Archive for Juni, 2008

Cerpen: Panggilan dari Ibu

PANGGILAN DARI IBU

Cerpen: Hanafi Mohan

Begitu aku turun dari kapal penumpang, desauan angin Sungai Kapuas yang begitu lembut dan segarnya langsung menerpa wajahku. Kemudian mataku menyapu keadaan di Pelabuhan Pontianak. Ternyata masih seperti dahulu. Tak terlalu banyak perubahan yang kulihat. Keadaannya tak jauh berbeda dengan keadaan ketika bertahun-tahun yang lalu kutinggalkan pelabuhan ini untuk menuju ke Pelabuhan Tanjung Priok. Aku juga mencoba-coba mengedarkan pandanganku untuk melihat ke arah hulu, di mana terletak daerah Simpang Tiga yang bersejarah itu, yaitu simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Landak, yang tak jauh dari situ terdapat Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak dan Kampong Beting.

Siang-siang seperti ini, tentunya Pontianak sedang panas-panasnya, benakku. Apalagi kulihat cuaca begitu cerahnya. Ya … cerah, cerah ala Kota Pontianak. Cerah dengan panas matahari yang begitu menyengat, karena memang kota ini pas dilalui oleh garis edar matahari (equator). Matahari itu bagaikan hanya beberapa jengkal saja di atas kepala ini. Itulah yang dulunya sering kurasakan ketika berada di Kota Khatulistiwa ini.

Sengaja aku tidak turun berdesak-desakan tadi. Sehingga suasana kini memang tidak terlalu ramai dengan penumpang yang sedang turun berdesak-desakan itu. Bentuk bangunan Pelabuhan Pontianak yang sangat khas Kalimantan Barat itu mengingatkanku ketika bertahun-tahun lalu kapal yang kutumpangi meninggalkan Kota Pontianak. Bentuk bangunan yang begitu khas itu kemudian terpatri di dalam ingatanku, karena memang di saat-saat yang sangat berat seperti itu, hal-hal seperti ini menjadi begitu berharganya. Rasanya diri ini ingin turun lagi dari kapal ketika itu. Melihat teman-teman dan saudara-saudaraku melambai-lambaikan tangannya di tepi pelabuhan. Seakan-akan itu adalah lambaian terakhir untukku. Sedangkan aku hanya terpaku membisu dengan segala remuk-redam di atas kapal melihat lambaian tersebut. Lambaian yang seakan-akan tak mau melepaskanku pergi, yang seakan-akan memanggil diriku untuk segera turun dari kapal yang kutumpangi itu. Namun apalah daya, pintu kapal sudah ditutup, juga tangga yang menghubungkan kapal dengan pelabuhan sudah ditarik dan dinaikkan kembali ke atas kapal. Aku hanya bisa memandang rombongan pengantarku itu dengan berbagai macam perasaan tak menentu. Sementara kapal yang kutumpangi sedikit demi sedikit merangkak meninggalkan pelabuhan.

Sebenarnya masih ada satu adegan dramatis yang kutunggu-tunggu hingga aku terus melihat rombongan pengantarku itu sambil harap-harap cemas, walaupun memang tekad kapal yang kutumpangi tak dapat ditahan-tahan untuk tidak beranjak dari pelabuhan. Adegan tersebut adalah hal yang paling menegangkan dan paling indah yang biasanya kulihat di film-film romantis. Ingin kulihat dari rombongan pengantarku itu ada seorang gadis yang berlari mengejar kapal yang kutumpangi, sambil ia berteriak, “Kandaaa … Kandaaa …, janganlah tinggalkan Dinda seorang diri di kota ini! Sampai hatikah Kanda meninggalkan kekasihmu ini merana dalam penantian?”

Jika adegan tersebut sempat terjadi ketika kapal yang kutumpangi belum terlalu jauh meninggalkan pelabuhan, maka aku sudah menyiapkan beberapa alternatif tindakan yang semuanya begitu dramatis jika kulakukan.

Alternatif pertama, aku akan segera meloncat dari kapal untuk menyongsong gadis tersebut. Jika alternatif ini yang kuambil, maka kemungkinan besar aku akan membatalkan keberangkatanku ke Pulau Jawa, untuk kemudian aku akan hidup dalam naungan kebahagiaan bersama gadis tersebut di kota kelahiranku.

Tapi setelah kupikir lagi, sepertinya tindakan tersebut tak lebih merupakan tindakan bodoh dari seorang laki-laki muda sepertiku yang masa depannya masih terbentang luas di depan. Kemungkinan laki-laki seperti ini adalah laki-laki yang tidak memiliki tingkat ketegaran yang tinggi, bukan laki-laki pejuang, namun tak lebih hanyalah seorang laki-laki pecundang yang tak berani mengejar masa depan dan mencapai cita-citanya, yang begitu berat untuk meninggalkan kota kelahirannya, keluarganya, dan gadis yang dicintainya.

Alternatif kedua, aku akan memohon kepada Kapten Kapal untuk merapat kembali ke pelabuhan demi masa depanku yang lain yang sedang menungguku di pelabuhan. Jika Kapten Kapal itu tidak mengindahkan permohonanku, maka aku akan memelas-melas memohon kepadanya demi masa depanku yang lain ini, sambil kukatakan kepadanya, “Sampai hatikah Tuan Kapten melihat kehancuran dua orang anak manusia yang sedang berada dalam kekalutan dan kegundahan cinta ini? Kehancuran tersebut tak lain disebabkan karena Tuan Kapten tidak bersedia merapat kembali ke pelabuhan hanya untuk beberapa menit.” Kemudian karena tindakanku juga didukung oleh para penumpang lainnya, maka aku semakin bertambah semangat, sedangkan Kapten Kapal menjadi luluh hatinya demi melihat usahaku yang tak pernah surut memperjuangkan cintaku.

Walaupun begitu, persetujuan Tuan Kapten untuk merapat kembali ke pelabuhan juga bukan tanpa garansi. Ia hanya memberiku waktu lima menit untuk menemui kekasihku yang menunggu di pelabuhan. Tidak lebih tidak kurang, kembali ia tegaskan ketika aku akan menuruni tangga kapal. Jika lewat dari waktu tersebut, maka tidak ada lagi tempat untukku di kapal. Dengan waktu yang tak terlalu lama itu, akupun segera bergegas dengan cepatnya menuruni tangga kapal. Tak kuhiraukan lagi apakah aku akan terpeleset ataupun terjatuh ketika menuruni tangga kapal tersebut.

“Hei anak muda, jangan terlalu tergesa-gesa! Akupun pernah mengalami apa yang kau alami kini. Karena itulah, Kapten yang baik hati ini akan memberimu injury time selama tiga menit. Perjuangkanlah cintamu!” terdengar teriakan seseorang dari atas kapal, kemungkinan adalah Tuan Kapten yang baik hati itu. Aku yang sudah ada di pelabuhan langsung disambut oleh seorang gadis muda yang tak lain adalah kekasih hatiku. Melihat sambutan yang penuh pengharapan itu, aku pun langsung menyanyikan lagu yang diciptakan oleh Allahyarham Tan Sri P. Ramlee, penyanyi legendaris Malaysia yang banyak sekali penggemarnya di Kotaku, termasuk aku. Lagu itu berjudul: “Hancor Badan Dikandong Tanah”. Begini bunyi baitnya:

Hancor badan kandong tanah

Budi baek dikenang juga

Biar alam hancor dan musnah

Cintaku tiada berubah

Lalu kekasihku itu juga bernyanyi dengan nyanyian yang sama, karena lagu ini aslinya memang dinyanyikan secara berduet antara laki-laki dan perempuan. Begini bait yang dinyanyikan kekasihku itu:

Dua tiga boleh cari

Mana sama abang seorang

Kalau janji sudah tepati

Tiada orang menghalang

Akupun kemudian melengkapi lagi nyanyian yang begitu indah dan syahdu itu:

Kalau sungguh kau berkata

Senang rasanya diriku

Kekasihku itu pun juga melengkapi dua baris lagi dari bait di atas:

Memang sungguh ku berkata

Janganlah ragu-ragu

Kemudian nyanyian cinta ini kami tutup dengan menyanyikan secara bersama-sama bait awal lagu, yang juga menjadi bait terakhir dari lagu ini:

Hancor badan kandong tanah

Budi baek dikenang juga

Biar alam hancor dan musnah

Cintaku tiada berubah

Ketika kami menyanyikan lagu tersebut, seakan-seakan seluruh alam ini menjadi musik pengiring bagi lagu cinta yang kami nyanyikan. Kami berpegangan tangan. Tangan kananku dengan tangan kirinya, dan tangan kiriku dengan tangan kanannya. Kami saling bertatapan dalam tatapan yang penuh kasih.

“Kanda, mengapakah Kanda harus pergi meninggalkan Dinda dalam kesendirian? Tentunya Dinda akan merindukan Kanda selalu di sini,” ucap kekasihku dengan matanya yang berkaca-kaca.

Akupun kemudian juga berkata, tapi mataku tak berkaca-kaca, mungkin tak ingin dikatakan sebagai lelaki yang cengeng, “Percayalah Dinda, cinta ini hanya untukmu seorang. Kanda pergi takkan lama. Nanti, Kanda akan kembali lagi merajut benang-benang cinta kita. Dinda, ikhlaskanlah kepergian Kanda ini!”

Suasana pun menjadi hening dan syahdu. Kulihat ada yang mengalir pelan dari sudut matanya, “Pergilah Kandaku sayang. Pergilah hai pejuang. Raihlah cita-citamu. Dinda akan bersabar menantimu.”

Hatiku membuncah mendengar perkataannya itu, melihat tangisannya yang melepas kepergianku.

“Waktumuuu tinggal sedikiiit, anak mudaaa,” terdengar suara dari atas kapal.

“Kanda pergi dahulu, Dinda,” semakin erat ia menggenggam tanganku, seakan tak ingin melepaskan diriku.

“Kanda, jangan pernah tinggalkan sembahyang, ya! Jagalah kesehatan Kanda selama di rantau orang!”

Perlahan ia melepaskan genggamannya di tanganku. Sementara air matanya masih mengalir pelan. Kulihat wajah itu dalam-dalam. Kulihat matanya yang bening itu. Kuhapus air matanya. Kemudian, perlahan tapi pasti, aku pun berlalu darinya dengan segala remuk-redam. Tak ada lagi kata yang dapat kuucapkan. Juga dirinya. Masih kudengar isak tangisnya ketika kakiku menaiki tangga kapal. Kulihat di atas kapal, orang-orang melihat adegan yang begitu dramatis ini. Seakan-akan mereka merestui cinta kami.

Saat-saat akan memasuki pintu kapal, masih kusempatkan melihat ke arah kekasihku di pelabuhan. Memang tidak kudengar lagi isak tangisnya. Dari kejauhan kulihat lambaian perpisahannya. Aku pun melambaikan tanda perpisahan yang sama. Hatiku menangis, tapi tidak mataku. Kucoba menguatkan hatiku. Diriku harus tegar. Di saat itu, aku memang tidak menangis seperti halnya kekasihku. Tapi di saat-saat yang lain, ketika kesendirian di negeri rantau, ketika mengingat orang-orang yang dicintainya, ketika memimpikan orang-orang yang menyayanginya, juga ketika membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, ataupun setelah selesai sembahyang di tengah malam, lelaki yang lembut hatinya ini akan tersedu-sedan menangis.

Ah …, betapa cengengnya diriku.

Memang, cinta kadang membuat orang buta. Tak jarang pula orang kehilangan akal sehatnya, hanya karena urusan yang satu ini.

Setelah kutimbang-timbang, ternyata alternatif kedua begitu naifnya. Mungkin saja dilaksanakan, dan mungkin juga susah untuk dilakukan. Alternatif kedua ini muncul di benakku tak lain karena aku sering nonton film India. Ketika nonton film-film tersebut, aku merasa bahwa tokoh utama yang ada di dalam film itu adalah aku. Dan aku kadang membayangkan, seandainya suatu waktu aku mengalami adegan-adegan tersebut, tentu begitu indahnya, pikirku.

Karena naifnya itu, maka alternatif kedua ini aku urungkan. Kemudian aku masih memiliki alternatif ketiga, yang tak kalah dramatisnya, walaupun begitu menyakitkan.

Alternatif ketiga, aku hanya akan terdiam dengan segala remuk-redam melihat kekasihku berteriak-teriak memanggilku. Hal ini karena kapal yang kutumpangi sudah agak jauh bertolak dari pelabuhan, walaupun misalkan aku masih bisa melihat orang-orang yang mengantarku. Menurut perkiraanku, mungkin saja kapal bisa kusuruh untuk merapat lagi. Tapi apa gunanya bagi diriku melakukan perbuatan bodoh tersebut. Sehingga tindakan terbaik dan bijak yang mungkin kulakukan adalah hanya terdiam di pinggir kapal, melihat orang-orang yang mengantarku, melihat kekasihku yang berteriak-teriak memanggilku. Kejamkah sebenarnya diriku? Tentu tidak. Aku hanya mencoba untuk tegar dan menguatkan tekadku untuk mencapai cita-cita. Walaupun begitu, hatiku sebenarnya menangis, menangis sejadi-jadinya. Siapapun tak akan kuat dan tak akan tahan jika berada dalam keadaan seperti ini.

* * *

Lain yang kuharapkan, lain pula yang terjadi. Kulihat rombongan pengantarku sudah menghilang dari pelabuhan. Gadis yang kutunggu-tunggu tidak juga muncul. Sehari sebelum keberangkatanku, si gadis pujaanku hanya mengucapkan beberapa kata, “Semoga Abang selamat di perjalanan hingga sampai ke tujuan.” Tidak lebih dari itu. Dan aku hanya mengucapkan kata-kata pamit yang biasa-biasa saja, tanpa dibumbui kata-kata yang romantis. Dan yang patut kau ketahui kawan, bahwa selama aku mengenalnya, tak pernah satu kata cinta pun yang kuucapkan kepadanya, dan sebaliknya, tak pernah satu kata cintapun yang ia ucapkan untukku. Begitulah aku, laki-laki yang tak pernah mengatakan secara terus-terang perasaan cintanya kepada seorang perempuan. Begitulah aku, laki-laki yang mulutnya akan terkunci rapat-rapat ketika berhadapan dengan seorang perempuan. Karena sikapku yang tak mengasyikkan ini, suatu ketika di perantauan, ketika aku mulai ingin belajar untuk dekat secara serius dengan seorang perempuan, kemudian ditolak mentah-mentah oleh perempuan itu. Tragisnya, perempuan itu menolakku sebelum sempat aku mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Itulah kisah cintaku yang membosankan, yang tak pernah cocok untuk dijadikan sebagai cerita drama romantis.

Sementara kapal sepertinya sedang bersiap-siap untuk berangkat, walaupun masih bertambat di pelabuhan. Saat-saat di mana perasaan hati ini campur aduk. Ada perasaan senangnya, ada perasaan sedihnya, dan berbagai macam perasaan lainnya. Senang, karena untuk pertama kalinya aku akan menjejakkan kakiku di kota metropolitan yang selama ini hanya menjadi mimpi dan khayalanku. Dan di antara pemuda sebaya di kampungku, akulah yang pertama kali menjejakkan kaki di kota metropolitan. Sedangkan aku sendiri tak lebih hanyalah seorang pemuda dari keluarga miskin. Sementara lebih banyak lagi pemuda yang sebaya denganku yang mereka itu berasal dari keluarga yang lebih kaya dariku yang lebih memungkinkan mereka untuk merantau ke Pulau Jawa. Itulah perasaan senangku, senang yang bercampur aduk. Lantas kemudian, mengapa aku juga harus memiliki perasaan sedih? Ini aku rasa wajar saja. Karena aku akan meninggalkan semua orang yang kucintai dan mencintaiku, meninggalkan tanah kelahiranku, meninggalkan semua kenangan-kenangan indah masa remajaku. Perasaan ini semakin mendalam ketika aku melihat ke arah hulu Sungai Kapuas, tempat beradanya Simpang Tiga Kapuas-Landak, tempat beradanya Masjid Jami’ Kesultanan, tempat beradanya Istana Kesultanan, tempat beradanya Jembatan Kapuas, tempat beradanya rumahku, tempat di mana kenangan-kenangan indah terukir di sana.

Saat yang membuat diriku sedih juga ketika kapal sudah berjalan menjauhi pelabuhan, menyusuri ke arah hilir Sungai Kapuas menuju ke muara, saat melintasi Tugu Khatulistiwa, melewati kawasan Batulayang, saat di mana Pontianak semakin menjauh dari pandangan, saat di mana sudah tak memungkinkan lagi diriku untuk mengatakan tidak terhadap keberangkatan tersebut, saat di mana air sungai dan air laut bertemu, yang pertemuan kedua air tersebut seakan-akan antara mau dan tidak mau, seakan-akan tidak ikhlas dan tidak rela. Ya …, rasa tidak ikhlas dan tidak rela untuk meninggalkan kota kelahiranku juga sempat muncul di saat-saat itu, saat-saat ketika perasaan ini hancur teraduk-aduk. Tapi apa mau dikata, kapal sudah semakin menjauh meninggalkan kotaku. Di depan sudah menunggu lautan yang begitu luas, yang di depannya lagi sudah menunggu harapan hidupku.

* * *

Tiba-tiba lamunanku dikejutkan oleh seseorang yang menawarkan jasa angkutan penyeberangan. Tanpa menimbang terlalu lama, aku pun mengiyakan tawaran tersebut. Akupun segera melaju dengan speedboat menyeberangi Sungai Kapuas. Tujuanku adalah Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak. Aku ingin sujud syukur di masjid bersejarah tersebut.

Terlihat Alun-alun Kapuas yang tak jauh dari situ juga ada Kantor Walikota dan MAKOREM. Masih asri alun-alun tempat warga kotaku berkumpul itu. Sementara speedboat terus membawaku menyeberangi Sungai Kapuas. Terlihat dari kejauhan Simpang Tiga Kapuas-Landak. Aku ingin melewati Simpang Tiga itu, aku ingin merasakan saat-saat terindah menyeberangi dan melaluinya seakan-akan aku adalah Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang ketika 2 abad yang silam memutuskan untuk menjadikan daerah di dekat simpang tiga tersebut sebagai tempat pertama untuk mendirikan kota kelahiranku.

* * *

Senang rasanya hatiku sudah menunaikan nazar untuk shalat sunnat dan sujud syukur di Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman jika aku lulus kuliah. Dan nazar tersebut tidak kutunda-tunda ketika kedatanganku di kota tumpah darahku. Begitu turun dari kapal, aku langsung menuju Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak itu yang jaraknya memang tak terlalu jauh dari pelabuhan, hanya menyeberang beberapa menit. Tidak tanggung-tanggung, perjalanan menuju Masjid Jami’ kulakukan dengan menaiki speedboat menyusuri Sungai Kapuas, melewati Simpang Tiga Kapuas-Landak, sambil melihat pesona pesisir Sungai Kapuas yang begitu unik. Perjalanan yang begitu indah, karena inilah Landmark Kota Pontianak dengan berbagai keunikannya.

Selesai menunaikan nazarku, rehat sebentar di pelataran Masjid Jami’, kemudian aku mengitari halaman masjid, menikmati keindahan masjid tua itu. Beberapa saat kemudian, akupun langsung beranjak dari masjid, kemudian langsung menuju Istana Qadriah yang tak terlalu jauh jaraknya dari Masjid Jami’ Kesultanan. Istana Qadriah adalah pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak di masa silam. Dibandingkan dengan Masjid Jami’, memang Istana Qadriah waktu pendiriannya lebih belakangan. Kedua bangunan ini menjadi saksi bisu sejarah bermulanya kotaku. Kata orang Pontianak, bagi orang-orang yang berkunjung ke Pontianak, jika belum menjejakkan kaki di kedua tempat ini, maka belumlah orang tersebut sampai di Kota Pontianak.

Sungai Kapuas juga punya ceritanya sendiri. Minumlah air Sungai Kapuas, niscaya kau akan kembali lagi ke Kota Pontianak. Begitulah yang dipercayai oleh masyarakat kotaku. Ini bukan takhayul, dan juga bukan khurafat. Aku lebih melihatnya sebagai bentuk penghormatan terhadap suatu tempat, dan itu tidak melebihi kewajaran, dan juga tidak syirik. Demi penghormatan dan rasa sayangku terhadap tanah tumpah darahku inilah, beberapa tahun yang lalu ketika akan meninggalkan Bumi Khatulistiwa menuju ke Pulau Jawa, akupun meminum air Sungai Kapuas yang katanya sudah tercemar limbah merkuri itu, yang ketika itu aku belum tahu jika air Sungai Kapuas sudah tercemar limbah yang berbahaya itu. Jika aku adalah anak, maka kota kelahiranku adalah ibu. Dan meminum air Sungai Kapuas adalah bentuk penghormatanku terhadap ibu, sekaligus merupakan ucapan pamit, dengan tekad akan kembali lagi ke hadapan ibu jika aku sudah berhasil.

Kemudian aku kembali lagi ke hadapan ibu, ke pangkuan tanah tumpah darahku, memenuhi panggilan tanah kelahiranku, yang selama bertahun-tahun di perantauan, panggilan itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Suatu panggilan cinta dan kasih sayang yang tak ada tandingannya. Panggilan itu yang membuatku selalu kuat dan tabah menghadapi aral dan rintangan di rantau orang.

* * *

Begitu memasuki jalan gang yang menuju ke rumahku, sepertinya sepanjang jalan bertaburkan bunga menyambut kedatangan putra yang telah lama merantau ini. Setiap orang yang berpapasan denganku bagai mempersembahkan senyum penyambutan terhadapku. Seakan-akan terngiang-ngiang di telingaku bunyi suara Tar (rebana) yang dulu biasanya sering kumainkan bersama grup Hadrah yang dipimpin oleh pamanku. Juga sepertinya terdengar bunyi marwas yang berharmoni dengan gitar gambus, biola, dan akordion. Seakan-akan saling bersahut-sahutan antara syair-syair zikir hadrah, senandung melayu, lagu jepin, dondang, dan joget, juga lantunan syair, pantun, gurindam, dan ghazal. Seakan terlihat dari kejauhan tarian redat hadrah yang begitu takzim dan tarian jepin yang penuh semangat. Semuanya laksana mempersembahkan penyambutan terhadapku, bak pahlawan yang baru pulang dari peperangan.

Hatiku berdebar-debar ketika semakin mendekati rumaku. Terlihat orang-orang begitu ramai berkumpul di rumahku, di pelataran, di ruang tamu. Oh, inikah penyambutan yang dipersiapkan oleh keluargaku untuk putranya yang datang dari rantau? Semakin kumendekat ke rumah, semakin jelas begitu ramainya orang-orang berkumpul di rumahku. Tapi aku heran, seakan semuanya berada dalam aura kesedihan. Ada apakah ini gerangan? Mengapa tidak menyambutku dengan gembira? Terlihat orang-orang menangis, kakakku, abang-abangku, adikku, saudara-saudara sepupuku, paman-pamanku, bibi-bibiku, para sanak keluargaku, segenap keluarga besarku, semuanya terlihat berurai air mata. Ketika melihat kedatanganku, segenap keluargaku semakin bertambah sedih.

Mana ibuku? Aku segera bergegas ke dalam rumah menuju ke dapur tempat biasanya ibuku sedang berada, yang biasanya ia sedang masak. Tapi ibuku tak ada. Mungkinkah ibu sedang tidur? Akupun ke kamar ibuku. Mak …, Emak …, anakmu kini datang, Mak. Ketika aku masuk ke dalam kamar, kulihat sesosok tubuh terbujur kaku. Kudekati sosok yang tertutup oleh kain putih itu. Kulihat juga di sekeliling sosok itu, orang-orang sedang membaca Al-Qur’an. Ada apa ini? Aku semakin tak mengerti. Siapakah yang berselimut kain putih ini? Orang-orang memandangku dengan pandangan sedih. Tapi tak ada satupun yang menjawab kebingunganku. Seorang kerabat menuntunku ke sosok yang berselimut kain putih. Ia membukakan selimut putih itu. Lalu tersibaklah dan terlihat wajah yang kurindukan selama ini. Mak …?

Mak, anakmu sudah datang Mak. Bangunlah, Mak. Mulut ibuku menyiratkan senyuman, menghiasi wajahnya yang tegar dan sabar. Mungkin ibuku sedang letih setelah mengerjakan rutinitasnya, sehingga ia kini harus beristirahat. Mak, tak apalah kalau Emak masih letih. Anakmu ini akan menunggu di sini hingga Emak bangun.

Orang-orang yang berada di dalam kamar kulihat berderai air mata melihat perangaiku. Aku heran, mengapa mereka bersedih begitu rupa. Tak bolehkah ibuku tertidur sejenak melepaskan kepenatannya? Mak, mengapa orang-orang ini berlaku aneh?

Lalu seorang perempuan yang parasnya seperti ibuku, menghampiri. Dia adalah kakakku. “An, Emak sudah pergi,” katanya kepadaku.

“Kak Ngah, Emak pergi? Lalu yang berselimut itu siapa?” tanyaku.

“Itulah Emak yang kita cintai,” jawab kakakku.

“Kak Ngah mengatakan bahwa Emak pergi. Tapi yang sedang tertidur berselimut kain putih itu adalah Emak. Berarti Emak tidak pergi, kan?”

“Kau harus mengerti Adikku, bahwa Emak telah pergi untuk selamanya meninggalkan kita, dan meninggalkan dunia ini. Emak telah menghembuskan nafas terakhirnya beberapa waktu yang lalu. Emak sudah wafat, An.”

Mengetahui hal itu, akulah yang kemudian tanpa sadar berurai air mata. Tak ada kata-kata yang dapat kuucapkan selain daripada bahasa air mata. Mengapakah keadaan yang sama ini harus kualami lagi? Beberapa tahun yang lalu ketika aku kelas tiga SMA, kejadian yang sama juga sudah kualami, yaitu wafatnya ayahku, yang ketika itu aku tak sempat melihatnya menghembuskan nafas terakhir. Ketika itu aku sedang tidak berada di rumah. Lantas kini, ketika aku kembali dari rantau, kiranya kelulusan kuliahku akan kupersembahkan kepada ibuku. Tapi kini, semuanya sudah tak berarti. Bertahun-tahun aku di rantau, menuntut ilmu, mencari pengalaman hidup, semuanya aku lakukan adalah untuk membahagiakan ibu. Kini, siapakah lagi yang akan kubahagiakan? Hatiku remuk-redam menghadapi kenyataan ini.

* * *

“An, mengapakah kau hanya berdiri terdiam membisu? Masuklah, Nak!” suara seseorang yang begitu kukenal dan sangat kurindu menyelusupi telingaku. Mataku ke kanan ke kiri mencari asal suara.

“Mak?” aku tergamam.

“Hei, seperti inikah anak emak yang baru pulang dari rantau? Kau laksana melihat hantu rupanya,” suara itu berkata-kata kepadaku. Suara yang tak lain adalah suara ibuku.

Apakah sebenarnya yang telah kualami ini? Sudah begitu kacaukah pikiranku? Entahlah. Aku hanya ingin membahagiakan ibu. Dan kini, ibu sudah berada di depan mataku. Bukan seperti bayanganku sebelumnya, yaitu ibu berpulang ke rahmatullah di hari kedatanganku.

Ibu, aku hanya ingin membahagiakanmu. Ingin kukatakan kalimat itu, tapi semuanya menjadi kabur. Ternyata di hari kepulanganku, bukan akulah yang membahagiakan ibu, tapi ibulah yang telah membahagiakanku. Betapa tidak, bahwa kehadirannya telah menghapus kesedihanku, menghilangkan kelelahan jiwaku, dan membuat sirna remuk-redam selaksa gundah-gulanaku.

Ingin kubersimpuh di kakinya, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, dan entah ucapan-ucapan apa lagi yang memang semestinya kuucapkan.

* * *

Kulihat dari dalam rumahku ada seorang perempuan berkerudung. Benakku berujar, siapakah gerangan?

Perempuan itu membawakan minuman ke ruang tamu di mana kini kuberada. Wajahnya begitu teduh, sehingga mengusir kegerahan tubuhku yang dikarenakan panas terik matahari Kota Khatulistiwa.

Wajah perempuan itu mengingatkanku kepada seseorang. Perempuan yang selalu kurindukan siang dan malam. Perempuan yang menjadi fajar hidupku, yang selalu menerangi gelap-gulita hatiku.

* * *

Teringat aku bertahun-tahun yang lalu, di tepian Kapuas, di sebuah tangga tempat pemandian orang pesisir sungai dan juga sekaligus tempat mengambil air sembahyang (wudhu’), kami duduk di tangga itu melihat Kapuas dengan segala aktivitasnya. Kami menjuntaikan kaki di atas air, menyentuh-nyentuhkan ujung kaki di air. Ya, aku dan dia, hanya berdua saja. Begitu romantis bagiku ketika itu. Dan mungkin juga dia.

Kami saling mengucapkan kata. Ya, aku dan dia. Walaupun seringnya kata-kata kami ditingkahi oleh suara gemerisik gelombang, riuh rendah transportasi air, dan campuran-campuran suara lainnya. Senyumnya begitu manis bagiku bagaikan yang tergambar pada bait-bait lagu Azizah yang dinyanyikan Allahyarham Tan Sri P. Ramlee. Suaranya merdu bagaikan suara penyanyi Senandung Melayu. Alunan suaranya mendayu-dayu dengan logatnya yang begitu kental, membuatku sulit melupakannya hingga kapanpun.

Tidur malam terbayang, teringat kamu seorang, membikin hati pemuda, menjadi bimbang, oh Azizah.

Begitu indahnya Allahyarham Tan Sri P. Ramlee mencipta dan menyenandungkan lagu itu. Dan apa yang kualami ini bagaikan senandung Melayu itu. Sungguh indah tak terperikan.

Kini aku berada lagi di tempat yang sama, bersama seorang perempuan berkerudung. Dia menceritakan masa-masa ketika ditinggal wafat oleh ibunya. Kemudian ia lama-kelamaan merasa dekat kepada ibuku, seakan-akan ibuku adalah pengganti sosok ibunya. Dia menceritakan bagaimana seluruh keluargaku menerimanya, dia menceritakan bagaimana ibuku sudah menganggapnya bagai anak sendiri.

Suaranya mengalunkan logat Melayu Pontianak yang begitu khas dan penuh kesopanan. Seorang perempuan yang dididik dalam ada resam budaya Melayu, di Alam Melayu yang lembut yang telah melahirkan para pujangga ternama, para penyanyi dengan suara-suara merdu, para seniman, yang terlahir bukan dari sekolah seni, tapi dari Alam Melayu yang merupakan sekolah seni terbesar bagi bangsa Melayu.

Gadis Khuntien, aku takkan pernah melupakan pesona alami dari perempuan Kota Khatulistiwa yang lemah lembut dan penuh kesopanan.

Orang Melayu Pontianak memang tidak berbicara berpantun-pantun dan bersyair-syair. Tapi setiap kata-kata yang diucapkan adalah pantun dan syair yang bersenandung, yang berharmonisasi, dengan dinamik yang begitu indah.

Di tepi Sungai Kapuas, adalah tempat terindah bagi orang Pontianak. Desauan anginnya menepis panas terik mentari di khatulistiwa, menghadirkan kilasan-kilasan nostalgia terindah.

Tercetak jelas di pelupuk mataku budak-budak laot yang riang: Witri yang kudengar kini menjadi pelaut mengikuti pamannya, Denis yang terus berjuang menjadi musisi ternama di Jakarta, Izwardi yang sudah menikah dan menjadi pelopor pemuda di kampungku, dan aku yang kini duduk bersama seorang perempuan berkerudung, yang tak lain adalah gadis khuntien yang selalu menjadi kekuatan jiwaku dalam menempuh hari-hari terberat di perantauan.

Gadis khuntienku masih seteduh yang dulu, bahkan kini lebih teduh lagi dengan balutan kerudungnya, membuat hatiku semakin teduh, menjadikan jiwaku damai selalu setelah kembali dari pengembaraan mencari hikmah di negeri harapan yang begitu jauh dari negeri sungaiku.

Nostalgiaku terus mengalir laksana air Sungai Kapuas yang mengalir ke hilir, ke muara, dan ke laut. Kupandangi wajahnya yang teduh, ia hanya mempersembahkan senyumnya yang termanis – semanis Limau Sambas, yang dikenal orang Jakarta dengan sebutan Jeruk Pontianak. [Aan]

Ciputat, 24 April 2008 – 25 Mei 2008 – 17 Juni 2008

22 Juni 2008 at 4:47 PM 3 komentar

Kebahagiaan Itu

KEBAHAGIAAN ITU

Cerpen: Hanafi Mohan

Kiranya dalam dua Minggu terakhir ini adalah saat yang begitu berbahagia bagiku. Kebahagiaan itu membuncah-buncah, hingga tak dapat lagi kutahan, dan ingin rasanya kumembagi kepada siapa saja. Di minggu-minggu yang lalu kebahagiaan itu telah perlahan-lahan mendekatiku. Ya …, cerpenku sudah dimuat di Tabloid Majemuk, itulah kebahagiaan di minggu-minggu yang lalu. Kebahagiaan yang telah tersemai itu kemudian terus kusirami, kupupuk, kupelihara, hingga menimbulkan ketenangan di jiwa ini, hingga melahirkan semangat hidupku.

Berita bahagia ini kuberitahu kepada para sahabatku sekitar seminggu yang lalu. Sahabat, hingga kapanpun akanlah tetap menjadi sahabat. Sahabat terbaik, kiranya tak semua sahabat adalah sahabat terbaik bagi kita. Tapi seburuk-buruknya sahabat, tetaplah sebagai sahabat, yang mana tali silaturahim itu harus terus terjalin, terikat, dan terpaut erat hingga ruh berpisah dari jasad.

Mereka para sahabatku itu memberikan support yang begitu berarti bagiku. Mereka berkata, “Selamat temanku, akhirnya berhasil juga kau menjadi penulis. Tak percuma usaha yang telah kau lakukan selama ini. Teruslah konsisten, kawan. Kami para sahabatmu ikut berbahagia akan berita ini. Kami bangga dan bahagia, ternyata ada juga teman kami yang menjadi penulis, yang hal itu tak dapat kami lakukan. Hanya kaulah kiranya di antara kita yang bisa mencapai hal itu.”

Ketika menuliskan kata demi kata di tulisan ini, kurasakan betapa menyesak seluruh isi dada ini, hingga tanpa terasa mengalir pelan dari sudut mataku titik-titik air mata kebahagiaan itu. Sementara di telingaku terus mengalun lagu-lagu syahdu dari Jazirah Arabia. Lagu-lagu Arabia ini menyelusup pelan dan perlahan ke relung sepi hatiku, menghapus segala remuk-redam dan gundah-gulana semesta jiwa ini. Semua ini semakin menambah kesyahduan di tengah malam yang hening ini ketika kumengetikkan tulisan ini huruf demi huruf, hinggga kemudian terangkai menjadi kata demi kata, hingga kemudian terjalin menjadi kalimat demi kalimat, hingga kemudian terbingkai menjadi paragraf demi paragraf, hingga kemudian sepertinya jari-jariku tak pernah mau berhenti menari-nari di atas tuts keyboards.

Dalam beberapa tahun ini ketika satu persatu di antara kami lulus dari perkuliahan, maka kami sudah jarang sekali bertemu, terutama aku yang begitu jarangnya bertemu dengan sahabat-sahabatku. Aku dianggap sebagai anak hilang oleh mereka. Entah mengapa, dalam beberapa tahun ini begitu dalam sekali deraan-deraan hidup yang kurasakan. Kolaps, kemudian merangkak perlahan-lahan, kemudian aku berusaha bangkit, lalu berjalan tertatih-tatih. Tak lama kemudian terjatuh lagi, dan kemudian berusaha bangkit lagi, lalu terjatuh dan bangkit lagi silih berganti. Ketika berada pada titik nadir itu, selaksa hidupku pecah berderai berkeping-keping. Dari sinilah, aku perlahan-lahan menjauh dari para sahabatku. Bukannya aku benci dengan mereka, tapi memang keadaanku lagi tak memungkinkan untuk selalu bersama-sama dengan mereka.

Malam yang lalu (Selasa malam Rabu) kami bertemu lagi. Tak ada kiranya yang paling membahagiakan di antara kami selain daripada bernostalgia akan masa-masa yang telah lewat, yaitu masa-masa ketika kami masih sering bersama-sama ketika menuntut ilmu sebagai mahasiswa tingkat awal, hingga tingkat pertengahan, hingga tingkat akhir ketika kami bersama-sama berbaur di masyarakat saat Kuliah Kerja Sosial (KKS). Nostalgia-nostalgia terindah itu melesat keluar dari memori kolektif kami. Begitu bersemangatnya kami saling bercerita, kadang kami tertawa bahagia mengingat kenangan indah yang pernah kami ukir bersama itu.

Musik Arabia terus mengalun syahdu. Kadang suara orkestrasi biola yang mengiris-ngiris bertingkah-tingkahan dengan suara synth string yang memukau. Belum lagi suara merdu para biduanita Arabia yang begitu menyentuh kalbu yang berkelindanan dengan harmoni suara gitar dan piano yang diiringi dengan hentakan-hentakan drum yang dinamis yang ditingkahi bermacam-ragam suara perkusi.

Entah mengapa, baru kali ini kurasakan sensasi menulis yang begitu luar-biasa. Tulisanku mengalir begitu rupa seiring seirama dengan lantunan musik Arabia yang memikat jiwa dan semesta intuisi. Setiap kata yang kutuliskan mengalir pelan, kadang juga deras, sementara telingaku menikmati musik Arabia dengan berjuta-juta rasa. Beraneka-macam rasa pun silih berganti ketika mendengar musik ini, seiring dengan silih bergantinya pula kata-kataku mengalir sedemikian hingga bertukar pelan dengan deras.

* * *

Setelah puas saling bertukar cerita, perut kami pun terasa lapar. Jam telah menunjukkan sekitar pukul 12 malam. Ada-ada saja ide kreatif yang diungkapkan seorang sahabatku yang biasa kami panggil dengan panggilan “Bembeng”. Kebetulan di antara kami ketika itu ada seorang teman yang telah memiliki pekerjaan yang lumayan, dan yang pasti gajinya lumayan pula. Kami biasa memanggilnya dengan panggilan yang begitu gagah, yaitu “Rambo”.

Nah, Bembeng pun mengungkapkan kepada Rambo, “Bo, tak terasa hari semakin merangkak malam, sementara obrolan kita pun semakin serunya..Seperti kita ketahui, di tengah malam seperti ini adalah saat di mana Tuhan menurunkan berkah yang tak terhingga, pintu langit pun dibukakan selebar-lebarnya oleh Yang Maha Kuasa. Di malam seperti ini Tuhan juga mengutus para malaikat ke bumi, yang mana malaikat itu membentangkan sayapnya lebar-lebar menaungi bumi dari ujung timur hingga ke ujung barat. Tapi seiring dengan itu pula, semakin malam perut ini semakin terasa lapar pula. Alangkah lebih indahnya di depan kita ini terhampar makanan yang bisa mengusir lapar itu, sehingga kita bisa tetap mereguk keberkahan yang diturunkan Tuhan di tengah malam yang sunyi-senyap ini. Untuk mereguk keberkahan itu bersama-sama, alangkah indahnya bagi yang telah mendapatkan keberkahan di antara kita berempat ini bersedia dengan penuh keikhlasan membagi keberkahan tersebut untuk kita bersama. Hitung-hitung sebagai rasa kesyukuran atas berkah yang telah direguknya.”

Untungnya Rambo langsung mengerti akan perkataan Bembeng yang berpanjang lebar dan terjalin indah itu. “Ya udah, ayo kita cari makan sekarang di seantero Ciputat ini,” berkata Rambo dengan segenap pengertian, yang itu dapat kami menggerti pula bahwa Rambo lah yang akan mentraktir.

Kami berempat pun saling berpandangan. Rambo pun berkata lagi, “Bagaimana? Setujukah kalian?”

Aku pun menyahut, “Selama itu untuk kebaikan kita bersama, maka Aan (aku) akan setuju-setuju saja.”

Tak lama kemudian, temanku yang satu lagi yang bernama Bulet pun memberikan persetujuan yang sama, “Bulet insya Allah akan setuju juga ketika hal tersebut lebih banyak manfaat dibandingkan mudharatnya.”

Sementara Bembeng jangan ditanyakan lagi, karena dialah pengusul ide yang kreatif ini di saat kami menderita penyakit kelaparan kolektif. “Ya udah, ayolah kita ke mana (maksudnya, marilah kita segera pergi mencari makan ke tempat yang menyediakan makanan tersebut).”

Aku, Bulet, dan Rambo kemudian menyanyikan koor yang sama dan serentak tanpa adanya aba-aba dari Conductor “Ayo!” dengan nada sama-sama mengajak.

Tanpa menunggu aba-aba dari siapa pun, kami kemudian sama-sama beranjak menuju ke luar dari kosan Bulet tempat kami berada ketika itu. Rambo kebetulan membawa mobil, jadi wisata kuliner kami di tengah malam ketika itu menjadi lebih menarik lagi. Tujuan kami adalah tempat makan yang representatif dan nyaman, kalau bisa ada hiburan musiknya. Mungkin sejenis restoran, rumah makan, atau kafe yang agak lumayan mewah dan cukup berkelas.

* * *

Menyusuri semesta Ciputat dengan menggunakan mobil di tengah malam kiranya begitu mengasyikkan, apalagi jalan raya sepanjang kawasan Selatan Jakarta begitu lengangnya di tengah malam yang penuh berkah ini.

Pikiranku mengembara pada sebuah novel yang pernah kubaca. Pada suatu bagian dari novel tersebut menggambarkan perjalanan wisata kuliner yang dialami oleh sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di suatu kota di Timur Tengah, yang dapat pula dikatakan bahwa kota ini sebenarnya sudah termasuk dalam wilayah Benua Afrika.

Untuk mendapatkan sensasi mengenai novel tersebut, maka ketika mengetikkan kata demi kata yang berhubungan dengan pengembaraan pikiranku ini, maka kemudian Winamp di komputer langsung kupaksa untuk menyetel soundtrack film yang mengangkat kisah dari novel tersebut.

Mahasiswa-mahasiswa pada novel tersebut umumnya digambarkan sebagai mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ketika itu mereka diajak oleh tetangga apartemen mereka yang merupakan warga pribumi di kota tersebut untuk merayakan ulang tahun istri dan anak lelakinya di sebuah Restoran Mewah untuk ukuran kota itu.

Tentu saja para mahasiswa Indonesia itu kaget bercampur bahagia. Kaget, karena seumur-umurnya mereka memang belum pernah makan di Restoran Mewah. Bahagia sudah pasti, karena di tengah kesulitan yang mereka alami di negeri rantau itu, ternyata masih ada juga orang yang berbaik hati kepada mereka, sehingga mereka bisa makan enak di sebuah restoran mewah.

Mereka pergi menggunakan mobil seperti halnya wisata kuliner yang sedang kualami ini. Yang paling kuingat adalah bahwa mereka menggunakan pakaian seadanya. Ada yang menggunakan celana training (celana untuk olah raga), ada yang hanya memakai baju kaos, dan ada juga yang memakai baju kemeja, tapi kemejanya itu kumal dan tak rapi. Paling hanya satu di antara mahasiswa tersebut yang benar-benar siap untuk pergi, pakaiannya rapi, yang pasti digambarkan begitu sempurnanya di novel tersebut, karena mahasiswa yang satu ini adalah tokoh utamanya. Dan yang harus selalu diingat, bahwa anak perempuan dari tetangga apartemen mahasiswa Indonesia ini kemudian jatuh cinta setengah mati dengan mahasiswa yang sangat sempurna itu. Bahkan ketika di restoran mewah tersebut, si mahasiswa yang sangat sempurna itu diajak berdansa oleh anak perempuan tetangganya ini. Namun sayang, si mahasiswa yang sangat sempurna ini begitu jaimnya (jaga image), karena ia kemudian menolak ajakan anak perempuan dari tetangganya itu.

* * *

Ah, begitu indahnya perjalanan wisata kuliner di tengah malam ini kurasakan, bagaikan cerita di novel tersebut, walaupun tak persis-persis amat. Tapi satu kesamaannya, dan paling minimal sekali adalah aku, karena sahabat-sahabatku yang lain termasuk orang berada dan memang berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Sementara aku sama halnya dengan mahasiswa Indonesia seperti di novel tersebut, yaitu perantau dan berasal dari keluarga menengah ke bawah, naik mobil pun begitu jarangnya. Tapi walaupun begitu, keadaanku kini bersama ketiga sahabatku hampir persis sama dengan yang diceritakan di novel tersebut, yaitu kami sama-sama menggunakan pakaian seadanya. Ada yang pakai celana pendek, pakai baju kaos, dan yang pasti semuanya lusuh dan kucel.

Sepanjang menelusuri kawasan Selatan Jakarta, ternyata tak ada lagi restoran, rumah makan, atau kafe yang masih buka di tengah malam seperti ini. Jangankan restoran, rumah makan mewah, ataupun kafe berkelas, tempat makan yang biasa-biasa saja seperti warung pecel lele dan sejenisnya yang biasanya berada di pinggir jalanpun sepertinya sudah tak ada lagi yang masih buka dan berjualan. Tapi kami tak kenal menyerah, sehingga kami terus saja menelusuri jalan raya mencari restoran, rumah makan, atau kafe yang dimaksud.

Lain diharap, lain pula kenyataan. Dalam penelusuran ini, akhirnya kamipun menyerah, karena perut kami memang sudah tak dapat lagi diajak kompromi.

Hingga pada suatu ketika terlihatlah ada Warung Pecel Lele di suatu sisi jalan yang kami lewati. Karena perut kami memang sudah lapar, ya sudah, tak ada akar rotan pun jadi. Tak ada Restoran Mewah, Warung Pecel Lele pun jadi. Maka berhentilah kami di Warung tersebut. Kamipun memesan makanan menurut selera kami sesuai dengan menu yang disediakan Warung Pecel Lele tersebut. Sambil menunggu makanan, kamipun berbincang-bincang.

Dalam pikiranku berharap, andai Wisata Kuliner ini dilengkapi dengan adanya seorang perempuan muda cantik yang jatuh cinta kepadaku, yang kemudian dia mengajakku berdansa, tentunya aku takkan menolaknya, tak seperti mahasiswa sempurna yang menjadi tokoh utama di novel tersebut yang kemudian menolak dan jaim (jaga image). Tapi itu hanya kelebat pikiranku. Kalaupun ada kejadian seperti di novel tersebut, aku rasa akan sulit sekali harapanku menjadi kenyataan. Yang ada malahan jantungku akan berdegup kencang, tubuhku akan bergetar hebat, yang pasti dag dig dug tak karuan, karena aku bukanlah tipikal lelaki romantis, lebih tepatnya aku adalah tipikal lelaki yang dingin yang tak pernah cocok dijadikan sebagai karakter tokoh utama suatu drama romatis. Selain itu, aku bukan pula tipikal lelaki yang menjadi idaman setiap perempuan. Jika harapanku ini menjadi kenyataan, kiranya tak ada yang dapat diucapkan selain daripada kata mutiara yang sering diucapkan oleh Naga Bonar, “Apa kata dunia???”

* * *

Besok siangnya, hadirlah kebahagiaan lain di hatiku. Sebuah Cerpen yang baru kutulis dalam jangka waktu dua bulan ini kusuruh Bembeng untuk membacanya. Sebelumnya Bembeng juga membaca puisi-puisiku yang di antaranya Bembeng begitu tahu sekali sejarah terciptanya puisi tersebut, karena beberapa puisi tersebut ada yang kucipta khusus untuk dijadikan sebagai bait lagu, yang kemudian lagu itu kami mainkan di band kami. Yang pasti, begitu banyak sekali komentar Bembeng tentang puisiku yang menghadirkan nostalgia terindah bagiku.

Dan satu berita dari Bembeng yang membuatku bahagia, bahwa seorang perempuan yang menjadi inspirasi puisi-puisiku kini sedang sendiri alias jomblo. Yang pasti, Bembeng menyemangatiku untuk terus mengejar cintaku terhadap perempuan yang dimaksud.

Ah, bisa aja Bembeng, benakku berkata. Malu-malu mau sih aku ini. Atau mungkin malu-maluin, he he he …, aku tertawa sendiri.

Mengenai Cerpen terbaruku itu, Bembeng tertawa terkekeh-kekeh, karena ceritanya adalah campuran humor, drama romantis, dan kesedihan.

Sampai di sini, aku bingung mau menuliskan apa lagi. Karena hari sudah pagi, aku belum tidur, sementara ide ceritaku sudah habis dan mentok.

Ya sudah, sampai di sini saja ceritanya. Ini bukan Cerpen, namun hanyalah refleksi kebahagiaanku dalam dua minggu ini.

Sementara kini di telingaku mengalun lagu Arabia yang begitu khidmat dan syahdu yang dinyanyikan seorang biduan yang suaranya begitu merdu. Musiknya begitu hening …, hening …, hening …, dan kemudian berhenti. [Aan]

Ciputat – Kamis, 19 Juni 2008 02.14 – 06.24 WIB

22 Juni 2008 at 4:39 PM Tinggalkan komentar

Musik, Sastra, dan Aku

MUSIK, SASTRA, DAN AKU

Oleh: Hanafi Mohan

Dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga pencinta seni, meniscayakan aku untuk mencintai bidang ini. Lain lagi kota kelahiranku memang kota yang berada di bawah naungan keagungan adat resam budaya Melayu yang begitu kental. Sedari kecil, kami anak-anak Melayu memang sudah berakrab-akraban dengan dunia seni. Kami begitu mencintai seni dan budaya Melayu sebagaimana kami mencintai orang tua kami dan tanah tumpah darah kami, Bumi Khatulistiwa Bertuah, Pontianak.

Sebagai anak-anak yang dibesarkan dalam nilai-nilai kebudayaan yang begitu agung, kami tak hanya menjadi penonton di daerah kami, melainkan kami menjadi duta-duta budaya yang diandalkan untuk melestarikan seni budaya kami, memperkenalkannya, dan menjadi pelaku terdepan untuk menjaga eksistensi seni budaya kami.

Allahyarham (Almarhum) Al-Mukarram Al-Ustadz H. Kasim Mohan, beliaulah guru kami yang akan selalu kami kenang sepanjang hayat. Beliau memiliki intuisi seni yang begitu tinggi, serta memiliki kepedulian yang begitu besar dalam menjaga eksistensi seni budaya Melayu Pontianak. Beliau adalah seorang ulama, mantan Kepala Kampung (Lurah), pejuang (veteran perang), serta juga seniman dan budayawan. Melalui tangan dinginnya, kami dididik dalam kemuliaan akhlak Islam dan keluhuran adat resam budaya Melayu.

Beliau mengajarkan kami lantunan syair, pantun, nazam, burdah, ghazal, dan zikir hadrah. Selain itu, keanggunan tarian redat hadrah yang dipadu-padankan dengan gerak tari jepin dan serampang dua belas, serta jurus-jurus silat Melayu yang rancak dan bersemangat juga diajarkannya kepada kami. Sekilas Tarian Redat Hadrah menyerupai Tari Saman dan Seudati dari Aceh. Keserupaan itu tak lebih karena tarian-tarian tersebut sama-sama berasal dari Alam Budaya Melayu.

Dari didikan beliau yang tak kenal lelah dan tak kenal henti sepanjang hayatnya, sehingga jadilah kami anak-anak Melayu yang begitu mencintai seni budaya, dari seni musik, tari, sastra, hingga silat. Selain sebagai guru seni kami, beliau juga adalah guru agama yang mencerahkan kami. Ilmu Tarikhul Islam, Khat Arab Melayu, dan Ulumul Hadits adalah ilmu yang diajarkannya kepada kami di Madrasah Diniyah Awaliyah Haruniyah-Pontianak. Selain sebagai guruku, beliau juga merupakan pamanku, abang tertua dari Almarhum Ayahku. Beliau merupakan seorang autodidak yang mengagumkan, sekaligus seorang multitalenta yang berdedikasi tinggi. Ia menguasai berbagai alat musik seperti gitar, bas tongkang (bas klasik), biola, akordion, halmanian (harmonium) dan beberapa instrumen perkusi seperti tar (rebana) dan gendang Melayu. Suaranya juga begitu merdu ketika bernyanyi dan membawakan syair Melayu, qasidah dan syair hadrah, burdah, barzanji, dan qira’ah Al-Qur’an.

Kota tempatku dilahirkan dan dibesarkan adalah kota pesisir yang begitu terbuka. Karena itu pulalah, Budaya Melayu menjadi budaya yang begitu terbuka, yang mampu menyerap nilai-nilai keagungan dari budaya luar. Di bidang seni musik, kami juga dengan mudah menyerap keindahan musik dari berbagai peradaban, baik itu timur ataupun barat. Kami menyenangi musik Senandung Melayu, dan di waktu yang bersamaan kami juga bisa menikmati Musik Rock yang menghentak, Jazz yang dinamis, Musik Arab yang bersemangat, Musik India yang memikat, Musik Latin yang menggoda, dan entah musik-musik apalagi, yang semuanya dengan mudah kami serap dan nikmati seperti halnya musik tradisi Melayu. Anak-anak muda di kotaku bisa dengan fasih memainkan komposisi melodi Yngwie JM, Joe Satriani, Steve Pay, Carlos Santana, dan Gary More, bahkan musik Rock Deep Purple, Queen, Scorpion, Halloween, Deep Leppard, Dream Theater, sefasih mereka memainkan lagu-lagu Melayu dari Maestro Melayu seperti Tan Sri P. Ramlee AMN, Said Effendi, Husein Bawafi, dan Ahmad Jaiz.

Sehingga wajar kemudian ketika di Jakarta, ketika bersentuhan dengan berbagai aliran musik, maka aku dengan mudah pula menyerap estetika dan keindahan musik-musik tersebut. Sebut saja seperti R&B, disko, rap, reggae, hip-hop, instrumental klasik seperti Mozart, Beethoven, Vivaldi, instrumental modern seperti Yanni, Bond, Kitaro, Kenny G, Richard Claydermen, Safri Duo, Vanessa Mae, Maksim, Dave Koz, dsb. Bukan hanya itu, aku juga memiliki ketertarikan tersendiri dengan musik tradisional Jawa dan Sunda ketika aktif di Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Andaikan aku bisa memainkan angklung, gamelan, gending, dsb.

Dan suatu waktu aku mendapatkan kesempatan memainkan gamelan (atau mungkin gending), hanya dengan adaptasi beberapa saat, aku langsung bisa lancar memainkan instrumen tradisional Jawa itu. Di saat yang lain, aku mendapatkan kesempatan emas memainkan instrumen Biola, Ukulele, dan Gitar Dayak. Dan lagi-lagi, hanya adaptasi sebentar, aku langsung bisa memainkan alat-alat musik tersebut.

Jika kuingat-ingat itu, barulah aku menyadari, bahwa anak Melayu di kotaku memang adalah anak-anak yang setiap hari mengalun di telinga mereka keindahan musik dari berbagai peradaban, sehingga anak-anak Melayu adalah para autodidak yang luar biasa dalam hal musik. Dan ini terbukti pada diriku. Dan jika kuingat lagi, aku dulu sudah bisa memainkan alat musik pukul tradisional Melayu, yaitu Tar (sejenis rebana) pada saat aku masih SD. Bahkan ketika SD pun aku sudah bisa memainkan instrumen petik seperti gitar. Ketika SMP aku sudah lancar memainkan recorder, harmonika, dan mulai bisa memainkan piano/organ/keyboards.

Sebegitu hebatnyakah diriku? Sebenarnya tidak juga. Dan memang tidak hebat-hebat amat. Karena yang hebat hanyalah Allah Swt. Manusia tak ada artinya di hadapan Kemahabesaran-Nya. Diri ini tak lebih hanyalah setitik noktah.

Aku tak lebih hanyalah penggemar seni, yang dengan menggemari seni seakan-akan diri ini semakin sadar akan Kemaha-indahan-Nya. Dan bukan suatu yang baru pula jika kini aku menjadi penggemar sastra, karena memang aku dilahirkan dan dibesarkan dalam naungan budaya dan tradisi yang menjunjung tinggi nilai-nilai sastra. Dari kecil aku sudah biasa mendengarkan, bahkan membacakan syair-syair Melayu yang begitu syahdu dan penuh dengan nilai-nilai. Pantun juga menjadi bagian tersendiri dalam masyarakat kami. Tradisi lisan juga di hidup di masyarakat kami, sehingga dari orang tua-orang tua kami, penuturan cerita-cerita kepahlawanan Melayu juga tak jarang kami dengar, juga cerita Hang Tuah, Musang Berjanggut, Nujum Pak Belalang, Pak Ngeng, Putri Junjung Buih, Putri Dara Hitam, Batu Belah Batu Betangkup, Raja Tan Unggal, dsb. Lain lagi sastra-sastra yang bernuansa religius seperti burdah dan barzanji yang sudah mengiringi kami dari kami dilahirkan sebagai anak Melayu, hingga kami besar dalam budaya agung tersebut. Seni dan Sastra adalah keseharian kami sebagai Bangsa Melayu, kami berbicara dengan dialek Melayu yang bersenandung, berpantun, dan bersyair.

Itulah sedikit celotehanku mengenai musik, sastra, dan aku. [Aan]

Ciputat, Sabtu-Minggu, 14-15 Juni 2008

16 Juni 2008 at 5:08 AM Tinggalkan komentar

Adab Kesopanan Faqir dalam Perbuatan

ADAB KESOPANAN FAQIR DALAM PERBUATAN

Disarikan dari Pengajian Tasawuf

yang disampaikan oleh:

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.

pada tanggal 29 Mei 2008

di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta

Transkriptor: Hanafi Mohan

Begitu indahnya menjadi seorang faqir (miskin) yang tawadhu’ dan penuh percaya diri. Begitu indah pula menjadi orang kaya yang tawadhu’ dan merahmati yang lain. Jika orang kaya mengasihi yang miskin, dan orang miskin mengerti akan orang kaya, maka ini berarti takkan ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Di dalam Islam, kesenjangan ditolerir. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin itu tidak apa-apa. Yang tak diperbolehkan di dalam masyarakat Islam adalah jika terjadinya jarak psikologis antara yang kaya dan yang miskin. Bukan suatu jaminan bahwa keadilan sosial itu otomatis melahirkan masyarakat yang aman dan damai. Dan bukan secara otomatis pula bahwa kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin itu pasti menimbulkan ketegangan. Di dalam Islam, jika para orang kaya memberikan zakat, infaq, dan shadaqah kepada fakir miskin, pasti fakir miskin itu tidak ada perasaan cemburu, dendam, bahkan yang terjadi adalah rasa mengasihi dan menyayangi orang kaya tersebut. Tapi sebaliknya juga, seorang fakir miskin yang mengerti dan memahami diri terhadap orang kaya, maka itu juga akan membuat orang kaya tersebut lebih akrab terhadap orang miskin tersebut. Janganlah sudah fakir miskin, tapi juga angkuh, yang hal itu hanya akan semakin membuat jarak antara si kaya dengan si miskin.

Karena itulah, isu di dalam Al-Qur’an bukanlah problem antara si kaya dengan si miskin, tetapi jarak psikologis antara si kaya dengan si miskin itu perlu dijembatani dengan cara menjalin hubungan spiritual antara si kaya dengan si miskin. Hubungan spiritual itu ditandai dengan adanya rukun Islam yang memerintahkan untuk membayar zakat. Membayar zakat itu adalah mata rantai spiritual yang menjembatani antara si kaya dengan si miskin. Dibandingkan dengan pajak (jizyah), aspek spiritualitas keagamaannya tidak sedalam dibandingkan dengan zakat, walaupun mungkin manfaatnya sama. Jika zakat diniatkan sebagai Rukun Islam, sedangkan pajak (jizyah) tidak diniatkan sebagai Rukun Islam. inilah perbedaannya.

Karena itulah, bahasa agama memang yang paling melekat pada diri si miskin dan si kaya. Kalau orang kaya diminta untuk mengeluarkan shadaqah atau zakatnya sebanyak sepuluh ribu yang kemudian dikeluarkannya sebanyak seratus ribu, maka hal itu adalah sesuatu yang biasa saja. Tapi kalau orang kaya diminta untuk mengeluarkan pajak yang semestinya dikeluarkan sebesar satu milyar, tapi kemudian ia hanya mengeluarkan sebanyak satu juta, itupun kalau ada. Mengapa? Karena tidak ada paksaan batin dan tidak ada keridhaan batin dalam hal mengeluarkan pajak. Inilah hebatnya rambu-rambu bahasa agama.

Tidak ada yang memaksa pada malam-malam akhir ramadhan itu untuk membayar zakat fitrah, bahkan berkali-kali, tapi kita merasa tulus untuk melaksanakannya. Berbanding terbalik dengan pajak yang untuk mengeluarkannya begitu sangat berat.

Jika seseorang dimotivasi oleh rasa agama, maka ketulusan yang akan lahir, kejujuran yang akan muncul, dan kedamaian yang akan terwujud di dalam masyarakat. Tanpa hendak mempertentangkan antara pajak dengan zakat, tapi biasanya bahasa-bahasa agama itu lebih gampang untuk mengikhlaskan seseorang ketimbang kita menggunakan istilah-istilah lainnya.

Bagaimana adab kesopanan fakir miskin dalam perbuatan kita?

Hendaknya tidak lemah dalam beribadah disebabkan karena kefakiran. Sekalipun kita ditakdirkan Allah untuk menjadi fakir miskin, tetapi jangan sampai mengendorkan mujahadah dan perjuangan kita mendekati Tuhan. Justru sebaliknya, bahwa kemiskinan itu kadang-kadang meringankan badan seseorang untuk melakukan mujahadah.

Perut yang lapar lebih gampang utnuk khusyu’ dibandingkan dengan perut yang kekenyangan. Perut yang kekenyangan biasanya selalu berdekatan dengan tempat tidur, tapi perut yang kelaparan selalu dekat dan berlama-lamaan dengan sajadah. Karena itulah, pada bulan suci ramadhan begitu nyamannya beribadah. Mengapa? Karena perut kita kosong. Tapi juga jangan sampai perut terlalu kosong, karena juga akan membuat badan ini terlalu lemah hingga tidak bisa melakukan ibadah dengan baik. Jadi yang paling baik itu adalah seperti yang pernah disampaikan oleh Rasulullah, bahwa komponen perut itu dibagi tiga; sebagiannya air, sebagiannya makanan, dan sebagiannya lagi adalah udara. Udara itu maksudnya bahwa perut itu jangan terlalu penuh.

Hendaknya seseorang itu tidak lemah, tidak menjadi kendor dalam beribadah disebabkan kefakirannya. Para orang kaya tidak mesti menunggu dirinya menjadi fakir untuk merasakan dirinya sebagai fakir. Kefakiran itu bukan monopoli orang miskin. Orang kaya pun juga bisa berperasaan fakir. Seorang yang kaya raya pun jika berhadapan dengan Tuhannya, maka dia pun menjadi fakir miskin. Apalah artinya kumpulan hartanya dibandingkan dengan kekayaan Allah SWT. Kekayaan yang melimpah itu tidak sampai sangat ekstrim perbedaannya dengan keterbatasan yang dimiliki oleh si fakir miskin.

Sekaya-kayanya seseorang itu tidak ada yang memiliki gunung emas. Sekaya-kayanya seseorang itu juga tidak ada yang menguasai satu planet. Sekaya-kayanya seseorang itu juga tidak jauh berbeda dengan fakir miskin dibandingkan dengan kekayaan Allah SWT. Sekaya-kayanya manusia dibandingkan dengan semiskin-miskinnya manusia, maka jaraknya tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kekayaan Allah SWT.

Orang yang dekat dengan Tuhan, maka dia menikmati ketinggian dan kekayaan Allah, hingga dirinya menjadi fakir miskin. Suatu yang biasa saja jika seorang fakir merasa fakir di hadapan Allah. Tetapi sesuatu yang lebih mulia jika seorang kaya merasa fakir di hadapan Allah. Orang kaya yang merasa fakir dan merasa tidak mempunyai arti apa-apa di mata Allah, maka inilah yang disebut sebagai orang fakir. Jadi, kefakiran di dalam bahasa tasawuf itu tidak sama persis dengan kefakiran di dalam bahasa ekonomi kita.

Kita tidak boleh memandang enteng orang miskin. Bisa saja orang tersebut miskin, tetapi ia percaya diri, beradab, sopan, dan selalu dekat dengan Tuhan, maka sesungguhnya itu bukanlah miskin di mata Allah.

Rasulullah pernah menyatakan, bahwa satu dirham itu lebih besar nilainya di mata Tuhan daripada seratus dirham. Para sahabat terbingung-bingung dengan pernyataan Rasulullah ini. Kemudian para sahabat pun menanyakan kepada Rasulullah maksud dari pernyataannya itu. Rasulullah kemudian mengatakan, bahwa seorang fakir miskin yang hanya memiliki dua dirham kemudian menyumbangkannya sebesar satu dirham, maka di mata Tuhan nilainya lebih besar dibandingkan seorang kaya yang memiliki seratus ribu dirham yang hanya menyumbangkannya sebesar seratus dirham.

Jadi, kita tidak mungkin bisa mencemburui orang kaya karena kekayaannya. Dan orang kaya pun tidak boleh angkuh dan bangga di depan kemiskinannya orang miskin. Siapa tahu kemiskinan yang ia lihat itu adalah kemiskinan yang disengaja oleh yang bersangkutan. Siapa tahu kekayaan yang dipakai itu adalah kekayaan yang tidak disyukuri.

Manakah yang lebih baik antara menjadi orang miskin yang bersabar dan bersyukur tanpa dosa dan maksiat, dengan menjadi kaya raya tanpa bersyukur dan penuh dengan dosa maksiat?

Karena itulah, para orang kaya janganlah merasa bangga karena kekayaannya, sementara ia kurang bersyukur. Di dalam bahasa tasawuf terdapat ungkapan, “lain syukur lain tahmid”. Jika mendapat rizki lalu mengucap “alhamdulillah“, maka itu belumlah dapat dikatakan sebagai bersyukur, melainkan barulah “bertahmid” memuji-muji nama Tuhan. Nanti bisa disebut bersyukur kalau mengeluarkan zakat, infaq, dan shadaqahnya.

La insyakartum la azidannakum” (apabila kalian bersyukur, maka akan Aku tambahkan), Tuhan tidak mengatakan “La inhamidtum la azidannakum” (apabila kalian memuji Aku, maka akan Aku tambahkan). Kata “syukur” dengan “hamida” itu adalah berbeda. Introspeksilah diri kita, jangan sampai kita baru sebatas bertahmid, tapi belum bersyukur, yang itu berarti bahwa hutang kita belum terpenuhi di mata Allah SWT.

Yang dimaksud dengan “syukur” itu adalah memberikan haknya orang lain yang dititipkan melalui pemberian-Nya terhadap kita. Misalkan, gaji kita setiap bulannya adalah sebesar lima juta rupiah. Tidak seratus persen semuanya adalah halal untuk kita. Ada titipan Tuhan di situ 2,5% yang harus dizakatkan. Jika kita konsumsi seluruhnya, maka ada api neraka yang kita telan ke dalam perut ini. “kullu lahmin nabatha min haramin fannaru awlabihi” (semua barang yang haram masuk ke dalam perut menjadi daging, hanya api neraka yang bisa membersihkannya). Na’uzubillahi min zalik.

Karena itu, sisihkanlah 2,5% dari setiap penghasilan kita untuk zakat. Kalau bisa jangan digabung dengan duit yg lain, tapi langsung disisihkan. Hal ini dilakukan agar duit yang seharusnya dizakatkan tersebut tidak bercampur dengan duit yang lain, sehingga kita bisa terhindar dari memakan duit haram yang nantinya akan menjadi api neraka di dalam perut kita ini. Lebih baik pengeluaran kita untuk shadaqah itu lebih besar dibandingkan lebih sedikit dari itu.

Umat Islam yang paling pelit ialah orang yang hanya mengeluarkan zakat. Alangkah kikirnya sebagai seorang muslim kalau pengeluarannya hanya zakat. Zakat itu adalah standard minimum yang harus dikeluarkan bagi seorang muslim. Di dalam Islam itu ada 27 konsep untuk pengeluaran, antara lain: shadaqah, infaq, jariyah, hibah, waqaf, wasiat, luqathah, fay, ghanimah, dan masih banyak lagi.

Seorang Direktorat Zakat pernah mengatakan, bahwa Bangsa Indonesia ini seharusnya mengandalkan zakat sebagai sokoguru perekonomian umat. Saya jawab, bahwa tidak seperti itu seharusnya. Karena zakat itu hanyalah pengeluaran yang paling kecil. Karena itulah menurut aliran Syi’ah, ada yang dinamakan khumush, yaitu seperlima, ada juga ushr sebesar sepersepuluh, yang itu semua adalah untuk para imam (ulama) mereka. Sehingga ulama mereka itu tidak usah bekerja lagi, melainkan hanya membaca kitab saja, memberikan pengajian, yang akhirnya para ulamanya itu memang benar-benar bisa memfokuskan dirinya pada bidang keagamaan dan pencerahan umat. Hal ini sungguh berbanding terbalik dengan nasib para ulama di negara kita.

Ekspektasi (pengharapan) masyarakat Indonesia terhadap ulama begitu besarnya, tetapi pengeluaran umat terhadap ulamanya begitu sedikitnya, bahkan tidak ada. Akhirnya, apa yang terjadi? Pilu hati kita sekarang ini, karena begitu banyaknya desa-desa terpencil yang ditinggalkan para ustadz (ulama)nya. Mengapa ini bisa terjadi? Karena ustadz itu juga adalah manusia biasa. Mereka mempunyai keluarga yang harus dinafkahi, sementara uangnya untuk khutbah dan mengajarkan agama kepada masyarakat itu tidak ada. Apalagi ia juga menyewa tanah, karena dia pendatang misalkan. Jadi, “lillahi ta’ala” sekarang ini terevaluasi oleh keadaan. Sudahlah, “lillahi ta’ala” saja, tapi dengan konsekuensi nafkah keluarga tidak terpenuhi secara maksimal, bahkan tidak bisa menyekolahkan anaknya.

Sistem di dalam masyarakat Indonesia ini masih sangat memandang rendah posisi ulama. Sungguh berbeda keadaannya dengan keadaan di negara tetangga kita, yaitu Brunei Darussalam. Di sana, ulama itu setara dengan Eselon 1. Karena itulah, jika ada fatwa, maka fatwa itu tidak hanya satu lembar, melainkan ada draft akademiknya hingga berpuluh-puluh halaman, yang pembahasannya begitu mendalam. Mengapa? Karena ulama tersebut memang digaji untuk menulis dan memberikan fatwa.

Di satu sisi, umat kita itu begitu pintarnya menyorot ulama. “Ah …, ulama kita itu pintarnya hanya bicara halal dan haram.” Mengapa ulama kita hanya bisa bicara halal dan haram? Karena untuk membicarakan mengenai sunnah, mubah, makruh, yang hal tersebut berada pada sisi antara halal dan haram itu memerlukan ilmu. Ilmu itu perlu energi, perlu biaya, dan keperluan lain-lainnya.

Di satu sisi umat kita menuntut kedalaman pemahaman seorang ulama, tapi pada sisi lain ulama tidak pernah diberikan alat pengasah “gergaji” itu. Akhirnya, gergaji yang dipakai ulama kita itu menjadi tumpul, karena tak pernah diasah. Untuk mengasah gergaji ini perlu biaya. Akhirnya Sang Ulama seperti kaset berjalan, ketika khutbah di satu masjid, setelah itu khutbah di masjid yang lain, biasanya materinya persis sama. Mengapa bisa seperti ini? Karena hanya itu yang mampu ia baca. Untuk membuat suatu persiapan baru, perlu buku baru, sedangkan ia tak punya uang untuk beli buku baru tersebut, apalagi kini harga buku memang mahal. Ternyata barulah kita menyadari, bahwa selama ini kita sudah berlaku tidak adil terhadap ulama. Di satu sisi ulama itu tidak boleh salah, sedangkan di sisi lainnya kita tidak pernah memperhatikan kesejahteraannya.

Di dalam suatu hadits disebutkan: “Kalau Tuhan akan menarik berkahnya di suatu daerah, maka yang paling pertama akan ditarik adalah ulamanya.” Cermatilah kini, bahwa para ulama sudah banyak yang wafat. Kalau sarjana mati satu, maka akan tumbuh seribu sarjana yang baru. Tapi jika seorang ulama tersohor yang wafat, maka harus memerlukan waktu beberapa tahun hingga munculnya ulama baru yang juga kompeten.

Perhatikanlah kini, ternyata para ulama kita sudah banyak yang meninggalkan pondok pesantren. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena tidak ada kehidupan di pondok pesantren yang serba gratis, sehingga Sang Ulama harus mengalih haluan untuk mempertahankan kehidupan keluarganya.

Karena itulah, menjadi tugas kita bersama untuk peduli terhadap kesejahteraan para ulama. Ulama lah yang bisa menyadarkan hati ini jika ada musibah, yang bisa membuat para orang kaya itu bersyukur, dan mengajak untuk mengingat Tuhan. Jika moralitas masyarakat dan bangsa kita semakin bobrok seperti sekarang ini, maka salah satu faktornya adalah karena tidak adanya energi baru bagi para ulama inim yang kemudian memuncak hingga tidak ada regenerasi ulama.

Ada sekitar enam ribu orang penyuluh agama kita, yang setiap penyuluh itu negara hanya mampu menggaji Rp. 40.000,- per-bulan. Tak ada penghasilan lain selain daripada itu. Pernah di antara penyuluh itu bercerita kepada saya, “Pak Nasar, kalau saya tinggalkan desa ini, orang di desa ini tidak bisa Shalat Jum’at, tidak ada anak-anak yang bisa mengaji.”

Tak ada artinya keikhlashan yang kita miliki di perkotaan ini dibandingkan mereka. Kalau ada yang meninggal, maka merekalah yang diandalkan untuk mengurus jenazah tersebut, dari memandikan hingga menguburkan. Bahkan ketika dirinya sakit pun, mereka tak peduli. Mereka hanya berobat dengan obat generik melalui bidan-bidan desa.

Mungkin berbeda lagi dengan ulama-ulama yang popular itu. Mereka banyak uang, bahkan ada yang menetapkan tarif. Yang paling ironis adalah mereka bisa melakukan pembatalan sepihak hanya karena ada tawaran lebih tinggi dari itu. Nah, yang seperti inilah menurut Imam Al-Ghazali termasuk Ulama Su’.

Jangan kita lihat kedalaman ilmunya, tapi kemanfaatannya di dalam masyarakat kita. Orang-orang seperti itu (para ulama yang tulus dan ikhlas) mewaqafkan betul hidupnya untuk ummat ini.

Sekarang anak-anak tidak tertarik menghafal Al-Qur’an, mungkin karena sekarang masyarakat tidak lagi menghargai para penghafal Al-Qur’an. Coba bayangkan, kita kesulitan mencari imam-imam shalat Tarawih, karena tak ada yang hafal Al-Qur’an. Bagaimana orang bisa tertarik menghafal Al-Qur’an, jika kesejahteraan mereka tidak terlalu diperhatikan ketika menjadi imam Shalat Tarawih satu bulan penuh misalkan. Walaupun sebenarnya mereka memang tulus melakukan itu, tetapi kesadaran kitalah untuk menghargai jerih payah mereka.

Itulah kenyataannya, betapa para pahlawan penegak panji-panji Islam ini tidak mendapatkan perhatian, baik itu dari pemerintah ataupun dari umat Islam sendiri. Anggaran Negara untuk mereka begitu sangat tidak memadai. Guru umum dan guru agama bedanya begitu mencolok. Jika tunjangan untuk guru umum itu sebesar 2 juta, tapi guru agama hanya mendapat tunjangan sebesar 500 ribu. Padahal keringat yang mereka (guru agama) keluarkan biasanya lebih banyak.

Kalau sudah seperti ini, tak tertarik orang untuk menjadi guru agama sekarang ini, karena penghargaan masyarakat terhadap guru agama begitu minimnya. Tapi di sisi lain, masyarakat kita itu ekspektasinya besar sekali terhadap ulama dan guru agama ini. Ada saja ungkapan misalkan; “Bahwa ini gara-gara guru agamanya tidak benar.” Patut kita bertanya, yang tidak benar itu guru agamanya atau sebenarnya kitalah (umat ini) yang tidak benar, atau memang sistemnya yang amburadul?

Jumlah muballigh itu 1 berbanding 2.300 orang. Jadi sekarang ini, satu ustadz harus menceramahi 2.300 orang. Bandingkanlah dengan pendeta. 1 pendeta hanya mendakwahi 200 orang. Pendetanya banyak umatnya sedikit. Sebaliknya, banyaknya umat Islam tidak sebanding dengan jumlah muballighnya yang begitu sedikit. Bagaimana mungkin pendalaman ajaran agama kita di masyarakat bisa begitu mendalam jika keadaannya seperti ini. Ini suatu contoh, betapa susahnya mengurus umat. Tapi kita tentunya jangan pesimistis akan hal ini. Kita harus optimis, mulailah dari diri kita sendiri. Insya Allah, di mana ada kemauan, maka di situ ada jalan. []

16 Juni 2008 at 3:55 AM 6 komentar

Kiat Mengatasi Kesulitan

KIAT MENGATASI KESULITAN

Disarikan dari Pengajian Husnul Khatimah

yang disampaikan oleh:

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.

pada tanggal 19 Mei 2008

di Masjid Agung Sunda Kelapa – Jakarta

Transkriptor: Hanafi Mohan

Selama ini kita sudah terjebak dalam suatu pandangan hidup yang sangat menyesatkan, sehingga kita tidak pernah merasa puas dan tak pernah bersyukur, kecuali hanya sedikit. Hal ini dikarenakan definisi kesuksesan hidup yang kita anut adalah definisi yang sangat membebani diri kita sendiri. Padahal kita bisa mendefinisikan kebahagiaan itu dengan sederhana. Beberapa pandangan yang keliru tentang kesuksesan, antara lain: pertama, sukses bukan sekedar menjadi kaya. Kedua, sukses bukan berarti tanpa kesulitan. Ketiga, sukses tidak datang secara kebetulan (keberuntungan). Kesuksesan adalah bagaimana menjalani kehidupan dengan menjadi diri sendiri, serta berfungsi dan melakukan yang terbaik sesuai dengan potensi dan kapasitas pribadi masing-masing.

Ada delapan bidang kesuksesan dalam hidup ini. Pertama, kepribdaian yang utuh. Kedua, keluarga yang sakinah. Ketiga, karir yang meningkat. Keempat, keuangan yang stabil. Kelima, kesehatan yang prima. Keenam, kerohanian yang meningkat. Ketujuh, komunitas sosial yang akrab. Dan kedelapan, kemampuan pembelajaran.

Kekhawatiran hari ini akan menambah kesusahan hari esok. Tapi orang yang bersemangat dapat menanggung kesusahannya sendiri.

Hal ini saja misalkan jika kita pahami, maka nantinya akan memberikan perubahan yang mendasar pada diri kita.

Akhir-akhir ini kita lihat, bahwa cara orang mengekspresikan kekecewaannya bisa merusak atau mengancam akidahnya sendiri. Misalnya berkenaan dengan kenaikan harga BBM. Belum secara resmi diumumkan kenaikan harga BBM, kebanyakan orang panik, seolah-olah yang menentukan kehidupannya itu bukanlah Allah, melainkan adalah harga BBM, dan kenaikan-kenaikan harga kebutuhan lainnya. Hal ini bukanlah cara yang arif bagi seorang muslim. Hanya dicoba dengan kenaikan harga, tapi sepertinya akidahnya menjadi rusak, lupa akan Tuhannya, seolah-olah tak ada lagi hari esok dengan kenaikan harga BBM dan meningkatnya harga-harga kebutuhan sehari-hari. Panik, seolah-olah ia lupa bahwa Allah ada di belakangnya. Allah SWT tak mungkin akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya.

Kekecewaan apapun yang kita alami, jangan sampai kita meninggalkan Allah SWT. Jangan pernah putus asa dengan rahmat Allah.

Ketika badai dan gelombang kehidupan menerpa, apa yang akan terjadi pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, citra diri bangsa, dan dunia global? Bagaimana caranya orang beriman mengatasi persoalan kehidupannya ketika ia mengalami badai kehidupan?

Orang arif memberikan solusi, bahwa orang yang sanggup bertahan di tengah kesulitan hidup adalah orang yang berhasil mengatasi setiap tantangan. Apakah sebenarnya yang diperlukan ketika kita menghadapi tantangan? Kiatnya adalah sebagai berikut:

Pertama, hadapilah badai kehidupan dengan mengupayakan penenangan diri.

Sebesar apapun problem yang kita hadapi, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah menenangkan diri sendiri. Orang arif mengatakan, bahwa menenangkan diri adalah separuh dari penyelesaian masalah itu sendiri. Jadi, jika menghadapi masalah kehidupan, maka janganlah panik, bimbang, dan frustasi, dan jangan pula menempuh jalan pintas, karena sesungguhnya itu adalah jalan setan.

Bagaimanakah caranya menenangkan diri sendiri? Mengingat Allah pastilah akan menenangkan diri sendiri. Tapi sebaliknya, jika kita langsung panik, maka itu akan semakin memperparah persoalan. Rasulullah bersabda: “Apabila bala’ itu muncul, maka mata ini buta.” Jika orang melakukan dosa, maka mata batinnya yang buta. Jika orang kecelakaan, maka mata fisiknya yang tidak melihat.

Tawakkal dan penyerahan diri penuh kepada Allah SWT. Tawakkal terdiri dari empat tingkat: Pertama, tawakkalnya orang kafir. Kedua, tawakkalnya orang awam. Ketiga, tawakkalnya orang khawas. Dan keempat, tawakkalnya orang khawasul khawas.

Tawakkalnya orang kafir adalah tidak percaya akan tawakkal tersebut. Tawakkalnya orang awam mungkin seperti kebanyakan kita, yaitu setelah kita berusaha, kemudian kita serahkan segalanya kepada Allah SWT, kita yang berbuat Allah yang menentukan, kemudian barulah kita pasrah.

Tawakkalnya orang khawas adalah tawakkal yang benar-benar pasrah kepada Allah SWT. Dia tidak peduli lagi akan semuanya, asalkan Tuhannya tidak hilang. Tawakkal jenis ini sulit sekali untuk dilakukan.

Orang yang selalu bertawakkal tidak pernah merasa overloaded dalam menjalani kehidupannya. Mungkin pernah suatu saat kita mengalami memuncaknya problem kehidupan, sehingga sepertinya hidup ini membosankan, hambar, kering, dan tidak ada manfaatnya. Biasanya orang seperti ini karena merasakan suatu gejolak batin yang sangat luar biasa. Hal ini merupakan pertanda bahwa iman telah meninggalkan hati orang yang bersangkutan.

Orang yang selalu bertawakkal tidak akan pernah merasakan kelebihan beban. Ada orang-orang yang begitu padat kegiatan hariannya. Tapi tak sedikitpun ada perasaan lesu di wajahnya, dan semua agendanya terselesaikan. Orang yang seperti inilah yang disebut sebagai orang yang beriman. Orang yang beriman adalah orang yang selalu mengerjakan pekerjaannya dua kali. Satu kali dalam bentuk niat (blue print), dan yang kedua adalah implementasi. Seperti inilah orang yang mempunyai visi, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk misi, bahkan kemudian ke dalam bentuk kerja. Seperti inilah cara kerja Nabi Muhammad.

Orang yang mengerjakan pekerjaannya tanpa niat, tanpa program, maka sebetulnya orang seperti ini adalah orang awam, sekalipun dia sarjana. Dan sebaliknya, orang yang mengerjakan pekerjaannya dengan niat, kemudian diturunkan ke dalam bentuk visi misi, kemudian diimplementasikan ke dalam bentuk program kerja yang jelas, maka itulah sesungguhnya orang yang dikategorikan sebagai penerima amanah atau orang yang beriman.

Kalau ada yang ditimpa musibah, maka dekatilah Tuhan melalui pintu-pintu ibadah sunnat, zikir, wirid, dan pendekatan-pendekatan keagamaan lainnya. Kalau semua ini dilakukan, maka tidak mungkin Tuhan takkan menghargai hamba-Nya.

Tidak ada orang yang gagal setelah menjalani proses-proses serius yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dirinya sendiri. Artinya, orang yang gagal adalah karena adanya mata rantai yang putus di dalam dirinya. Salah satu mata rantai yang tak boleh putus adalah doa yang sangat tulus kepada Allah SWT. Jangan hanya mengandalkan pekerjaan saja, tapi tanpa diiringi do’a, yang ini adalah sikap egois, seakan-akan tak membutuhkan Tuhan. Perencanaannya bagus misalkan, tapi tak semua perencanaan manusia itu akan terwujud, pasti ada saja kekurangannya.

Kedua, mereka mampu memandang kesulitan dan tantangan bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai batu loncatan keberhasilan.

Ada orang yang semua kesulitan dianggapnya sebagai suatu penghalang. Bedakan antara penghalang dan tantangan. Orang yang mempunyai iman tidak pernah merasa hal itu adalah penghalang, melainkan penghalang itu diturunkan kualitasnya menjadi tantangan, kemudian diturunkan lagi kualitasnya menjadi rutinitas. Orang yang seperti ini tidak pernah merasa lelah dalam menjalani kehidupannya. Mengapa? Karena ia ikhlas dalam menjalani kehidupan, sehingga hidupnya menjadi ringan. Jika ada yang merasa kelelahan dalam menjalani kehidupannya, maka dapat dipastikan di dalam dirinya itu tidak ikhlas. Dan orang yang seperti ini, lama-kelamaan akidahnya akan bisa terusik, tidak ikhlas menjadi hamba, tidak ikhlas menjadi khalifah Tuhan.

Ada orang yang sedikit saja menghadapi persoalan, maka akan mandeklah dia. Padahal persoalan tersebut bisa dilalui dengan baik. Orang yang terbiasa melewati jalan yang mulus, jika ada kerikil sedikit, maka akan menjadi permasalahan baginya. Karena itu, beruntunglah orang-orang yang biasa menghadapi penderitaan. Bagi orang yang terbiasa menderita, maka suatu persoalan takkan dianggapnya sebagai penghalang, karena hal itu tak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan masa lampaunya.

Dalam proses mencari Tuhan pun seperti ini. Jika ada problem, maka anggaplah hal tersebut sebagai pemicu untuk dekat kepada Tuhan. Malahan jika tanpa adanya problem, kadang kita menjadi berjarak dengan Tuhan. Apakah kenikmatan ataukah kekecewaan hidup yang sering mendekatkan diri kita kepada Allah? Berapa persentase kekecewaan hidup itu mendekatkan diri seseorang kepada Tuhannya, dan berapa pula persentase kenikmatan hidup itu mendekatkan dirinya kepada Tuhan? Jangan-jangan kenikmatan hidup itu lebih mendekatkan dirinya kepada setan.

Janganlah menganggap enteng cobaan Tuhan. Jangan pula menganggap cobaan tersebut sebagai bentuk kebencian Tuhan terhadap kita, tetapi anggaplah sebagai surat cinta Tuhan kepada kita. Tuhan merindukan kita, maka diberikan-Nya cobaan kepada kita.

Tantangan demi tantangan akhirnya menjadikan kita semakin terlatih dan semakin dewasa, untuk selanjutnya menang menghadapi kesulitan hidup. Kalau orang yang ditempa oleh tantangan demi tantangan, maka tantangan itu adalah rutin baginya. Bahkan mungkin tantangan tersebut dianggapnya bagaikan menguntai mata tasbih, yaitu sebagai sarananya untuk berzikir mengingat Allah. Tantangan demi tantangan akhirnya menjadikan kita semakin terlatih, yang kemudian kita akan mendapatkan kemudahan hidup karena hal tersebut.

Sikap positif memberikan kita keterbukaan hati untuk belajar dari pengalaman. Apakah yang dimaksud dengan sikap positif? Sikap positif adalah husnudz dzan, yaitu selalu berprasangka baik, tidak pernah berprasangka buruk terhadap Tuhan, juga tidak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain. Tapi pada saat yang lain juga harus ada kewaspadaan.

Ketiga, memiliki sikap karakter yang benar.

Ada orang yang kalau dia ditimpa musibah, maka karakter dirinya muncul. Sehingga kita tak pernah membayangkan bahwa orang itu sedang mendapatkan musibah. Dia tetap menjalani kehidupannya dengan baik. Raut mukanya begitu terlihat polos dan tulus. Dia mampu menyembunyikan bahwa dirinya sebetulnya sedang mengalami problem. Baginya, problem tersebut hanyalah rutinitas. Salah satu hikmah berzikir dan berwirid adalah untuk menjalani penderitaan hari demi hari dalam kehidupan. Barangsiapa yang betah menyelesaikan wirid-wiridnya, maka orang itu pun juga akan betah dan mampu menyelesaikan problem yang dihadapinya. Tapi bagi orang yang tak terlatih bertasbih, maka biasanya akan kesulitan menghadapi problem kehidupannya.

Untuk meraih kemenangan dalam mengatasi kesulitan hidup, dibutuhkan sikap (karakter) yang tepat. Beberapa kualitas karakter jika dikembangkan, maka akan menjadi seperti senjata yang ampuh dalam menghadapi musuh. Di antaranya adalah daya tahan. Jika karakter kita bagus, maka daya tahan kita juga akan bagus, kreatif, dan ada pengharapan. Jika tidak mempunyai karakter, biasanya seseorang itu tidak mempunyai prinsip, daya tahannya kurang, kreativitasnya lemah, harapannya juga kosong. Biasanya orang yang seperti ini akan terombang-ambing oleh ganasnya kehidupan.

Membangun karakter (character building) tidak dipelajari di bangku sekolah, bahkan juga tidak diberikan di bangku kuliah. Yang ada adalah latihan-latihan, yang konklusinya adalah pengokohan karakter individu.

Kiat mengatasi kesulitan hidup

Kiat pertama, mengetahui gambaran besar.

Dalam hal ini, harus ada mapping (pemetaan) terhadap suatu persoalan. Jangan sampai kita tidak mengenali persoalannya. Misalkan, baru isu-isu, kita langsung meluap-luap. Kita jangan langsung bereaksi terhadap sebuah informasi jika informasi tersebut belum jelas.

Dalam menghadapi suatu persoalan, janganlah mengedepankan ketakutannya terlebih dahulu. Dalam hal ini, kita jangan melihat kekecilan diri kita sendiri, padahal setiap kita memiliki potensi. Ketika menghadapi problem yang besar, janganlah kekecilan diri kita yang dikedepankan. Semestinya dengan problem yang besar itu, kita kemudian mengatakan bahwa kita ini masih hidup. Kalau Tuhan mau mematikan kita, mungkin takkan datang problem tersebut. Semua garis hidup ini ada di tangan Allah. Sejarah masih bergulir dan belum selesai buat kita. Hari ini kita jatuh sampai ke tempat yang paling rendah, tapi dunia belum kiamat, kita masih hidup, sejarah masih bergulir, siapa tahu besok kita akan melenting melebihi yang lainnya.

Marilah kita bercermin. Dengan bercermin, kita bukan hanya melihat wajah kita, tapi dengan bercermin itu kita bagaikan bercermin di cermin Ilahi. Dengan bercermin kita mungkin bisa berkata, muka boleh tidak tampan, tapi hati dan jiwa kita harus teguh. Justeru karena cermin itu misalkan menampilkan yang kecewa dari luarannya, maka dalamnya harus unggul. Kalau kita sudah jelek rupa, kemudian juga jelek hati dan pikiran, maka kita tidak lagi memiliki apa-apa.

Kecenderungan budaya Timur adalah karakternya tidak ingin dikritik. Kalau dikritik, maka disangka diejek, dihina, dan sebagainya. Jarang sekali orang yang dikritik itu kemudian mengucapkan terima kasih kepada orang yang mengkritiknya. Dalam hal ini, bagi penggeritik juga harus santun dalam kritikannya. Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam mengkritik ataupun menasehati, yang itu bisa dilakukan dengan cara yang baik dan santun, tanpa harus menggurui. Barangsiapa yang gampang menyalahkan orang lain, maka orang tersebut perlu banyak belajar lagi mengenai akhlak di dalam Islam, walaupun ia sebenarnya terpelajar, sarjana, atau mungkin seorang profesor. Seorang yang terpelajar itu ialah orang yang tak mau menyalahkan orang lain. Dalam memberikan pesan, seorang terpelajar akan memberikan pesan itu dengan cara yang baik dan santun.

Karena tidak melihat gambaran besar atau gambaran utuh dari masalah yang dihadapinya, sehingga nantinya akan terjadi salah kaprah. Di Indonesia ini misalkan, ada kecenderungan bahwa Umat Islam terlalu gampang menarik kesimpulan. Terlalu gampang menyimpulkan sesuatu tanpa pernah melakukan penelitian yang lebih mendalam. Kalau seseorang itu dianggap jelek, maka semua pada orang tersebut jelek, walaupun ada sisi-sisi kebaikan dari orang tersebut. Sebaliknya, jika memuji seseorang, maka seseorang itu seakan-akan tidak ada kelemahannya. Padahal manusia itu tak ada yang sempurna. Yang lebih baik adalah, terimalah kebaikan dan keburukan orang tersebut secara selektif dan objektif. Kita bukan malaikat, melainkan hanya manusia biasa.

Kiat kedua, memandang kesulitan sebagai tantangan, bukan halangan.

Tantangan demi tantangan akhirnya membuat seseorang itu menjadi terlatih. Memandang setiap kesulitan bukanlah sebagai halangan, melainkan adalah suatu tantangan dan kesempatan untuk belajar dan menang. Dengan demikian, ada pengalaman dalam kehidupan, sehingga tidak mungkin kita akan jatuh pada lubang yang sama di dalam kehidupan ini. Jika ada orang yang jatuh pada lubang yang sama, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut tak pernah belajar dari pengalaman.

Memiliki persepsi yang positif terhadap setiap tantangan yang ada, maka akan memberikan dampak yang positif pula. Jadi, tidak pernah salah paham dengan kekecewaan yang dihadapi, walaupun sebetulnya itu menyakitkan. Tapi bagi yang bersangkutan, bahwa hal tersebut adalah tantangan, dan juga merupakan cobaan. Para pebisnis yang cepat putus asa, maka ia juga takkan pernah menjadi kaya. Yang tak diperkenankan adalah gambling (spekulatif). Karena itu, spekulatif diharamkan.

Ada tiga hal yang berbahaya bagi seseorang. Yang pertama adalah orang yang didikte oleh pemikiran spekulatif. Dia ingin potong kompas dalam mencapai kekayaan. Tidak ingin bersusah payah, tapi ingin mendapatkan untung yang banyak. Yang kedua adalah orang yang mistik, seolah-olah hidupnya selalu mengandalkan mistik, mendatangi dukun, minta wirid ke ustadz, dan sejenisnya. Semestinya, sebagai seorang yang positif, kita harus menampilkan nilai-nilai sikap objektif-positif pada diri sendiri. Yang ketiga adalah spiritualisasi kehidupan, yaitu tingkat rasionalnya itu kurang. Setiap kali persoalan-persoalan muncul, maka seakan-akan tak ada lagi hal yang dilakukan selain hanya dengan berdoa. Padahal belum dilakukan usaha-usaha yang rasional. Yang baik adalah, kita berusaha dahulu, kemudian usaha tersebut diiringi dengan do’a.

Jadi, spiritualisasi dalam menyelesaikan persoalan juga tidak dibenarkan di dalam Islam. Memang, setiap muncul persoalan kita harus meminta kepada Allah. Tapi tidak benar juga jika hanya dengan beredo’a untuk menyelesaikan persoalan tersebut tanpa adanya usaha-usaha yang dilakukan. Jika hanya dengan berdoa, namun tak pernah melakukan usaha-usaha yang nyata, yang ini sebenarnya gambling (spekulatif) juga. Do’a itu tidak bisa menyelesaikan seluruh persoalan. Do’a yang kita harapkan menyelesaikan persoalan adalah didahului dengan usaha yang nyata.

Memiliki persepsi yang positif terhadap setiap tantangan yang ada akan memberikan dampak yang positif pula. Jadi, berpandangan positif (positive thinking) pasti akan banyak manfaatnya untuk ketegaran mental (spiritual) kita. Jika ada orang yang mentalnya jatuh, maka perhatikanlah orang itu. Biasanya orang seperti ini suka berburuk sangka terhadap orang lain. Ada orang misalkan, bahwa sebaik apapun pekerjaan orang lain, maka pasti akan ditanggapinya dengan negatif. Jangan-jangan kita juga sering seperti ini.

Yang positif dari orang lain, sekalipun adalah bawahan kita, maka akuilah bahwa bawahan kita itu memang hebat. Ada orang yang tak mau mengagumi orang lain, apalagi prestasi itu muncul dari bawahannya. Orang yang seperti ini kemungkimam besar hidupnya tak pernah tenteram. Mengapa? Karena tidak mau melihat orang lain sukses. Dia ingin dirinya saja yang sukses. Begitu mendengarkan orang lain sukses, apalagi musuhnya misalkan, maka ia akan merasa tidak tenang.

Kiat ketiga, mengenal titik kritis pribadi kita

Ini adalah suatu pekerjaan berat, karena kita tak pernah mau mengintrospeksi diri kita sendiri. Seakan-akan setiap yang kita lakukan itu selalu benar. Kalau seperti ini, maka ketenteraman di dalam diri kita takkan pernah muncul.

Karena tidak sadar akan titik kelemahan tersebut, biasanya membuat kita selalu jatuh di lubang yang sama. Begitu juga jika tidak mau mengakui kesalahan, maka kesalahan bertubi-tubi akan kita dapatkan setiap saat. Tetapi jika kita mengakui bahwa diri kita bersalah, maka insya Allah kita tidak akan jatuh di lubang yang sama. Sebaliknya, sikap waspada dan latihan penguasaan diri membuat kita akan berhasil dan menang melewati masa-masa sulit dalam kehidupan kita.

Semua kesalahan-kesalahan itu kita terima sebagai suatu kenyataaan hidup. Begitu muncul di hadapan kita, sejarah berulang, tapi kita tak akan melewati lagi tempat yang sama.

Kiat keempat, mengatur prioritas hidup kita

Salah satu kelemahan kita adalah tidak cerdas mengatur prioritas kehidupan. Semuanya seakan-akan sama pentingnya. Semestinya kita memprioritaskan dalam hidup ini, mana yang penting, mana yang tidak. Kriteria penting dan tidak penting jangan diukur berdasarkan spontanitas emosional kita pada saat itu. Perlu untuk mengatakan tidak untuk hal-hal tertentu, dan iya untuk hal-hal yang tertentu pula. Sehingga memang ketegasan itu diperlukan dalam hidup ini. Orang yang tidak tegas, maka dia akan mengiyakan semuanya. Kadang-kadang kita terlalu baik, sehingga kemudian kita menjadi korban dari keterlalu-baikan kita itu.

Apa yang dikerjakan justeru membawa masalah baru dan bukan solusi untuk pemecahannya. Prioritas yang diatur secara tepat dan seimbang merupakan tindakan bijaksana untuk mengatasi tantangan dan kesulitan hidup. Di sinilah hebatnya Rasulullah SAW. Beliau selalu bertanya kepada para sahabatnya untuk mencari pemecahan masalah yang sedang dihadapi ketika itu. Beliau bukanlah tipe pemimpin yang otoriter. Di dalam kisah-kisah Al-Qur’an, salah satu kunci kesuksesan orang-orang hebat itu adalah selalu bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.

Orang-orang besar biasanya tidak spontan langsung mengambil suatu keputusan, melainkan mereka selalu meminta pertimbangan dari orang-orang yang ada di dekatnya. Mereka terbiasa untuk berdialog. Jika ada orang yang tidak mau berdialog, maka orang tersebut biasanya berjiwa kerdil dan tak mungkin bisa menjadi orang besar. Ciri-ciri orang besar adalah selalu mau berdialog dan meminta pandangan dari orang-orang di sekitarnya, sekalipun terhadap bawahannya.

Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa Nabi Muhammad pernah meminta pendapat dari para sahabat mengenai tindakan yang akan diambil terhadap para tawanan perang. Nabi Muhammad berkata, “Wahai para sahabat, tawanan perang ini sebaiknya diapakan?” Lalu berkatalah Umar ibn Khattab, “Interupsi Rasulullah. Menurut hukum adat, bahwa laki-laki dibunuh sedangkan perempuannya diperbudak.” Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq juga menginterupsi, “Interupsi Rasulullah. Menurut pendapat saya tidak seperti itu. Para tawanan ini adalah orang-orang hebat. Lebih baik kita memberikan pembebasan bersyarat kepada mereka. Kemudian mereka ditugaskan untuk mencerdaskan masyarakat Madinah ini yang buta keterampilan.” Lalu Rasulullah menjawab, “Oke, saya setuju pendapat Abu Bakar.”

Tidak ada orang yang besar tanpa mentradisikan di dalam dirinya, dalam sikapnya, serta dalam kepemimpinannya untuk selalu berdialog. Dialog di sini mungkin adalah musyawarah. Tapi musyawarah tidak identik dengan demokrasi. Demokrasi biasanya yang menang adalah yang mayoritas. Sedangkan pada musyawarah, bisa saja pendapat yang minoritas lah yang disetujui, mungkin karena pendapat minoritas itu lebih maslahat, lebih arif, dan bijaksana.

Kiat kelima, bergabung dengan komunitas yang membangun

Kalau kita ditimpa musibah, jatuh, pailit, dan sebagainya, Islam dalam hal ini menganjurkan untuk memiliki motivasi yang kuat dan sikap mental yang positif, membangun keyakinan dan harapan untuk bersikap pantang menyerah, serta meraih tujuan yang sukses, caranya adalah dengan bergabung ke dalam komunitas yang selalu berpikir positif. Tapi kalau sudah pailit, kemudian bergabung dengan orang-orang yang berjiwa kerdil, maka kemungkinan besar akan sulit sekali untuk bangun dari kegagalan tersebut. Biasanya juga orang yang gagal itu akan memilih bergabung bersama dengan orang yang gagal pula. Jika ini yang dilakukan, maka sama saja orang tersebut sudah terkubur hidup-hidup sebelum ia wafat.

Islam menganjurkan, bahwa ketika kita mengalami kegagalan, maka datanglah kepada orang yang berpandangan positif, kemudian berkonsultasilah dengan orang tersebut, maka kita akan hidup kembali. Pada umumnya, orang-orang yang mengalami kegagalan itu jatuh ke lembah yang paling dalam. Hal ini dikarenakan mereka akan mencari orang-orang yang senasib dengannya. Mestinya kan harus dibalik. Kali ini mungkin kita jatuh, tapi teman-teman lama kita masih banyak yang bisa membantu kita. Tapi kalau kita mencari teman yang senasib dengan kita, yaitu sama-sama orang yang mengalami kegagalan, maka yakinlah, kita akan semakin terperosok ke lubang kegagalan yang lebih dalam.

Bergabunglah dengan orang-orang yang positif. Berkonsultasilah dengan orang-orang yang tepat. Kalau kita sudah jatuh, maka berhati-hatilah dalam berkonsultasi. Kadang juga ketika berkonsultasi dengan orang yang tepat, mungkin bisa saja semakin tambah merontokkan kita. Sudah jatuh, diberikan pandangan lagi, yang itu bisa memeras kita jauh lebih jatuh lagi. Karena itu, berhati-hatilah dalam memilih orang yang akan dijadikan sebagai tempat berkonsultasi. Dalam hal ini, lihatlah dulu orangnya. Karena orang itu satu sisi mungkin bisa meningkatkan, tapi mungkin juga menjebloskan lebih dalam lagi. Alangkah lebih baiknya, sebelum berkonsultasi dengan siapa saja, maka serahkanlah diri kita kepada Allah SWT. Bismillahi tawakkaltu ‘alallah. Wala hawla wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azim. [nAvy]

16 Juni 2008 at 3:50 AM 7 komentar

Older Posts


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.319 hits
Juni 2008
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter