, dia naik ke gunung yang begitu tinggi, tembus ke awan, lalu tinggallah ia di atas gunung selama 40 hari 40 malam untuk melakukan ibadah i’tikaf. Karena itulah, di dalam dunia Islam ada kelompok-kelompok tarikat yang mempunyai tradisi suluk (khalwat) selama 40 hari. Inilah tradisi Nabi Musa. Di dalam Alquran, mengenai hal ini dijelaslan pada Surah Al-A’raf ayat 142, bahwa Nabi Musa digembleng selama 30 hari, kemudian lulus, lalu Allah tambahkan 10 hari lagi, sehingga menjadi 40 hari.

Nabi Isa pun digembleng 40 hari 40 malam. Seperti yang tertulis di Injil, bahwa Nabi Isa kemudian dibawa oleh roh (Jibril) ke padang gurun untuk diuji. Maka, setelah berpuasa 40 hari 40 malam, akhirnya laparlah Nabi Isa.

Dari hal ini, dapatlah kita ketahui, bahwa umat-umat terdahulu (sebelum Umat Nabi Muhammad) juga berpuasa. Di dalam Injil Lukas juga disebutkan mengenai Puasa Senin-Kamis. Yang menarik, adalah bagaimana sikap berpuasa seperti yang tertulis di Injil Matius:

Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram wajahmu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya supaya orang melihat, bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya, yaitu dikagumi oleh orang. (Injil)

Pesan moral yang ada di Injil sebenarnya sama dengan pesan moral di Agama Islam, yaitu kalau sedang berpuasa, janganlah ditunjuk-tunjukkan bahwa kita sedang berpuasa.

Di dalam Hadits Qudsi, Rasulullah menyampaikan pesan:

Allah tabara wa ta’ala berkata: setiap amal (perbuatan) keturunan Adam untuk si anak Adam itu sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan memberikan ganjarannya langsung. (Hadits Qudsi)

Pesan hadits qudsi ini adalah, bahwa setiap orang yang berbuat baik, maka orang tersebut bisa mengira-ngira ganjaran yang akan ia peroleh. Tetapi puasa, maka ganjarannya tidak ada yang tahu, hanya Allah yang tahu, dan itu adalah rahasia manusia dengan Allah.

Kembali kepada Injil Matius, juga disebutkan:

Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu (oleh Tuhan) yang ada di tempat tersembunyi. (Injil)

Puasa itu adalah urusan kita dengan Tuhan saja, jadi tak usah terlalu dinampak-nampakkan. Jika di hari-hari biasa (selain Bulan Ramadhan) kita bisa beraktivitas normal seperti biasanya, maka di Bulan Ramadhan pun selayaknya kita juga harus tetap beraktivitas seperti biasanya, masuk bekerja seperti biasanya tanpa harus terlambat, bekerja seperti biasanya tanpa harus bermalas-malasan.

Janganlah karena puasa kemudian menjadikan kita selalu minta keringanan. Sesungguhnya puasa itu bukanlah sesuatu yang akan mencelakakan kita, melainkan adalah sesuatu yang akan menggembleng kita. Dan orang takkan mati karena puasa.

Keistimewaan Ramadhan

Karena banyaknya keistimewaan Ramadhan (bulan rahmat, pengampunan, dan sebagainya), menurut Rasulullah:

Kalaulah orang mengetahui kebaikan-kebaikan yang ada pada Bulan Ramadan, niscaya mereka akan menginginkan agar Ramadan berlangsung sepanjang tahun. (Al-Hadits)

Rasulullah juga memberikan pesan:

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bulan Allah yang penuh berkah, rahmah, dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah, hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam yang paling utama. Saat demi saatnya adalah saat-saat yang paling utama. Inilah puncak segala bulan, penghulu segala bulan. (Al-Hadits)

Jika kita cermati lagi pesan Rasulullah tersebut, bahwa Ramadhan adalah bulan yang malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama.

Kita sering kali menganggap bahwa Ramadhan itu yang istimewa hanya siangnya saja. Ternyata kita lupa, bahwa malamnya pun istimewa. Memang, siangnya istimewa karena siangnya kita melakukan ibadah “shiyam” (puasa). Namun janganlah dilupakan, bahwa pada malam harinya pun kita dianjurkan untuk melakukan ibadah “qiyam” (shalat). Secara sederhana menurut terminologi fiqh, bahwa perbanyaklah ibadah di waktu malam, janganlah perbanyak tidur.

Malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Inilah yang sering diabaikan. Di siang harinya karena berpuasa, maka kita begitu mengistimewakan siang hari Ramadhan. Tapi setelah berbuka puasa, maka biasanya aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas yang sia-sia. Padahal malam di Bulan Ramadhan adalah malam-malam yang istimewa. Malam yang mana? Yaitu sejak Maghrib, itu sudah istimewa, yaitu kita berbuka puasa, kemudian Shalat Tarawih, kemudian membaca Alquran, tidur, apalagi di waktu “sahur”.

Sahur adalah nama waktu, yaitu sepertiga malam yang terakhir, kira-kira pukul setengah 2 sampai setengah 5. Sepertiga malam yang terakhir inilah yang disebut sebagai waktu “sahur”.

Sahur, jamaknya adalah “as-har”. “Wa bil as-haari hum yastaghfirun” (di waktu-waktu sahur, mereka terus memohon ampun kepada Allah). Mengapakah dianjurkan untuk memohon ampun di waktu sahur? Sebab di dalam hadis juga dijelaskan: di waktu sahur (sepertiga malam yang terakhir), Allahu yanzilu ilas-sama’iddunya (Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi, dan Allah mencari-cari orang yang berdoa di waktu sahur, dan Allah akan sangat malu untuk tidak mengabulkan doa orang yang berdoa di waktu sahur).

Maka, ketika Nabi ditanya, “Kapan saat berdoa yang paling baik?”

Nabi lalu mengatakan, “Di penghujung salat fardhu, wa fi jaufil laylil akhirah (di penghujung malam yang terakhir)”.

Maka perbanyaklah berdoa di waktu-waktu yang istimewa ini.

Yang istimewa dari Sahur adalah waktunya, bukanlah makannya (makan sahur). Mengapa? Karena di waktu sahur itulah doa-doa didengarkan dan diperhatikan. Oleh sebab itu, bangun di waktu sahur jangan hanya untuk makan. Kalau ada pesan Rasulullah yang berbunyi: Tasahharu fa inna fissahuri barakah (Bersahurlah kalian, sesungguhnya pada sahur ada keberkahan).

Keberkahan itu pada waktu sahurnya, bukan pada makan sahurnya. Kita sering mengartikan, bahwa keberkahan itu pada makan sahurnya. Sehingga, kitapun makan banyak-banyak pada saat sahur. Bukanlah ini yang dimaksud. Rasulullah mengatakan: Kalaupun yang kamu minum hanya seteguk air, maka itu sudah cukup.

Jadi, kalau memang banyak keberkahan di waktu sahur, mengapa kita tidak makan minum banyak-banyak, mengapa dikatakan oleh Rasulullah, bahwa seteguk air saja cukup.

Keberkahan itu bukan pada makan sahurnya, melainkan pada waktu sahurnya itu sendiri. Jadi makna: tasahharu (bersahurlah kalian), ternyata bukanlah makan sahur, tapi bangun di waktu sahur. Dan isilah waktu sahur jangan hanya dengan makan, melainkan sempatkanlah untuk Salat Tahajjud. Sesuai dengan namanya, yaitu tahajjada (bangun dan bangkit dari tidur), sehingga kalau kita sudah tidur, lalu bangun dan bangkit, maka itulah yang dinamakan sebagai tahajjud.

Setelah bangun dan bangkit itu, lalu bersegeralah untuk shalat. Sehingga salat yang dilakukan itu kemudian disebut sebagai shalat tahajjud. Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa shalat tahajjud hanya bisa dilaksanakan setelah terlebih dahulu tidur, maka memang benar adanya. Bagaimana bisa disebut sebagai shalat tahajjud (salat bangkit dari tidur), jika tidak tidur terlebih dahulu. Tetapi, bukan berarti nilainya rendah jika kita melakukan salat malam (salat sunnat) tanpa terlebih dahulu tidur, misalkan bagi orang yang bekerja pada malam hari, sehingga untuk melakukan salat sunnat pada malam hari ia tanpa terlebih dahulu tidur. Cuma, shalat sunnat yang dilakukan tanpa terlebih dahulu tidur, maka tidak dinamakan sebagai salat tahajjud.

Perbedaannya hanyalah pada nama shalatnya. Yang satu disebut tahajjud, sedangkan yang satunya lagi tidak disebut sebagai tahajjud. Lantas disebut sebagai salat apa? Sebut saja sebagai shalat lail (shalat malam). Tetapi berkenaan dengan pahala, sebenarnya sama saja. Substansinya, sama-sama dilakukan pada waktu yang istimewa (sepertiga malam/waktu sahur).

Jadi, sesuai dengan pesan Rasulullah tersebut di atas, bahwa biasanya kita terlalu mengistimewakan siangnya, tetapi lalai memanfaatkan malamnya. Di siang kita shiyam, di malam hari kita qiyam, terutama di waktu sahur. Bangun di waktu Sahur jangan hanya untuk makan sahur, tapi lakukan juga salat dua rakaat, lakukan doa bersama karena di waktu tersebut adalah saat doa dimustajabah oleh Allah.

Di siang hari kita melakukan ibadah lahiriah, yaitu berhenti makan dan minum, berhenti seks, berhenti dari membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan bisa mengurangi keberkahan puasa. Selain berpuasa secara lahiriah, kita juga berpuasa secara ruhaniah, yaitu:

– fa la yarfus (ngomong yang mengarah kepada syahwat),

– wa la yaskhaf (membenar-benarkan yang salah), dalam hal ini kita tidak melakukan hal yang salah itu, melainkan kita hanya membenarkan tindakan yang salah, maka ini juga tidak boleh kita lakukan. Ini sebenarnya sikap mental,

– wa la yajhal (jangan bersikap bodoh/kasar) .

Di malam hari ada ibadah yang secara lahiriah misalkan mengurangi tidur, kemudian ditambah dengan ibadah ruhaniahnya, seperti: shalat malam, berzikir, berdoa, wirid, baca Alquran.

Khutbah Rasulullah ketika menyambut Ramadhan:

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu-tamu Allah dan dimuliakan-Nya. Di bulan ini, desah nafasmu menjadi tasbih, tidurmua menjadi ibadah (ini yang seirng disalah-pahami), amal kebajikanmu diterima, doa-doamu dikabulkan. Maka memohonlah kepada Allah Tuhanmu, dengan niat yang tulus dan hati nurani yang suci, agar Allah membimbingmu mampu melakukan puasa dan membaca kitabnya (perbanyaklah membaca Alquran di Bulan Ramadhan). Celakalah orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat nanti, karena itu bersedekahlah kepada fakir-miskin, muliakanlah para orang tuamu, sayangilah mereka yang muda, kuatkanlah hubungan silaturahim.

Nampak sekali, bahwa dari khutbah Rasulullah tersebut, bahwa hubungan manusia dengan Allah, maka nilai tertingginya adalah takwa. Sedangkan hubungan manusia dengan sesama manusia, maka nilai tertingginya adalah adil. Dalam hal ini, takwa dan adil itu tidak bisa dipisahkan.

I’dilu (adillah kalian), wa akrabu littaqwa (karena keadilan sangat dekat pada ketakwaan).

Hubungan antar manusia, nilai tertingginya adalah adil. Janganlah kita merusakkan hubungan antar manusia. Sebab, ketika kita merusakkan keadilan, berarti kita telah merusakkan hubungan antar manusia. Jika sudah seperti ini, maka kita menjadi tidak takwa kepada Allah, meskipun shalat yang kita lakukan bagus, juga puasa, zakat, dan haji yang telah kita lakukan begitu bagus.

Jadi, antara hubungan kita dengan Allah, janganlah dipisahkan dengan hubungan kita antar sesama manusia. Terutama dengan tetangga, kalau ada perbedaan pendapat antara kita, kalau ada konflik antara sesama manusia, maka belajarlah untuk memaafkan. Belajar untuk menyingkirkan dendam, marah, dan kecewa. Apapun yang pernah diperbuat oleh tetangga, kalau kita sulit memaafkannya, kitapun kemudian berkata:

Ya Allah, sebagaimana aku selalu mengharap maaf dan ampunan darimu, maka jadikanlah aku sebagai hamba-Mu yang mudah memaafkan orang lain.

Kita selalu mengharapkan maaf dan ampunan dari Allah, maka sudah selayaknyalah kita juga harus mau memaafkan orang lain. Dan ini adalah hal yang mudah dikatakan, tapi sulit untuk dilakukan. Sebagai manusia biasa, tentunya kadang-kadang ada problem, tapi kita selalu berusaha untuk memaafkan. Dan ternyata setelah kita bisa memaafkan, maka hidup ini menjadi nikmat dan lapang.

Maka di Bulan Ramadhan ini, lakukanlah puasa, qiyamullail, baca Alquran, yang itu semuanya adalah untuk membaguskan hubungan kita dengan Allah. Tapi jangan lupa, hubungan kita dengan manusia bagaimana? Urusan takwa dan ibadah kepada Allah jangan pernah dipisahkan dengan hubungan antar manusia.

Jagalah lidah kita, kendalikan pandangan kita dari yang tidak halal untuk dipandang.. Kendalikan pendengaran kita dari yang tidak halal untuk didengar. Kasihilah anak-anak yatim, agar nanti anak-anak yatim kita juga dikasihi orang. Bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosa kita. Angkatlah kedua tangan kita untuk berdoa di dalam shalat kita, karena itulah saat yang paling utama.

Jadi janganlah ragu, terutama ketika rakaat-rakaat terakhir untuk mengangkat tangan, berdoa kepada Allah. Qunut bukan hanya bisa dilakukan ketika salat shubuh, melainkan juga bisa kita lakukan pada shalat-shalat yang lain.

Saat kita sedang shalat, saat itulah Allah memandang hamba-hamba-Nya dengan tatapan penuh kasih, menjawab orang-orang yang menyeru-Nya, menyahut orang-orang yang memanggil-Nya, mengabulkan doa orang-orang yang memohon kepada-Nya.

Wahai manusia, sesungguhnya diri-dirimu tergadai oleh amal kebajikanmu.

Diri kita mau dimasukkan ke neraka oleh Allah. Tapi kita shalat, kita puasa, kita beribadah. Kalau begitu dimasukkan ke surga saja. Ketika mau dimasukkan ke surga, ternyata shalat kita banyak yang bolong, banyak tidak khusyu’nya. Maka tergadailah kita. Sudah melakukan amal kebajikan, tapi amal kebajikan tidak meloloskan kita ke dalam surga, karena dalam amal kebajikan itu banyak cacatnya: ada ujub, ada riya’. Karena itu, perbanyaklah istighfar. Sehingga yang tadinya amal kebajikan itu membebani kita, mau masuk ke surga tapi tertahan, maka beristighfarlah, supaya kekurangan-kekurangan dari ibadah-ibadah tersebut dihapuskan.

Punggung-punggungmu telah payah menanggung beban. Maka ringankanlah dengan sujud yang panjang.

Ketahuilah, Allah taala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya, bahwa Ia takkan mengazab orang-orang yang salat dan bersujud, takkan menggentarkan mereka, takkan menakutkan mereka dengan neraka di hari mereka berdiri di hadapan Allah nanti.

Wahai manusia, siapa di antaramu yang memberi makan buka puasa kepada orang-orang beriman yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah ada ganjaran yang setara dengan ganjaran pembebasan seorang budak, dan ampunan atas dosa-dosanya.

Jadi, sangat dianjurkan untuk memberi makan kepada orang-orang yang sedang berbuka puasa.

Di tengah khutbah itu, tiba-tiba seorang sahabat menyela, “Ya Rasulullah, tak semua orang di antara kami sanggup memberi makan buka puasa pada orang lain. Kami juga miskin.”

Maka Rasulullah seperti tidak mendengar selaan itu. Rasul terus melanjutkan khutbahnya:

Lindungilah dirimu dari api neraka, walau hanya dengan sebiji kurma. Lindungilah dirimu dari api neraka, walau hanya dengan seteguk air.

Jadi, semua itu bisa dilakukan dengan seminimal mungkin.

Wahai manusia, siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini, maka dia akan berhasil melewati Shiratal Mustaqim di hari ketika kaki-kaki lain tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan para pembantunya di bulan ini, maka Allah akan meringankan pertanggungjawabannya di hari kiamat nanti. Siapa yang menahan kejahatannya di bulan ini, maka Allah akan menahan murkanya di hari ia berjumpa dengan Allah. Siapa yang memuliakan anak yatim di bulan ini, maka Allah akan memuliakannya di hari ia berjumpa dengan Allah. Siapa yang menghubungkan tali persaudaraan di bulan ini, maka Allah akan menghubungkannya dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan Allah. Siapa yang memutuskan kekeluargaan di bulan ini, maka Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan Allah. Siapa yang melakukan shalat sunnat di bulan ini, maka Allah akan menetapkan pembebasan dari api neraka untuknya. Siapa yang melakukan shalat fardhu, maka baginya ada ganjaran seperti 70 kali shalat fardhu di bulan lain. Siapa yang memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, maka Allah akan memberatkan timbangan pada hari ketika timbangan-timbangan ringan. Siapa yang membaca satu ayat Alquran di bulan ini, ganjarannya setara dengan mengkhatamkan Alquran di bulan lain.

Wahai manusia, sesungguhnya pintu-pintu surga telah terbuka untukmu. Maka memohonlah kepada Tuhanmu, agar Ia tak pernah menutupnya lagi bagimu. Pintu-pintu neraka telah tertutup, maka memohonlah kepada Tuhanmu agar Ia tidak pernah membukanya lagi bagimu. Setan-setan telah terbelenggu, maka memohonlah kepada Tuhanmu agar mereka tak pernah lagi bisa menguasaimu.

Di tengah khutbah Rasulullah itu, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib lalu berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, perbuatan apa yang paling utama di bulan ini?”

Nabi pun menjawab, “Ya Abal Hasan, perbuatan yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan oleh Allah.”

Dalam hal ini, kalaupun tidak berbuat baik, setidaknya janganlah berbuat yang haram. Tidak berbuat haram saja, desah nafasmu menjadi tasbih, tidurmu menjadi ibadah. Tapi kalau kita melakukan ibadah, melakukan juga yang haram, maka semua amal ibadah kita akan menjadi rusak.

Demikianlah, Ramadhan adalah bulan kebangkitan rohani kita. []

13 September 2008 at 8:15 AM 2 komentar

Tingkatan Zuhud Dihubungkan dengan Hal yang Disukai

TINGKATAN ZUHUD DIHUBUNGKAN DENGAN HAL YANG DISUKAI

Disarikan dari Pengajian Tasawuf yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. pada tanggal 13 Agustus 2008 di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta

Transkriptor: Hanafi Mohan

Ada petuah-petuah para pendahulu kita (termasuk juga sahabat), dan juga ada hadis Rasulullah yang menyatakan:

Apabila kamu melihat seseorang hamba yang telah diberinya diam dan zuhud, dekatilah hamba itu. Sesungguhnya dia akan mengajarkanmu ilmu hikmah. (Al-Hadits).

Jika ada di antara kita, orang tersebut tidak banyak maunya, tidak cerewet, tidak neko-neko, pandangannya lurus. Lantas orang itu juga menampilkan penampilan zuhud. Sesungguhnya orang itu mempunyai uang, memiliki kekuasaan, tetapi orang tersebut tidak mau menampilkan diri sebagaimana halnya orang yang kaya dan berkedudukan. Rasulullah mengatakan, bahwa dekatilah orang tersebut, karena orang tersebut akan memberi hikmah.

Apakah hikmah?

Hikmah yaitu suatu informasi yang langsung menembus hati kita. Sekalipun orang itu bukan sarjana, juga bukan tokoh masyarakat, tapi apabila orang itu menampilkan dua kriteria ini (pendiam dan zuhud), maka orang seperti ini adalah kekasih Tuhan.

Seorang guru pernah mengatakan, jika pergi ke suatu kampung, carilah masjid yang paling tua di kampung itu. Datanglah lebih awal ke masjid tersebut, misalkan jauh sebelum salat maghrib. Kemudian carilah orang yang paling pertama masuk ke masjid tersebut. Orang tersebut biasanya duduk tafakkur dan juga tidak berkata-kata. Orang yang datang paling awal itu biasanya juga pulang paling akhir. Jika mendapati orang seperti ini, maka dekatilah ia, mintalah orang itu untuk mendoakan kita.

Orang yang seperti ini biasanya bukanlah orang sembarangan. Insya Allah orang seperti ini sudah mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan. Apalagi menurut orang-orang di sekitar tempat itu, bahwa pekerjaan orang tersebut memang seperti itulah adanya. Maka, bersahabatlah dengan orang tersebut, karena dia bukanlah orang sembarangan.

Jika engkau menginginkan dicintai oleh Allah, maka berzuhudlah di dunia ini. (di akhirat tentunya sudah tidak ada lagi zuhud). Rasulullah telah menjadikan sifat zuhud sebagai sebab dicintai oleh Allah. Jika ingin dicintai oleh Allah, maka berzuhudlah.

Apakah zuhud?

Zuhud adalah menghindari diperbudak oleh dunia (bukanlah membenci dunia). Orang yang dicintai oleh Allah adalah orang yang berada pada tingkatan derajat yang paling tinggi. Siapakah itu? Yaitu orang-orang yang menampilkan penampilan zuhud. Pemahaman sebaliknya (mafhum mukhalafah), bahwa orang yang mencintai dunia itu mendatangkan kemurkaan Allah.

Orang yang berorientasi kepada dunia, seolah-olah hidupnya hanya untuk menikmati dunia, menggenggam dunia, maka orang yang seperti ini tidak akan dicintai oleh Tuhan. Kita mencari-cari dunia, bukanlah kita segala-galanya untuk dunia. Dunia adalah kendaraan menuju akhirat, bukanlah kita yang sebaliknya dinaiki dunia.

Hadis lain mengatakan:

Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah akan memasukkan hikmah ke dalam hatinya. Maka lisannyapun berkata dengan hikmah. Allah mengenalkan kepadanya akan penyakit dunia dan obatnya sekaligus. Lalu Allah akan mengeluarkannya dari dunia dengan selamat ke dalam negeri kesejahteraan (surga).

Bagi orang yang zuhud, ada vibrasi positif yang mengalir di dalam diri orang tersebut, sehingga ucapan-ucapan orang yang seperti itu adalah hikmah, seperti tidak ada satu katapun yang mubazir yang keluar darinya, tak ada sepotong katapun yang sia-sia keluar dari mulut orang tersebut.

Ada orang yang berbicara selama dua jam, tetapi tidak ada yang bisa ditangkap, atau hanya sedikit sekali. Ada juga orang yang pendek bicaranya, tapi padat maknanya, mengiang-ngiang di telinga kita, dan tidak akan pernah terlupakan. Itulah ciri-ciri kekasih Tuhan.

Ada orang yang kiaiy besar, profesor doktor, sangat ilmiah, menarik pembawaannya, tetapi ketika kita pulang ke rumah, maka terlupakanlah semua yang disampaikan orang itu. Atau mungkin kita ingat, tapi tidak mempunyai daya tukik untuk mencegah kita melakukan dosa dan maksiat.

Tetapi sebaliknya, orang yang sudah terinstalasi ke dalam dirinya hikmah dari Allah, maka setiap kali kita akan melakukan dosa dan maksiat, maka terbayang-bayanglah wajah orang itu.

Rasulullah bersabda:

Celakalah bagi dunia, celakalah bagi dinar dan dirham. (Al-Hadits)

Maksudnya, jangan sampai mata uang itu yang membuat kita kalap, membuat kita buta, dan yang membuat kita terlena.

Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, Allah telah melarang kami menyimpan emas dan perak. Maka apakah yang seharusnya kami simpan?”

Dijawab oleh Rasulullah, “Salah seorang dari kamu hendaknya selalu membuat lisannya selalu berzikir, membuat hatinya untuk bersyukur, dan isteri yang shalihah yang membantunya untuk urusan akhirat.”

Mungkin banyak para isteri yang justeru mengajak para suaminya untuk menuntut dunia. Dan tidak sadar menjauhkan suaminya dari akhirat.

Firman Allah:

Perbekalan masa depan di rumah abadi (syurga) nanti adalah at-taqwa. (Al-Qur’an)

Umar ibn Khattab berkata: “Berzuhud terhadap dunia itu menenangkan hati dan jasad.

Kalau ada di antara kita yang tidak tenang, selalu gelisah, kering, walaupun sedang banyak uang, itu tandanya kita kurang zuhud.

Zuhud itu menenteramkan batin,

Bilal (sahabat, yang kemudian menjadi muazzinnya Rasulullah) berkata: “Sesungguhnya Allah menyuruh kita untuk berzuhud terhadap dunia. Akan tetapi kita malah menyukainya.

Ada orang yang di dalam pikirannya itu selalu uang. Untuk hal-hal yang tidak mendatangkan keuntungan materil baginya, maka ia takkan melakukannya.

Sengaja untuk menghindarkan akhirat, memburu dunia, maka dalam hal ini sebenarnya Tuhan sudah memalingkan perhatian orang tersebut ke dunia saja, dan hilang akan akhiratnya.

Tingkat Zuhud

Zuhud yang pertama, yaitu jika seorang yang berzuhud kepada dunia, tapi orang ini menyukai dunia, hatinya cenderung kepada dunia. Ini adalah tingkatan zuhud yang standard.

Zuhud yang kedua, yaitu ketika seseorang yang meninggalkan dunia dengan ringan, gampang sekali meninggalkan urusan dunia, karena dianggapnya hina dan dihubungkannya kepada apa yang diinginkan. Tak ada artinya dunia ini jika dibandingkan dengan kemulian akhirat.

Tingkatan ini sebenarnya juga masih ada kelemahan, karena kadang-kadang juga masih riya’. Ada orang yang meriya’kan zuhudnya. Orang yang seperti ini, pasti bukanlah contoh zuhud.

Zuhud yang ketiga, yaitu seorang yang berzuhud dengan ringan, tanpa beban, dia berzuhud dengan kezuhudannya. Inilah tingkatan yang paling tinggi.

Orang yang zuhud, tidak memandang kepada zuhudnya, kecuali ia memandang kepada yang dizuhudkannya. Orang yang zuhud sejati, dia tidak sadar bahwa dirinya itu zahid (zuhud).

Kalau ada orang yang menyadari dirinya berbuat baik, maka ini memang baik, tapi belumlah yang terbaik. Yang kita cari adalah kita tidak sadar kalau kita sudah melakukan kebaikan. Kita sudah tidak sadar bahwa apa yang kita lakukan itu adalah kebaikan. Karena kalau seseorang masih sadar kalau dia sudah melakukan kebaikan, maka suatu waktu nanti dia akan riya’.

Tingkatan Zuhud yang dihubungkan dengan hal yang disukai

Tingkatan paling rendah, zuhudnya karena takut akan siksaan.

Tingkatan menengah, zuhudnya karena mengharapkan pahala. Ia lupakan neraka, tapi ia memohon surga. Maka ia melakukan perbuatan baik karena diiming-imingi oleh surga.

Tingkatan tertinggi, zuhudnya karena suka kepada Allah, bukan takut neraka, bukan ingin surga. Dia takut, dan dia mencintai Tuhannya. Berharap bertemu dengan Allah, hatinya tidak peduli lagi dengan kenikmatan-kenikmatan dan azab. Inilah zuhudnya orang-orang yang mencintai Allah. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang ma’rifah.

Tidak ada orang yang mencintai khusus kepada Allah, kecuali orang-orang yang mengenali Tuhannya. Tidak mungkin jiwa kita akan mampu mengenali Tuhan kalau kita ini berlumuran dosa.

Tiga cara mendekati Tuhan

Pertama, ketika kita sudah melakukan dosa, maka cara masuk yang paling baik untuk dekat dengan Tuhan adalah dengan beristighfar. Ketika beristighfar, maka di situ terbayanglah ketakutan kita terhadap Allah yang Maha penyiksa. Maka pada saat itu nyali kita menjadi kecil, dan kita menjadi sangat kecil dan takut kepada Tuhan. Inilah cara masuk yang paling bagus untuk dekat kepada Allah.

Kedua, dia tidak berdosa, tetapi orang itu ditimpa musibah: anaknya meninggal, suami atau isterinya tiba-tiba sakit keras. Ada musibah, maka ia pasti ingat Tuhan. Pada posisi seperti ini juga merupakan jalan masuk untuk menuju Tuhan.

Pasti kita ingat Tuhan pada saat melakukan dosa. Jika ada orang yang sudah tidak ingat lagi dengan Tuhan ketika dia melakukan dosa, maka jenis orang seperti ini merupakan jenis orang yang dibenci oleh Tuhan.

Ketika kita melakukan dosa, ternyata kita masih takut, masih ingat Tuhan, masih bertobat, maka itu adalah tanda-tanda bahwa kita masih di dalam lingkup cinta Tuhan. Tapi kalau sudah tidak ada lagi panggilan istighfar setelah kita melakukan dosa dan maksiat, maka memang sudah mati orang itu secara spiritualnya, sekalipun biologisnya masih hidup.

Ketika ditimpa musibah kemudian kita dekat dengan Tuhan, maka itu adalah undangan. Yang menjadi persoalan adalah bagi orang yang sudah dekat dengan Tuhan, yang maqamnya sudah tinggi, tidak ada musibah yang bisa mengingatkan dirinya lebih dekat dengan Tuhan. Tidak pernah lagi mau melakukan dosa, sehingga tidak ada pemancing yang sangat kuat untuk mendekatkan dirinya dengan Tuhan.

Seperti inilah yang dialami oleh umat Islam secara umum. Soal isi perut tidak ada masalah, deposito sudah cukup, tanpa kerjaan, sudah pensiun, tapi insya Allah tujuh turunan takkan terlantar. Pakaian, kendaraan, rumah, semuanya tidak ada maslah. Fasilitas primer, sekunder, dan luxury nya pun sudah lengkap. Orang yang seperti ini membutuhkan metode untuk lebih dekat dengan Tuhan.

Biasanya orang yang terfasilitasi seluruh kehidupannya, maka sulit untuk intensif dekat dengan Tuhan. Orang yang dekat dengan Tuhan biasanya karena ada gelombang besar kehidupan yang menimpanya. Jadi Tuhan itu identik dengan Maha Penolong. Ketika kita sudah tidak membutuhkan pertolongan karena kita sudah merasa cukup, maka pada saat itu kita menjadi susah untuk dekat dengan Tuhan. Cara yang paling tepat untuk orang yang seperti ini ialah lewat pintu ar-raja’.

Hati-hatilah orang yang tenang karena dunianya lengkap, biasanya jiwa orang itu tidak akrab dengan Tuhan. Jangan pernah membiarkan hubungan kita dengan Tuhan biasa-biasa saja. Apakah kita akan terus membiarkan diri kita biasa-biasa saja dengan Tuhan? Yang kita inginkan adalah hubungan intensif itu sendiri. Dan intensitas kehidupan kedekatan dengan Tuhan itu memang harus diupayakan. Musibah tidak ada masalah. Dosa tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah pada saat kita stabil.

Orang stabil membutuhkan apa yang disebut dengan ar-raja’, yaitu rasa harap yang sangat dalam terhadap Tuhan.

Ar-raja’ adalah sesuatu yang tidak permanen, sifatnya masih keluar-masuk. Ada pula yang disebut dengan hal (fluktuatif/berubah-ubah). Yang kita inginkan adalah permanen. Kalau itu sudah permanen, maka itulah yang disebut sebagai maqam.

Pada umumnya, situasi batin kita sebagai orang awam barulah setingkat hal, yaitu misalkan kalau lagi lagi mood, maka dekatlah dengan Tuhan. Padahal yang kita rindukan adalah, sedetik pun kita takkan pernah mau berpisah dengan Tuhan.

Apa lagi yang seharusnya kita lakukan setelah fase ar-raja’ ini?

Yang kita inginkan adalah yang disebut sebagai fase mahabbah. Inilah yang abadi. Kalau kita menjadi pencinta sejati terhadap Tuhan, maka hati ini takkan pernah menjadi gersang. Semua penderitaan itu terasa nikmat.

Permasalahannya adalah ketika kita berada dalam keadaan normal. Ini adalah ujian yang paling berat. Pada umumnya, kita tidak pernah ada yang resah, karena fasilitas hidup kita sudah lengkap. Kalau kita hidup pada batas normal seperti ini, maka jangan sampai hidup kita nanti sepanjang itu pula berjauhan jarak dengan Tuhan, kita hanya mengingat Tuhan pada saat shalat lima waktu, itupun mungkin hanya separuh dari salat itu kita mengingat Tuhan.

Kalau perut kekenyangan, terlalu banyak makan daging, kalorinya berlebihan, energi berpikirnya segar, biasanya Tuhan itu berjarak. Tuhan itu lebih gampang muncul di perut lapar ketimbang perut kekenyangan. Hidup yang paling berarti di dunia ini adalah selalu dekat dengan Tuhan.

Jadi, ada empat situasi batin yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Dosa dan maksiat, musibah, hajat yang sangat besar, dan situasi normal.

Kita mungkin tidak terlalu mengkhawatirkan mengenai dosa, apalagi bagi orang yang sudah sering mendapatkan siraman rohani, intensif mengikuti pengajian, karena secepatnya kita akan beristighfar jika melakukan dosa, walaupun hanya dosa kecil.

Kita juga tidak mengkhawatirkan kalau ada musibah, karena kita pasti akan mengembalikan segalanya kepada Tuhan.

Kita juga tak terlalu khawatir jika ada kebutuhan yang sangat besar, walaupun dibutuhkannya begitu darurat. Kita tak perlu meragukannya, karena kita pasti akan meminta bantuan kepada Allah.

Yang perlu diwaspadai adalah ketika kita sedang tidak dalam keadaan membutuhkan apa-apa dalam kehidupan ini (kehidupan kita normal). Ini yang harus dicermati. Jika dalam keadaan seperti ini, apakah yang harus kita lakukan?

Dalam keadaan seperti ini, yang bisa kita lakukan adalah:

– Ar-raja’, yaitu kita jangan mau kehilangan Tuhan. Kalau sepanjang hari ini kita belum ingat Tuhan, sedangkan kita selalu berzikir, shalat, dan ibadah lainnya, tapi ingat kepada Tuhan begitu dangkalnya, tentunya ini merupakan suatu permasalahan. Kedangkalan ingatan kita terhadap Tuhan merupakan pertanda, bahwa Tuhan itu jauh. Bukan Tuhan jauh dari kita, tetapi kitalah yang menjauhkan diri kita dengan-Nya. Cepatlah mengembalikan posisi batin itu. Kembalilah akrab dengan Tuhan.

Dalam situasi normal, jangan pernah meninggalkan shalat-shalat sunnat rawatib. Jangan hanya ketika ada masalah saja kita baru melakukan shalat sunnat rawatib. Jangan pula pernah meninggalkan shalat-shalat sunnat yang lain, termasuk juga jangan mengurangi jumlah rakaat salat dhuha, salat tahajjud, dan salat-salat sunnat lainnya yang biasa kita lakukan. []

13 September 2008 at 8:01 AM 1 komentar

Sya’ban Gerbang Ramadhan

SYA’BAN GERBANG RAMADHAN

Disarikan dari Kuliah Dhuha yang disampaikan oleh KH. Adi Warman Kariem pada tanggal 17 Agustus 2008 di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta

Transkriptor: Hanafi Mohan

Pada periode Mekkah, ayat yang mewajibkan untuk berpuasa di Bulan Ramadhan itu belum turun, yaitu:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Jadi, pada periode Mekkah, belum ada kewajiban untuk berpuasa di Bulan Ramadhan, karena ayat mengenai perintah tesebut (ayat di atas) belum turun. Tapi, meskipun dalam periode Mekkah tersebut belum ada kewajiban untuk berpuasa di Bulan Ramadhan, namun Rasulullah dan para sahabat telah terbiasa berpuasa. Ada dua jenis puasa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan umat Islam ketika itu (periode Mekkah), yaitu: pertama, puasa setiap tanggal 13, 14, dan 15 (setiap bulannya), yang biasa disebut sebagai puasa hari putih. Kedua, puasa pada tanggal 10 Muharram. Inilah dua jenis puasa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan umat Islam ketika itu. Hampir-hampir seperti wajib, tapi sebetulnya tak ada kewajiban untuk puasa jenis ini, sehingga kita menyebutnya sebagai puasa sunnah.

Ketika Rasullah dan umat Islam hijrah ke Madinah, barulah ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan puasa di Bulan Ramadhan itu turun. Ayat tersebut turun pada Bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah. Karena itulah, Sya’ban merupakan gerbangnya Ramadhan.

Pada Bulan Rajjab, maka kita berdoa, “Allahumma bariklana fi Rajjab wa Sya’ban, wa balikna Ramadhan.” (Ya Allah, berkahilah kami di Bulan Rajjab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami untuk bertemu dengan Bulan Ramadhan).

Banyak sekali hadits yang menceritakan keistimewaan Bulan Rajjab dan Sya’ban. Salah satunya adalah:

Pada Bulan Sya’ban itu (tepatnya yaitu ketika Nisfu Sya’ban), maka Allah akan turun ke langit dunia. Allah akan melihat, siapa saja hamba-Nya yang meminta ampun, maka Allah akan memberikan ampunan kepada semuanya. (Al-Hadits)

Dalam redaksi yang lain juga disebutkan:

Allah akan turun ke langit dunia, maka Allah memberikan ampunan semua hamba-Nya, kecuali dua jenis manusia: pertama, orang yang mensyirikkan Allah. Kedua, orang yang dalam hatinya ada permusuhan dengan orang lain. (Al-Hadits)

Sebenarnya tidak ada keraguan mengenai malam Nisfu Sya’ban. Yang yang menjadi perbedaan pendapat adalah apa yang kita lakukan pada malam Nisfu Sya’ban tersebut.

Pada tahun kedua hijriyah, muncul beberapa kewajiban. Selain kewajiban mengenai puasa di Bulan Ramadhan, juga muncul kewajiban untuk membayar zakat fitrah. Sedangkan perintah mengenai kewajiban zakat maal baru muncul pada tahun kedelapan hijriyah.

Mengapa Bulan Sya’ban menjadi begitu penting? Karena, jika kita tidak mempersiapkan diri (dalam arti ruh kita) untuk menghadapi Ramadhan, maka ketika Ramadhan habis, ternyata kita tidak mendapatkan apa-apa, karena ruh kita belum siap untuk berhubungan dengan Allah.

Allah tidaklah menilai berapa rakaat kita salat tarawih, berapa banyak kita mengkhatamkan Alquran, berapa malam dan berapa lama kita salat tahajjud, bahkan Allah juga tidak menilai berapa banyak zakat dan sedekah yang kita bayar, melainkan yang dinilai oleh Allah adalah keikhlasan kita dalam mencari keridhaan-Nya.

Karena itulah, sudah semestinya kita bersungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi datangnya Bulan Ramadhan. Bagi yang mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh menghadapi Bulan Ramadhan, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, bahwa barangsiapa yang senang, atau sekedar senang saja dengan datangnya Bulan Ramadhan, maka syurga adalah balasannya.

Senang yang dimaksud adalah bagi orang-orang yang memang sudah sejak Bulan Rajjab, atau setidaknya sejak Bulan Sya’ban sudah mempersiapkan dirinya (dalam arti ruhnya) untuk menghadapi datangnya Bulan Ramadhan.

Allah berfirman:

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-‘Ankabuut: 69)

Kuncinya di sini adalah kesungguhan diri kita mempersiapkan datangnya Bulan Ramadhan. Jika diibaratkan, maka Nisfu Sya’ban adalah lampu kuning, yang menandakan bahwa sebentar lagi Ramadhan akan menjelang. Kalau sudah lampu kuning, tinggal setengah bulan lagi Ramadhan, sedangkan kelakuan kita masih seperti sebelum-sebelumnya: hati belum dibersihkan dan dipersiapkan, sehingga ketika Bulan Ramadhan datang, ternyata kita belum apa-apa. Ramadhan kemudian berlalu begitu saja tanpa ada kesan, melainkan sekedar “illal ju’ wal athas” (sekedar tidak makan, sekedar tidak minum).

Ingatlah ketika Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya (Ismail). Allah mengatakan:

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Hajj: 37)

Allah tidak membutuhkan darah kambing, tidak membutuhkan daging kambing, tidak membutuhkan kulit kambing, melainkan kitalah (manusia) yang membutuhkan semua itu. Allah hanya sekedar mengecek, apakah manusia mau “sami’na wa ’atha’na”. Apakah manusia siap melaksanakan apa yang dikatakan-Nya.

Kesungguhan Nabi Ibrahim inilah yang kemudian oleh Allah dibalas. Karena Nabi Ibrahim sungguh-sungguh memberikan yang terbaik yang dimilikinya. Karena kesungguhannya untuk selalu memberikan yang terbaik, maka anak yang ditunggu-tunggunya (Ismail) yang diperintahkan untuk dikurbankan, kemudian Allah ganti dan Allah balas dengan yang terbaik.

Lihatlah bagaimana kesungguhan Siti Hajar. Waktu itu ia ditinggal di lembah Bakkah (Mekkah), yang ketika itu belum ada apa-apanya selain hanya lembah yang sunyi. Bayangkanlah, ketika itu Siti Hajar ditinggal sendirian oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar hanya ditemani anaknya (Ismail) yang masih kecil.

Ia (Siti Hajar) bertanya kepada Nabi Ibrahim, “Hai Ibrahim, engkau meninggalkanku di sini apakah karena kehendakmu atau karena perintah Allah? Kalau kehendakmu sendiri, aku tak mau, sama saja engkau sudah menelantarkan isteri dan anakmu. Tapi kalau ini merupakan perintah Allah, maka aku akan mentaatinya.”

Siti Hajar waktu itu tidak membawa cangkul, tidak membawa alat mengebor untuk menemukan air. Apakah yang dilakukan Siti Hajar? Yang dilakukannya adalah selalu memberikan yang terbaik dan selalu bersungguh-sungguh. Yang bisa dilakukan oleh Siti Hajar hanyalah berlari dari Shafa ke Marwa. Ternyata air yang dicari itu tidak ada. Kemudian ia kembali lagi berlari ke Shafa, walaupun ia tahu sebelumnya bahwa di Shafa juga tidak ada air, namun ia tetap mencarinya. Begitu seterusnya beberapa kali bolak-balik berlari antara Shafa dan Marwa. Tapi ia terus bersungguh-sungguh berusaha untuk mendapatkan air tersebut. Menurutnya, bahwa mustahil Allah akan menelantarkan dia dan anaknya.

Akhirnya, ternyata yang menemukan zam-zam adalah Ismail (anaknya), bukanlah Siti Hajar. Artinya, jika kita beribadah kepada Allah, jika kita sungguh-sungguh berjuang di jalan Allah, maka janganlah egois. Bisa saja Siti Hajar berkata, “Yang capek berlari aku, tapi mengapa Ismail (anakku) yang mendapatkannya.”

Ternyata Siti Hajar tidak berkata seperti itu. Terserah Allah akan memberikan rezeki lewat mana. Bayangkanlah jika para pejuang yang dahulunya berjuang melawan penjajah, tapi mereka (para pejuang itu) egois, maunya merdeka secepatnya pada saat itu juga.

Yang Allah minta bukanlah hasil, melainkan usaha yang kita lakukan. Yang menikmati kemerdekaan adalah kita sekarang, sedangkan para pejuang yang dahulunya berjuang ternyata tidak merasakan hasil dari perjuangannya. Mereka juga mungkin tidak tahu ratusan tahun kemudian barulah negeri ini merdeka. Dalam Bahasa Arab disebut “Man jadda wa jada” (siapa yang mau sungguh-sungguh, maka dialah yang mendapatkan hasilnya).

Kesungguhan inilah yang membedakan orang-orang yang beriman yang oleh Rasulullah dikatakan:

Barangsiapa yang bergembira dengan datangnya Bulan Ramadan, balasannya adalah surga jannatun na’im. (Al-Hadits)

Tapi, jika kita tidak bersungguh-sungguh mempersiapkan diri, maka kita bukanlah termasuk yang disebutkan oleh Rasulullah itu.

Ketika menjalankan ibadah puasa Ramadhan, maka yang dihitung oleh Allah bukanlah banyaknya rakaat shalat tarawih, bukanlah banyaknya khataman Alquran, dan bukan pula panjangnya bacaan Alquran ketika shalat tarawih, melainkan yang dinilai oleh Allah adalah kesungguhan dan keikhlasan kita berjuang di jalan-Nya.

Kesungguhan seperti ini juga dilakukan oleh para sahabat Rasulullah. Dalam suatu kesempatan, ketika Rasulullah sedang berkumpul dengan para sahabatnya, ada seorang pemuda yang lewat di depan mereka. Pemuda itu badannya tegap, masih muda, kuat, dan tangkas. Maka sahabat yang hadir ketika itu mengatakan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, jika pemuda tersebut mengikuti kita berjihad, sepertinya cocok dan pas sekali.”

Lalu dijawab oleh Rasulullah, “Apabila pemuda tadi keluar dari rumahnya demi berusaha mencari rezeki untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka itulah yang dinamakan fi sabilillah. Jika ia keluar dari rumahnya sungguh-sungguh untuk mencari rezeki di jalan Allah, maka itulah yang dinamakan fi sabilillah. Kalau pemuda ini keluar dari rumahnya sungguh-sungguh mencari rezeki dan berusaha untuk memberi makan orang tuanya yang sudah tua, maka itulah yang dianamakan fi sabilillah. Apabila pemuda ini keluar dari rumahnya untuk kemegahan dirinya, untuk riya’, agar dipuji oleh orang lain, maka itulah yang dinamakan fi sabilisy-syaithan.”

Dalam hal ini, sebenarnya adalah persoalan ruh. Perbuatannya sama, sama-sama bekerja, sama-sama berusaha sungguh-sungguh, tapi yang Allah nilai bukanlah perbuatan fisiknya, melainkan keikhlasannya hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah.

Rezeki itu adalah rahasia Allah. Setiap orang sudah ditentukan banyak dan sedikitnya rezeki yang ia dapatkan.

Diriwayatkan, bahwa suatu ketika Sayyidina Ali naik keledai, lalu datang ke masjid. Dilihatnya di depan masjid ada seorang pemuda yang sedang duduk-duduk. Melihat itu, Sayyidina Ali bermaksud untuk menitipkan keledainya itu kepada pemuda tersebut. Niat Sayyidina Ali, bahwa nanti setelah selesai shalat, maka beliau akan memberi sedekah kepada pemuda tersebut sebanyak satu dinar. Kemudian masuklah Sayyidina Ali ke dalam masjid untuk shalat, setelah sebelumnya menitipkan keledainya kepada pemuda tersebut.

Ketika Sayyidina Ali selesai shalat, lalu keluar dari masjid, ternyata si pemuda tersebut sudah tidak ada. Keledainya masih ada, tapi cangkang keledainya sudah tidak ada. Sehingga Sayyidina Ali berprasangka, jangan-jangan si pemuda yang dititipi keledai tersebut malahan bukan menjaga keledai, melainkan mencuri cangkang keledai. Lalu Sayyidina Ali pun memanggil seorang temannya untuk pergi ke pasar mencari pemuda yang dimaksud. Sayyidina Ali menitipkan satu dinar kepada temannya itu untuk membeli cangkang keledai tersebut dari pemuda yang dimaksud.

Ketika temannya Sayyidina Ali itu pergi ke pasar, ternyata benar, ia menemukan pemuda tersebut sedang menjual cangkang keledai yang dimaksud seharga satu dinar. Lalu temannya Sayyidina Ali itu pun membeli cangkang keledai yang dimaksud dari pemuda tersebut. Ketika temannya Sayyidina Ali itu kembali menghadap Sayyidina Ali, ia pun menceritakan apa yang sudah ditemuinya di pasar, bahwa benarlah apa yang disangkakan oleh Sayyidina Ali.

Mendengar ini, Sayyidina Ali berkata, “Subhanallah, ternyata pemuda tersebut memilih untuk mendapatkan satu dinar yang haram dibandingkan satu dinar yang halal.”

Jika si pemuda tersebut sabar sedikit saja, tentunya ia akan mendapatkan satu dinar yang halal. Namun karena ia tidak sabar, maka ia mendapatkan satu dinar yang haram. Pertanyaannya, apakah rezekinya itu bertambah? Ternyata rezeki yang ia dapatkan dari cara yang haram tersebut tidak bertambah. Memang sudah dari sananya mendapatkan rezekinya sebanyak itu, maka sebanyak itu jugalah yang akan ia dapatkan, walau dengan cara apapun ia lakukan. (kisah ini dikutip dari Buku “La Tahzan”).

Masih dari Buku “La Tahzan”, juga dikisahkan:

Ada dua kelompok nelayan: satu kelompok selalu berbuat maksiat terus, sedangkan kelompok yang satunya lagi selalu tekun beribadah. Tapi tangkapan ikan pada kelompok nelayan yang selalu berbuat maksiat itu ternyata jauh kebih banyak dibandingkan dengan kelompok nelayan yang tekun beribadah. Jadi, kelompok nelayan yang tekun beribadah mulai pusing dihadapkan pada kenyataan tersebut. Mengapa seperti ini, mereka sudah tekun beribadah, tapi rezekinya sedikit, sedangkan yang suka mengerjakan maksiat malahan mendapatkan rezeki yang melimpah. Akhirnya, nelayan-nelayan yang tekun beribadah itu merundingkan hal tersebut sesama mereka. Mereka merundingkan untuk mencoba melakukan maksiat kecil-kecilan, siapa tahu ada perubahan akan rezeki yang mereka dapatkan. Akhirnya diputuskanlah, kemudian mereka mencoba melakukan maksiat kecil-kecilan.

Ternyata benar, setelah mereka melakukan maksiat, tangkapan ikan mereka menjadi melimpah ruah. Di antara tangkapan ikan yang banyak itu, ada satu ikan yang besar. Ketika dibelah perutnya, ternyata di dalam perutnya ditemukan mutiara yang nilainya tak terhingga. Pada saat itu, nelayan-nelayan tersebut berdecak keheranan akan hasil tangkapan mereka tersebut. Mereka lalu mengira, jangan-jangan ini bukan rezeki dari Allah, melainkan karena bantuan setan. Kemudian mereka merundingkan lagi akan hal tersebut. Akhirnya mereka sepakat untuk membuang mutiara tersebut, karena mereka beranggapan bahwa mutiara tersebut tidak halal untuk mereka ambil. Kemudian atas kesadaran mereka, para nelayan tersebut pun insaf, lalu bertobat, dan taat lagi kepada Allah.

Setelah taat lagi kepada Allah, mereka beralih dari tempat semula mereka mendapatkan ikan yang melimpah ruah sebelumnya, berpindah ke tempat lain. Setelah taat lagi kepada Allah, dan pencarian ikan pun mereka lakukan di tempat lain, ternyata tangkapan mereka masih tetap banyak.

Jadi dalam hal ini hanyalah persoalan waktu, bukanlah persoalan mengerjakan maksiat atau tidak. Sudah dari sananya seperti itu, maka seperti itu saja. Walaupun mereka kini kembali tekun beribadah, ternyata tangkapannya tetap banyak. Di antara tangkapan yang banyak itu, ditemukan lagi ikan yang besar, lalu ikan itu dibelah perutnya Ternyata di dalam perut ikan tersebut didapat lagi mutiara yang sebelumnya sudah mereka buang itu. Jadi, kalau memang sudah rezeki, walaupun kita buang, maka rezeki tersebut akan kembali lagi.

Dalam berbisnis, usaha, bekerja, maka janganlah pernah berpikiran untuk melakukan yang haram. Karena yang haram itu takkan pernah bisa untuk menambah rezeki kita.

Siapa saja yang mau menjadi kasirnya Allah, maka dia akan dipilih oleh Allah untuk menjadi kasir-Nya. Kalau kita mendapatkan rezeki, lalu rezeki itu kita simpan untuk diri kita sendiri, maka Allah mengatakan, bahwa kita tidak cocok menjadi kasir-Nya. Tetapi jika kita mendapatkan rezeki dari Allah, kemudian rezeki itu kita berikan lagi kepada orang lain, maka kita cocok menjadi kasirnya Allah.

Kewajiban puasa turunnya pada Bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah. Kewajiban zakat turun pada tahun kedua hijriyah juga. Tapi pada periode Mekkah, apakah Rasulullah dan umat Islam ketika itu tidak memberi sedekah dan infak? Ternyata Rasulullah dan umat Islam ketika itu memberi sedekah dan infak.

Sebelum turun ayat yang mewajibkan zakat, maka turunlah ayat:

(1) Alif Laam Miim. (2) Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (3) (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, (Q.S. Al-Baqarah: 1 – 3)

Jadi, pada periode Mekkah memang tidak ada perintah untuk berzakat. Yang ada adalah perintah untuk menafkahkan sebagian rezeki kepada orang yang membutuhkan. Karena ayat inilah, ketika itu para sahabat selalu berlomba-lomba untuk memberikan sedekah. Ada yang datang untuk mensedekahkan sepertiga dari hartanya, kemudian ada lagi yang ingin menyedekahkan setengah dari hartanya, setelah itu ada lagi yang ingin menyedekahkan dua pertiga dari hartanya, kemudian Abu Bakar Shiddiq mengatakan, bahwa ia ingin menyedekahkan seluruh hartanya.

Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar, “Apa yang akan kau tinggalkan untuk anak dan istrimu?”

“Cukuplah Allah dan Rasul-Nya,” jawab Abu Bakar.

Jadi, waktu itu para sahabat memiliki semangat untuk bersedekah habis-habisan. Kemudian turunlah ayat yang memerintahkan kewajiban zakat. Pesan yang ingin disampaikan oleh ayat yang memerintahkan kewajiban zakat ini adalah agar para sahabat tidak usah habis-habisan untuk bersedekah. Yang wajib untuk dizakatkan hanya 2,5 persen.

Tentunya berbeda dengan keadaan kita kini. Bagi kita kini mungkin ada saja alasan yang dibuat-buat untuk menghindari kewajiban membayar zakat, misalkan: nisabnya belum sampailah, haulnya masih kurang, dan alasan-alasan lainnya.

Tapi kalau kita “wa mimmaa razaqnaa hum yunfiquun”, maka Allah mengatakan bahwa kita cocok menjadi kasir-Nya. Allah akan menitipkan rezeki-Nya bukan hanya untuk kita saja, melainkan untuk kita, juga untuk orang lain.

Teladanilah Rasulullah dalam hal ini. Jika di luar Bulan Ramadhan, beliau sangat gemar bersedekah. Ketika Bulan Rajjab, maka sedekahnya bertambah. Ketika Bulan Sya’ban, sedekahnya bertambah lagi. Dan ketika Bulan Ramadhan, maka sedekahnya akan bertambah, dan bertambah lagi. Inilah rahasianya jika kita ingin menambah rezeki.

Rezeki kita takkan pernah habis, karena menurut Allah kita cocok untuk menjadi kasir-Nya. Jika kita mendapatkan rezeki, lalu kita memberikan lagi rezeki tersebut kepada orang lain, maka Allah akan terus menambah rezeki kita. Tetapi, jika ketika kita mendapat rezeki, lalu hanya kita makan untuk diri kita sendiri, maka oleh Allah mungkin hanya diberi sebesar itu saja, karena hanya untuk kita makan sendiri. Sedangkan jika rezeki yang kita dapatkan tersebut juga kita berikan kepada orang lain, maka oleh Allah rezeki tersebut akan terus ditambah, karena rezeki tersebut bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi dititipkan juga untuk diberikan kepada orang lain.

Terlepas dari apa yang kita lakukan pada malam Nisfu Sya’ban, maka sudah tak dapat disangkal lagi bahwa Malam Nisfu Sya’ban itu memang memiliki keutamaan. Jika kita tidak sungguh-sungguh mempersiapkan (terutama ruh kita) untuk menghadapi Bulan Ramadhan, maka nantinya kita tidak terasa, tahu-tahu Ramadan sudah habis, kita hanya “illal ju’ wal athas”, hanya mendapatkan lapar dan haus.

Sya’ban gerbangnya Ramadhan. Sebentar lagi Ramadhan akan datang. Siapkanlah diri kita baik-baik dengan sungguh-sungguh. Allah tidak melihat berapa rakaat shalat tarawih kita, berapa kali kita khatam Alquran, berapa banyak uang yang kita sedekahkan, melainkan yang Allah lihat adalah bagaimana kita melakukan segala perintah-Nya sungguh-sungguh hanya untuk mencari keridhaan Allah. []

13 September 2008 at 7:49 AM 2 komentar

Older Posts


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.319 hits
September 2008
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter