Archive for 6 Juni 2008

Kota yang Dibelah oleh Sungai

KOTA YANG DIBELAH OLEH SUNGAI

Oleh: Hanafi Mohan

Eee … sampan laju, sampan laju daghi ile’ sampai ke ulu

Sungai Kapuas, sungguh panjang daghi dulo’ membelah kote


Eeee… tak disangke, tak disangke dulo’ utan menjadi kote

Ghamai pendudoknye, Pontianak name kotenye

Dua bait awal lagu daerah Pontianak yang berjudul “Ae’ Kapuas” ini menggambarkan Kota Pontianak yang begitu lekat dengan Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Pontianak adalah kota yang wilayahnya dipisahkan oleh Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak yang tak lain adalah anak sungai dari Sungai Kapuas. Sungai Kapuas Besar memisahkan Pontianak Barat dengan Pontianak Utara. Untuk menuju ke Pontianak Utara dari Pontianak Barat (atau sebaliknya) bisa secara langsung menggunakan feri penyeberangan sungai. Sungai Kapuas Kecil memisahkan Pontianak Selatan dengan Pontianak Timur dengan penghubungnya berupa jembatan yang dikenal dengan sebutan Jembatan Kapuas. Sungai Landak memisahkan Pontianak Utara dengan Pontianak Timur dengan penghubungnya berupa jembatan yang dikenal dengan sebutan Jembatan Landak. Sedangkan Pontianak Selatan menyatu satu daratan dengan Pontianak Barat. Pemisah kedua wilayah tersebut hanyalah sebuah parit yang disebut Parit Besar.

Dalam Bahasa Melayu, Pontianak artinya hantu kuntilanak. Penamaan ini sesuai dengan sejarah ketika berdirinya kota pesisir sungai ini dua abad yang silam. Konon ketika itu, pendiri kota ini yaitu Syarif Abdurrahman Al-Qadri, bersama-sama dengan rombongannya yang melakukan perjalanan dari Mempawah untuk mencari daerah baru yang akan dijadikan kerajaan sampai di wilayah utara Pontianak yang kemudian dikenal sebagai kawasan Batulayang. Ketika sampai di wilayah Batulayang inilah, rombongan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kapal tiba-tiba mendapat gangguan dari makhluk halus sejenis hantu kuntilanak. Berdasarkan petunjuk yang didapat, Syarif Abdurrahman Al-Qadri kemudian memerintahkan kepada rombongannya untuk bermalam di tempat itu, karena daerah yang akan dituju sudah semakin dekat. Berdasarkan petunjuk yang didapat juga, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada rombongannya untuk menembakkan meriam, yang selain untuk mengusir gangguan hantu kuntilanak, juga untuk menjadikan penanda jatuhnya peluru meriam itu sebagai tempat yang akan mereka bangun sebagai wilayah kesultanan.

Simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak adalah tempat jatuhnya peluru meriam yang ditembakkan oleh rombongan Syarif Abdurrahman. Kawasan Simpang Tiga itu kemudian dikenal dengan nama Kampung Beting yang termasuk di dalam wilayah Kelurahan Dalam Bugis. Di kawasan inilah untuk pertama kalinya didirikan bangunan berupa masjid di Kota Pontianak yang ketika itu masih hutan belantara. Masjid yang merupakan bangunan pertama di Kota Pontianak itu kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Tak jauh dari Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak itu kemudian didirikan Istana Qadriah Kesultanan Pontianak. Hingga kini, kedua bangunan bersejarah di Kota Pontianak itu masih tetap kokoh berdiri.

Pontianak memang dikenal sebagai Kota Air. Dengan Sungai Kapuas dan Sungai Landak sebagai sungai yang membelah kota serta puluhan parit (kanal) yang bermuara ke kedua sungai tersebut. Sekilas seperti Kota Venezia di Italia, atau Kota Amsterdam di Belanda. Sungai dan Parit menjadi salah satu jalur transportasi terpenting di Kota Khatulistiwa ini. Dari sampan kayu yang berukuran kecil hingga kapal-kapal berukuran besar bisa melalui Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Dan ada lagi satu alat transportasi angkutan barang yang cukup unik, yaitu Bandong. Merupakan kapal kayu yang berbentuk seperti rumah, yang bisa memuat dan mengangkut barang dalam jumlah yang cukup besar. Bandong ini biasanya dipergunakan untuk mengangkut barang melalui sungai ke daerah-daerah yang berada di hulu Sungai Kapuas dan Sungai Landak, dan daerah pedalaman lainnya di Kalimantan Barat. Kapal, motor air, dan bandong, baik yang berlabuh di pinggir sungai maupun yang sedang berjalan menyusuri sungai akan sering kita temui jika kita sedang berada di pinggiran sungai, dan tentunya akan menjadi pemandangan yang begitu menarik Belum lagi sampan dan speed boat yang lalu-lalang membawa penumpang menyeberangi sungai. Juga kehidupan masyarakat pesisir sungai yang tak kalah menariknya. Semua hal itu menjadikan keunikan tersendiri bagi Kota Pontianak. Namun sayang, semua keunikan itu belum digarap dan dikelola dengan baik oleh pemerintahan daerah setempat dan pihak-pihak lain yang terkait sehingga bisa menjadi wisata air yang akan menarik para wisatawan berkunjung ke Kota Khatulistiwa ini.

Pontianak adalah kesultanan terakhir yang didirikan di Provinsi Kalimantan Barat di masa lalu. Pontianak didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang sekaligus menjadi Sultan pertama di Kesultanan Pontianak ketika itu. Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri adalah putera seorang ulama terkenal di Kalimantan Barat yang bernama Habib Husain. Habib Husain ini berasal dari Negeri Hadralmaut-Yaman Selatan. Berdasarkan silsilahnya, Habib Husain ini merupakan keturunan Nabi Muhammad. Ketika di Kalimantan Barat, Habib Husain sempat menjadi ulama yang menyebarkan ilmu keislamannya di Kesultanan Matan dan Kesultanan Mempawah. Syarif Abdurrahman sendiri adalah putera dari perkawinannya dengan perempuan di Kesultanan Matan.

Beberapa kesultanan lainnya yang lebih dahulu didirikan di Kalimantan Barat di antaranya adalah: Kesultanan Tangjungpura, Kesultanan Matan, dan Kesultanan Sukadana di Kabupaten Ketapang (kini dimekarkan menjadi Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara), Kesultanan Sambas di Kabupaten Sambas, Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kubu di Kabupaten Pontianak, Kesultanan Landak di Kabupaten Landak, Kesultanan Sintang di Kabupaten Sintang, dan Kesultanan Sanggau di Kabupaten Sanggau. Walaupun didirikan paling akhir, namun karena letaknya yang strategis pada jalur perdagangan telah menjadikan Pontianak sebagai kota pelabuhan sekaligus sentra perdagangan dan sentra pemerintahan di Provinsi Kalimantan Barat.

Penduduknya yang heterogen telah menjadikan Pontianak sebagai kota yang kosmopolitan. Penduduk Pontianak rata-rata adalah penduduk pendatang, karena tadinya Pontianak hanyalah hutan belantara. Setelah berdirinya Kesultanan Pontianak, maka berdatanganlah orang-orang dari luar Kota Pontianak. Nama-nama kampung dan tempat yang ada di Pontianak menggambarkan asal daerah penduduk yang ada di tempat itu. Misalkan: Kampung Banjar Serasan menunjukkan bahwa penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Banjarmasin dan Pulau Serasan. Kampung Bangka Belitung menunjukkan bahwa penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Kepulauan Bangka Belitung. Kampung Tambelan Sampit menunjukkan penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Pulau Tambelan di Kepulauan Riau dan Sampit di Kalimantan Tengah. Kampung Saigon menunjukkan penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Saigon-Vietnam. Kampung Kamboja menunjukkan penduduknya berasal dari Negeri Kamboja. Dan beberapa kampung lainnya seperti Kampung Kuantan, Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Bali, Siantan, dan Kampung Dalam Bugis. Beberapa nama tempat tersebut memang diakui berdasarkan kaitan daerah asal penduduk yang ada di kawasan tersebut. Namun apa yang telah saya tuliskan tersebut mungkin juga agak kurang valid, sehingga patut dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai asal daerah penduduk yang ada di kawasan-kawasan tersebut. Seperti penamaan beberapa kawasan mungkin saja bukan karena penduduk yang ada di kawasan tersebut berasal dari daerah yang kemudian dijadikan sebagai nama kawasan tersebut, karena mungkin saja ada hubungan lain, misalkan hubungan perdagangan di masa lalu di mana penduduk yang ada di tempat itu pernah berdagang atau berlayar ke suatu tempat, sehingga mereka menamakan kawasan tempat tinggal mereka berdasarkan tempat yang pernah mereka singgahi ketika melakukan pelayaran atau perdagangan tersebut. Atau mungkin juga ada hal-hal lainnya, sehingga terciptalah nama tersebut. Apa yang telah saya tuliskan di atas tak lebih hanyalah ingin menunjukkan heterogenitas Kota Pontianak. Penelitian yang mendalam lagi mengenai hal ini saya rasa begitu pentingnya.

Selain dikenal sebagai kota yang dibelah oleh sungai, Pontianak juga dikenal sebagai kota yang pas dilalui oleh garis khatulistiwa (equator) nol derajat. Sehingga Pontianak dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa. Karena itu, cuaca di kota ini cukup panas dengan sinar mataharinya yang terik menyengat. Tempat berdirinya Tugu Khatulistiwa sebagai penanda ciri khas dan keunikan Kota Pontianak berada di wilayah Siantan Kecamatan Pontianak Utara. Di kawasan Tugu Khatulistiwa ini setiap tahunnya pada saat terjadinya peristiwa kulminasi matahari selalu rutin diadakan event budaya daerah, yaitu Festival Budaya Bumi Khatulistiwa

Mayoritas penduduk Kota Pontianak adalah Melayu dan Tionghoa. Karena merupakan kota pelabuhan, beberapa suku lainnya juga cukup banyak mendiami kota ini. Sedangkan Suku Dayak sebagai salah satu suku asli selain Melayu lebih banyak mendiami daerah-daerah hulu sungai dan pedalaman di Kalimantan Barat. Tapi kini juga tak dapat dipungkiri, bahwa Suku Dayak juga sudah cukup banyak mendiami daerah perkotaan seperti Pontianak.

Secara umum, bahasa pergaulan sehari-hari di Pontianak adalah Bahasa Melayu, yang juga dipergunakan secara luas di seluruh Kalimantan Barat. Hal ini membedakan Kalimantan Barat dengan tiga provinsi lainnya di Pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Di tiga provinsi tersebut, bahasa pergaulannya adalah Bahasa Banjar. Walaupun Bahasa Banjar masih termasuk rumpun Bahasa Melayu, namun tak dapat dipungkiri juga, bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Bahasa Melayu dengan Bahasa Banjar.

Secara geografis, Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang berbatasan darat secara langsung dengan Malaysia Timur (Kalimantan Bagian Utara). Hal ini telah menjadikan Pontianak sebagai ibu kota Kalimantan Barat memiliki peranan strategis dalam hubungan antara dua negara serumpun (Indonesia dan Malaysia). Selain dengan Malaysia, Kalimantan Barat juga berhubungan erat dengan Negara Brunei Darussalam yang juga berada di Kalimantan Bagian Utara. Apalagi di masa lalu, beberapa kesultanan di Kalimantan Barat memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Kesultanan Brunei Darussalam.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa bagi yang sudah pernah berkunjung ke Kota Pontianak dan kemudian meminum air Sungai Kapuas, maka orang tersebut akan begitu sulit sekali untuk melupakan kota sungai yang begitu unik ini.

Berikut ini adalah bait terakhir dari lagu “Ae’ Kapuas” yang menggambarkan hal tersebut:

Sungai Kapuas punye ceghite, bile kite minom ae’nye

Walauponn pegi jaoh ke mane, sungguh susah nak ngelupa’kannye

Eee… Kapuas, eee … Kapuas [-,-]

Ciputat, 6 – 8 September 2007

6 Juni 2008 at 6:56 PM Tinggalkan komentar

Menyambut Lebaran di Pontianak dengan Letusan Meriam

Menyambut Lebaran di Pontianak dengan Letusan Meriam

Oleh: Hanafi Mohan

Eee … sampan laju, sampan laju daghi ile’ sampai ke ulu

Sungai Kapuas, sungguh panjang daghi dulo’ membelah kote

Itulah bait awal lagu daerah Pontianak yang berjudul “Ae’ Kapuas” yang menggambarkan Kota Pontianak yang begitu lekat dengan Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Pontianak adalah kota yang wilayahnya dipisahkan oleh Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak. Sungai-sungai tersebut cukup lebar dan dalam, sehingga bisa dilalui oleh kapal-kapal besar.

Pontianak adalah kesultanan terakhir yang berdiri di Kalimantan Barat pada abad ke-17. Didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang sekaligus menjadi Sultan pertama di Kesultanan Pontianak ketika itu. Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri adalah putera seorang ulama terkenal di Kalimantan Barat yang bernama Habib Husain. Habib Husain ini berasal dari Negeri Hadhralmaut-Yaman Selatan. Berdasarkan silsilahnya, Habib Husain ini merupakan keturunan Nabi Muhammad. Ketika di Kalimantan Barat, Habib Husain sempat menjadi ulama yang menyebarkan ilmu keislamannya di Kesultanan Matan dan Kesultanan Mempawah. Syarif Abdurrahman sendiri adalah putera dari perkawinannya dengan perempuan di Kesultanan Matan.

Dalam Bahasa Melayu, Pontianak artinya hantu kuntilanak. Penamaan ini sesuai dengan sejarah ketika berdirinya kota pesisir sungai ini dua abad yang silam. Konon ketika itu, pendiri kota ini yaitu Syarif Abdurrahman Al-Qadri, bersama-sama dengan rombongannya kemudian sampailah di kawasan Batulayang yang berada di wilayah utara Pontianak setelah melakukan perjalanan dari Mempawah untuk mencari daerah baru yang akan dijadikan kesultanan. Ketika sampai di Batulayang inilah, rombongan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kapal tiba-tiba mendapat gangguan dari makhluk halus sejenis hantu kuntilanak. Berdasarkan petunjuk yang didapat, Syarif Abdurrahman Al-Qadri kemudian memerintahkan kepada rombongannya untuk bermalam di Batulayang, karena daerah yang akan dituju sudah semakin dekat. Berdasarkan petunjuk yang didapat juga, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada rombongannya untuk menembakkan meriam, yang selain untuk mengusir gangguan hantu kuntilanak, juga sebagai penanda, bahwa di mana peluru meriam itu jatuh, maka di tempat itulah nantinya akan dibangun kesultanan.

Simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak adalah tempat jatuhnya peluru meriam yang ditembakkan tersebut. Kawasan tersebut kemudian dikenal dengan nama Kampung Beting yang termasuk di dalam wilayah Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Di kawasan inilah untuk pertama kalinya didirikan bangunan berupa masjid di Kota Pontianak yang ketika itu masih hutan belantara. Masjid yang merupakan bangunan pertama di kota ini kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Tak jauh dari Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak tersebut kemudian didirikan Istana Qadriah sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak ketika itu. Hingga kini, kedua bangunan bersejarah di Kota Pontianak tersebut masih tetap kokoh berdiri.

Berkaitan dengan sejarah masa lalunya, menembakkan meriam menjadi tradisi tersendiri di Kota Pontianak ketika akan menyambut Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, serta ketika memperingati Hari Jadi Kota Pontianak. Tak jarang pula meriam dibunyikan ketika event-event budaya seperti Festival Budaya Bumi Khatulistiwa (FBBK) yang setiap tahun rutin dilaksanakan oleh pemerintahan daerah setempat. Bedanya, meriam yang menjadi tradisi masyarakat Kota Pontianak ini bukanlah terbuat dari besi dan berisikan mesiu, melainkan hanya meriam yang terbuat dari kayu log yang cukup panjang dan berdiameter agak besar (panjangnya 5 – 8 meter, dengan diameter 30 – 100 centimeter) dan berisikan karbit 3 – 5 ons sebagai pengganti mesiu yang kemudian disulut dengan api. Suara meriam karbit ini bisa menggelegar hingga mencapai radius 10 kilometer.

Meriam karbit, begitulah masyarakat Pontianak biasa menyebutnya. Merupakan tradisi unik yang ada Pontianak yang mungkin satu-satunya di Indonesia dan di dunia. Mengapa dikatakan unik? Di beberapa daerah mungkin saja terdapat tradisi serupa. Tapi sangat berbeda dengan tradisi meriam karbit yang ada di Kota Pontianak. Selain meriamnya berukuran besar, juga dibunyikan secara bergantian dan berhadap-hadapan antara kelompok yang ada di sisi sungai yang satu dengan kelompok yang ada di sisi sungai yang berseberangan. Dan ini bukan hanya satu dua kelompok, namun bisa mencapai puluhan kelompok yang berada di sepanjang pesisir Sungai Kapuas Kecil secara berhadap-hadapan seperti layaknya peperangan. Satu kelompok bisa memiliki 3 hingga 8 meriam karbit. Sehingga dapat dibayangkan keadaan Kota Pontianak ketika menyambut Hari Raya Idul Fitri, gegap-gempita dengan suara meriam yang menggelegar bersahut-sahutan bagaikan berada di dalam sebuah kota yang sedang dilanda peperangan. Bagi sebagian orang yang tak terbiasa, suara bising tersebut mungkin akan sangat mengganggu. Tapi lain lagi bagi kebanyakan masyarakat Kota Pontianak. Meriam karbit merupakan tradisi yang sudah mendarah daging bagi mereka, yang tak setiap hari dapat ditemui. Dulu tradisi ini pernah dilarang oleh polisi dan pemerintahan setempat. Bahkan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tradisi ini akan ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Baru dalam sekitar 13 tahun terakhir ini masyarakat Pontianak bisa melakukan tradisi mereka yang unik ini dengan leluasa tanpa adanya larangan dari polisi dan pemerintahan setempat.

Selain tradisi meriam karbit, di Kota Pontianak hingga kini juga terus hidup tradisi-tradisi lainnya berupa kesenian daerah dengan corak budaya Melayunya yang begitu kental, seperti Zikir Hadrah, Tari Zapin, Pantun, Syair, dan Tanjidor, serta tradisi Melayu pada upacara kelahiran, khitanan, khataman Al-Qur’an, pertunangan, pernikahan, dan kematian. Selain budaya dan tradisi Melayu, di Pontianak juga hidup dan berkembang budaya dan tradisi Tionghoa, seperti Barongsai, Cap Go Meh, dan Atraksi Naga. Selain itu, Kota Pontianak hingga kini juga masih memiliki tempat-tempat bersejarah, seperti Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrarahman, Istana Qadriah, dan Makam Keluarga Kesultanan Pontianak (dikenal dengan sebutan Makam Batulayang). Selain itu juga terdapat Taman Alun-alun Kapuas, Kawasan Kampung Beting, Museum Negeri, Duplikat Rumah Adat, Taman Agrowisata, Jembatan Kapuas, dan Jembatan Landak, serta Tugu Khatulistiwa yang merupakan ikon Kota Pontianak yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. [-Han-]

Ciputat, 6 – 8 September 2007

6 Juni 2008 at 6:49 PM 4 komentar

Cerpen: Penyanyi di Atas Kapal

PENYANYI DI ATAS KAPAL
Cerpen: Hanafi Mohan
( Cerpen ini telah dimuat di Tabloid MaJEMUK Edisi 31 – Maret-April 2008 )

Namanya Indah. Seorang biduan di atas kapal yang sebulan lalu aku tumpangi ketika pulang kampung. Suaranya begitu merdu, parasnya juga cantik.

“Jadi, kau berkenalan cukup dekat dengannya?” tanya Udin, teman seperjalananku.

“Bisa iya bisa tidak,” jawabku sekenanya, yang membuat Udin jadi penasaran. Sementara musik dangdut terus mengalun dengan iramanya yang khas, dinyanyikan seorang biduan yang cukup cantik, diiringi organ tunggal yang dimainkan oleh seorang pria.

“Bisa iya bisa tidak bagaimana maksud kau itu?”

Aku hanya tersenyum melihat Udin yang semakin penasaran.
***
Indah berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ya, bisa dikatakan dari keluarga menengah ke bawah. Orang tuanya hanya sanggup menyekolahkannya hingga tamat SMP saja. Ayahnya hanya seorang petani miskin di sebuah desa di Jawa Barat.

Indah memang hobi menyanyi. Tuhan telah menganugerahkan kepadanya suara yang cukup merdu. Tak jarang pada acara perkawinan di desanya, Indah diminta untuk menyanyi di depan panggung. Juga pada panggung 17 Agustusan ataupun perayaan-perayaan lainnya.

Suaranya yang lumayan merdu itu, ditambah lagi parasnya yang cantik, semakin menjadikan Indah begitu populer di desanya. Hingga suatu saat, ia memberanikan diri untuk bertaruh nasib ke Jakarta. Melalui seorang kenalan, Indah ditawarkan untuk menjadi penyanyi di sebuah kafe yang ada di Jakarta. Lumayan, penghasilannya selama bekerja di kafe tersebut walaupun tak terlalu besar, namun sudah cukup bisa membantu perekonomian keluarganya. Bahkan ia bisa menyekolahkan adik laki-lakinya hingga ke perguruan tinggi.

Sementara Udin begitu seriusnya mendengarkan ceritaku. Ditambah lagi alunan musik dangdut di atas kapal yang aku tumpangi menuju Jakarta, semakin menambah keasyikan pembicaraan kami.

“Demikian dekatkah kau dengan Indah, hingga perempuan tersebut mau menceritakan kisah hidupnya padamu?” Udin kembali bertanya.

“Ya, boleh dikatakan seperti itulah, Din.”

Sedari tadi Udin memang sudah begitu penasaran akan ceritaku. Sepertinya kini Udin semakin tambah penasaran akan jawabanku yang selalu menggantung.

Suatu saat, datanglah tawaran dari seorang rekannya untuk menjadi penyanyi di atas sebuah kapal penumpang. Tawaran yang memang benar-benar baru bagi Indah. Apalagi ia baru kali ini mendengar, bahwa di atas Kapal Penumpang ada pertunjukan musik juga. Ditambah lagi ia memang belum pernah naik kapal. Semua hal-hal baru itu semakin menambah ketertarikan Indah untuk menerima tawaran tersebut.

“Terus … terus …?” Udin semakin tak sabar untuk mendengarkan kelanjutan ceritaku.

Menurut penuturan Indah, sudah sekitar setahun ini ia menjadi penyanyi di atas kapal penumpang. Pernah kutanyakan kepadanya, mengapa ia begitu betah menjadi penyanyi di atas kapal. Menurutnya, bukan betah sih sebenarnya. Namun karena mencari pekerjaan itu memang tak mudah. Apalagi ia hanya tamatan SMP. Kiranya hanya suaranya itulah yang menjadi modal untuk mencari duit.

“Masa’ sih cuma suaranya saja?” kembali Udin menimpali.

“Maksud kau apa, Din?”

“Ya, seperti yang kau katakan, bahwa Indah juga memiliki wajah yang cantik.”

“Maksud kau, dia bisa saja menjual dirinya, begitu? Misalkan menjadi pe …”

“Bukan …, bukan itu maksudku.”

Indah tak seperti yang kukira. Mulanya aku mengira ia berprofesi ganda. Maksudnya, selain sebagai penyanyi yang menjual suaranya, juga sekaligus bisa menjual tubuhnya. Sudah jamak diketahui, bahwa penyanyi di atas kapal memang seperti itu.
***
Malam itu di kafe yang ada di kapal penumpang tersebut, kulihat Indah sedang bercengkerama dengan seorang lelaki. Sepertinya obrolan mereka begitu asyiknya. Aku tak jauh duduknya dari tempat duduk Indah bersama lelaki tersebut.

Sambil mendengarkan hiburan musik dangdut di kafe tersebut, suasana hatikupun terbawa oleh lagu-lagu tersebut. Sekali-sekali aku melihat ke arah tempat duduk Indah dan lelaki yang tak aku kenal tersebut. Masih seperti yang kulihat tadi, mereka sedang asyik bercengkerama.

Tak terasa sudah dua jam lebih aku berada di kafe. Cukup suntuk memang jika tak ada hiburan musik di atas kapal penumpang. Yah, untunglah masih ada orang-orang seperti Indah yang mau menghibur para penumpang kapal dengan lagu-lagu yang dinyanyikannya.

Aku pun berhenti sejenak dari ceritaku, karena pelayan kafe di kapal sedang menyuguhkan dua gelas kopi yang aku pesan tadi. Sedangkan Udin sepertinya terus menantikan kelanjutan ceritaku. Sambil menghisap rokok dalam-dalam, kemudian cerita aku lanjutkan.

Beberapa saat kemudian, kudengar ada suara gaduh dari arah tempat duduk Indah bersama lelaki tersebut. Kulihat Indah segera bergegas keluar dari kafe. Akupun berinisiatif mengikuti Indah dari belakang. Ternyata Indah menuju ke arah belakang kapal. Akupun terus mengikuti. Agak berjarak memang, sepertinya ia tak menyadari jika kuikuti dari belakang. Kulihat dia berdiri berpegangan pada pagar belakang kapal. Sepertinya ia sedang menangis. Awalnya tak ingin kumendekatinya. Mungkin ia sedang ingin sendirian. Tapi kulihat tangisannya tak kunjung berhenti. Melihat itu, ingin sekali kumenghiburnya. Tapi dengan cara apa? Bingung juga aku ketika itu. Sempat kuberpikir, tak terlalu pantas kiranya diriku mencampuri urusan orang lain.
***
Sementara, hari semakin beranjak malam. Penyanyi di kafe semakin bersemangat menyanyikan lagu-lagu dangdut. Dari lagu dangdut sendu, dangdut rancak, dangdut koplo, kadang juga diselingi lagu pop. Kulihat para pengunjung kafe berjoget dengan riangnya. Sedangkan aku terus bercerita kepada Udin mengenai kisah Indah. Dan Udin tetap mendengarkan ceritaku dengan khidmatnya.

Akhirnya, aku pun memberanikan diri untuk menghampiri Indah,

“Eh, Mas,” Indah agak sedikit terkejut ketika aku menghampirinya.

“Kok sendirian aja?” tanyaku kepada Indah.

“Iya Mas, lagi pengen sendirian.”

“Berarti kalau begitu saya mengganggu dong?”

“Nggak apa-apa kok, Mas.”

“Beneran nih nggak apa-apa?”

“Iya, beneran,” jawabnya dengan dihiasi senyuman. Tapi tetap saja kesedihan di wajahnya tak dapat disembunyikan.

Kapal terus berjalan menyusuri lautan yang hanya terlihat gelap. Seakan-akan kegelapan itu seirama dengan kesedihan yang menimpa Indah.

Kembali Indah memulai pembicaraan, “Mas, apakah memang sudah sepantasnya setiap perempuan untuk direndahkan dan dilecehkan? Apakah setiap lelaki memang ditakdirkan untuk melakukan semua itu?”

Aku masih belum mengerti arah pembicaraan Indah. Sengaja tak kujawab pertanyaannya itu. Kupikir, biarlah ia menumpahkan segala kesedihannya. Mungkin dengan begitu akan berkuranglah kesedihan yang melandanya.

“Mas, aku memang penyanyi. Seperti yang Mas lihat sendiri, profesi ini kujalani hanyalah untuk mencari nafkah, untuk membantu perekonomian keluargaku. Tak lebih dari itu,” kembali Indah berucap, kemudian untuk beberapa saat terdiam. Terlihat matanya berkaca-kaca.

“Sebagian orang mungkin menganggap rendah profesiku ini. Tak jarang pula ada yang menganggapku sebagai perempuan murahan. Namun, jauh dari semua prasangka itu, aku hanyalah seorang penyanyi,” beberapa saat Indah terdiam setelah mengucapkan itu semua.

Kiranya sudah puaslah Indah menumpahkan segala kesedihan dan keluh-kesahnya. Akupun berucap, “Indah, sabar saja ya menghadapi semuanya!”

“Mas, terima kasih ya sudah mau mendengarkan curhat-ku.”

Malampun semakin larut. Sedangkan kapal terus berjalan menyusuri lautan.
***
Udin masih terus setia mendengarkan ceritaku. Sementara musik di kafe tempat kami bercengkerama sudah berubah menjadi musik disko. Sebelum memulai lagi pembicaraan, kuseruput kopi yang terletak di atas meja tempat kami bercengkerama.

Udin kemudian berujar, “Andaikan kali ini Indah juga ikut berlayar, mungkin aku bisa berkenalan dengannya.”

Dalam benakku berkata, Din, sebenarnya Indah tak pernah ada. Cerita tentang Indah hanyalah karanganku belaka, agar kau tak mudah berburuk sangka kepada siapa saja, termasuk kepada penyanyi di atas kapal yang kita tumpangi kini. Karena berburuk sangka bukanlah perbuatan yang baik. [-,-]

Ciputat, Desember 2007 – Februari 2008

6 Juni 2008 at 4:30 PM 2 komentar


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.331 hits
Juni 2008
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter