Posts filed under ‘Essay’

Kembali Mendedahkan Bahasa Kita

Bahasa Melayu Bahasa Dunia_edit

Perjumpaan berbagai macam arus budaya yang kemudian berpusar pada dinamika masyarakat yang ada di dalamnya mau tak mau suka tak suka merupakan suatu keniscayaan. Pusaran budaya tersebut lebih dahsyatnya kemudian menjelma riak gelombang yang lambat laun mewujud ombak nan besar yang menghantam-hantam budaya di sekitarnya yang tak lain merupakan budaya pembentuknya. Ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi: budaya yang dihantam dilibas itu tetap berdiri namun terhuyung-huyung, budaya yang dihantam itu hancur berkeping-keping, budaya yang dihantam itu lebur ke dalam gelombang besar. Atau mungkin juga menjadi seperti pasir yang dihantam gelombang, yang terhempas ke tepian, yang butiran-butirannya bertabur-biaran terserak dilamun ombak nan garang, kemudian di suatu masa butiran-butiran pasir yang tercerai-berai itu berkumpul kembali ke tepian menjadi pantai nan indah selaksa pesona.
(lebih…)

26 Februari 2014 at 1:26 AM Tinggalkan komentar

Cak Nur; Cendekiawan yang Rendah Hati

Ketertarikan kita kepada seseorang kadang begitu anehnya. Tak jarang pula hal tersebut berawal dari ketidaksukaan kita kepada orang itu. Dan ketertarikan jenis inilah yang aku rasakan ketika mengenal Nurcholish Madjid (Cak Nur).
(lebih…)

16 Desember 2008 at 5:51 AM 3 komentar

Menulis dengan Emosi

Mengutip ceramah dari seorang Doktor, bahwa menulis adalah salah satu media untuk menyalurkan emosi kita. Selain menulis, seni juga merupakan media penyaluran emosi yang begitu efektif. Orang yang memiliki jiwa seni kemungkinan juga merupakan orang yang memiliki hati yang lembut. Nah, lantas bagaimana jika emosi, seni, dan menulis menjadi satu kesatuan kegiatan? Tentunya akan menghasilkan karya yang begitu menakjubkan, seperti novel, cerpen, puisi, syair, lirik lagu, komposisi musik, dan karya-karya yang serupa yang di dalamnya merupakan gabungan emosi, seni, dan tulisan.

Jadi, bagi siapapun yang memiliki emosi yang susah dikendalikan, maka cobalah menyalurkan emosi tersebut melalui tulisan. Curahkanlah kesedihan, kesusahan, kekecewaan, kemarahan, dan emosi apapun itu melalui tulisan. Ketika tersadar dari emosi tersebut, ternyata tulisan kita sudah berlembar-lembar banyaknya. Barulah kita sadar, ternyata emosi kita sudah terekam begitu rupa di dalam tulisan. Atau bisa juga emosi tersebut dijadikan sebagai pemicu dalam menulis. Maksudnya, bisa saja tulisan kita itu tidak berhubungan dengan emosi kita, melainkan emosi tersebut hanya dijadikan sebagai pemicu dalam menulis. Ketika hal ini dilakukan, tangan ini akan terus menggoreskan pena di atas kertas, jari-jari ini akan terus menari-nari di atas tuts keyboard, hanya mata yang ngantuk yang akan menghentikannya.

Tulisan yang disertai dengan emosi biasanya menjadi tidak kering, bahasanya mengalir bagaikan arus sungai yang menuju ke laut: lambat, kadang deras, atau tak jarang juga berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Tulisan yang disertai dengan emosi biasanya sangat enak untuk dibaca. Yakinlah, kalau ada tulisan yang tidak enak dibaca, mungkin tulisan tersebut tidak ditulis dengan emosi.

Dia meledak-ledak, mengharu-biru, membahana semesta raya, menyambar-nyambar, kilatan-kilatannya memercikkan kecemerlangan, gilang-gemilang, dan terang-benderang di semesta raya. Menulis dengan emosi adalah saat-saat terindah bagi para penulis, saat-saat yang memberikan kepuasan tersendiri bagi penulis dalam mendaki hingga mencapai puncak yang menakjubkan. Sensasi dari menulis seperti ini begitu hebatnya, bukan hanya bagi penulisnya, melainkan pembacanya pun merasakan sensasi yang luar biasa dari tulisan tersebut.

Menulis dengan emosi, sudahkah anda mencobanya? [Aan]

Ciputat, Kamis, 24 Juli 2008 Pukul: 20.43-21.54 WIB

12 Desember 2008 at 11:42 AM 6 komentar

Membaca dari Belakang

Ini adalah pengalaman paling pribadi dari diriku, yaitu membaca dari halaman belakang (halaman akhir), berlawanan dengan kebiasaan kita selama in, yaitu membaca dari halaman depan (halaman awal). Aneh mungkin, tapi kau cobalah kawan membaca seperti ini, niscaya kau akan mendapatkan sensasi yang lain daripada biasanya. Oh ya, untuk sementara ini mungkin hanya cocok digunakan untuk membaca novel, untuk bacaan yang lainnya aku belum pernah mencobanya.

Bayangkan, ketika membaca novel, maka kau mengetahui terlebih dahulu endingnya, setelah itu beranjak lembar demi lembar kau akan mengetahui cerita awalnya. Inilah sensasinya menurutku. Si pengarang novel mungkin menyusun cerita novel itu dengan logikanya sendiri yang itu sangat khas bagi setiap penulis. Maka kita selaku pembacanya tidak harus mengikuti logika penulis novel tersebut. Ketika novel tersebut sudah berada di tangan kita sebagai pembacanya, maka kita bebas sebebas-bebasnya untuk mengapresiasi novel tersebut.

Inilah membaca jungkir balik, awal menjadi akhir, akhir menjadi awal. Atau, awal tetap awal, akhir tetap akhir, tapi kita membaca akhirnya terlebih dahulu, sedangkan awalnya akan kita baca paling akhir. Jika si pengarang novel mempunyai logikanya sendiri dalam menulis jalinan ceritanya, maka tak ada salahnya kita juga memiliki logika tersendiri, serta cara tersendiri dalam membaca karya si penulis novel tersebut.

Sudah saatnya jangan lagi kita mau mengikuti logika para penulis novel tersebut. Sudah saatnya jangan lagi kita mau terjerumus oleh cara pandang si penulis novel terhadap cerita yang ia buat itu. Pembaca memiliki logikanya sendiri, memiliki kemerdekaannya sendiri, memiliki cara tersendiri, ….

Inilah revolusi para pembaca, inilah perlawanan para pembaca, …

“Edan,” kata temanku.

Lalu kujawab, “Tak ada yang lebih edan daripada para penulis cerita itu, kawan. Coba kau pikir, adakah orang yang lebih edan dibandingkan dengan orang yang mengkonstruksi suatu cerita hingga panjangnya beratus-ratus halaman banyaknya. Kemudian yang lebih edan lagi adalah kita, karena sudah mau mengikuti logika para penulis itu hanya untuk mengetahui ending ceritanya seperti apa, jalinan ceritanya seperti apa. Karena itu, agar kita tak terjerumus dengan logika para penulis itu, alangkah lebih baiknya kita membaca endingnya terlebih dahulu. Jika endingnya bagus, maka kita lanjutkanlah membaca karyanya itu. Tapi kalau endingnya jelek, maka tak ada salahnya kita memutuskan untuk tidak membaca novel tersebut. Selesai, kan?”

Dengan wajah seperti dilipat-lipat, temanku merenggut, “Sungguh edan, alias sableng bin gendeng kau itu,” kemudian temanku itupun berlalu dari hadapanku. Sedangkan aku tertawa terkekeh-kekeh melihat wajah temanku yang seperti kertas habis diremas-remas itu, atau mungkin seperti baju yang tak pernah disetrika, kalau orang Melayu Pontianak menyebutnya “ronyok“, kalau orang Jakarta mungkin menyebutnya “kucel“. Tahu kan kau yang kumaksud ini, kawan? []

Ciputat, Minggu – 29 Juni 2008 17.07 – 17.32 WIB

12 Desember 2008 at 11:33 AM 1 komentar

Pulau Bangka di Dalam “Truk Uak Bedela”

Pulau Bangka di Dalam “Truk Uak Bedela”
Oleh: Hanafi Mohan

Cerita yang lumayan menarik menurutku ketika membaca cerpen “Truk Uak Bedela” yang ditulis oleh Hakimi, seseorang yang aku kenal beberapa minggu ini dari dunia maya (internet). “Truk Uak Bedela” berkisah mengenai masyarakat Pulau Bangka yang mungkin selama ini agak kurang terekspos. Mungkin orang dari luar pulau Bangka akan bertanya-tanya, di manakah Pulau Bangka? Bagaimanakah kehidupan orang Pulau Bangka? Bagaimanakah budaya Pulau Bangka? Dan kalau pertanyaan ini diteruskan, mungkin akan terus berderet pertanyaan-pertanyaan lainnya, karena Pulau Bangka memang agak kurang dikenal, apalagi oleh orang-orang di Pusat Kekuasaan Indonesia (Jakarta, dan juga Pulau Jawa). Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang patut untuk dicermati dari cerpen ini.

Pada paragraf:
<<<Itu adalah pantun yang kudengar dari Alil, anak Uak Usman, dan pantun yang terakhir ia mengejekku. Temanku ini selain senang berpantun juga senang sekali dengan singkatan namanya sendiri “Alilus”. Ia suka mengacungkan jempolnya dan dengan bangga berkata, “ Alilus, tak ada duanya.” Dan kamipun tertawa mendengarnya. Alil berumah di kampung Tengah, dekat dengan rumah Ibu Nuri’ah.>>>

Siapakah Ibu Nuri’ah? Seberapa pentingkah Ibu Nuriyah dimasukkan di Cerpen ini? Kalau tidak penting, mengapa dimasukkan? Kalau dianggap penting, mengapa sejarah tokoh tersebut tidak disebutkan agak lebih lengkap, juga karakternya.

Siapakah Nurdin Romli?, yaitu pada paragraph:

<<<Ada temanku yang lain yang sangat bangga dengan namanya. Dia adalah Fahro. Nama sebenarnya ialah Fachrurrozy. Dari Muslimin teman sekampungnya dia mendapat nama tambahan Only, jadi ketika jual lagak sambil tekan pinggang ia berkata dengan bangga “Only Fahro.” Sama dengan  tadi kami pun terbahak-bahak. Tapi tawa kami lebih karena melihat ompongnya. Saat menyebut  “on” dan “ro” ompongnya tidak kelihatan tapi pada saat menyuarakan “li” kami  melihat layar  “cinemascope”.  Aku ingat betul, empat gigi serinya tak ada. Jadi betul-betul layar lebar. Dan tampaknya Fahro tak menyadari alasan kami tertawa. Selain sekampung dengan Muslimin, Fahro Ompong ini sekampung dengan Nurdin Romli.>>>

Di Cerpen, nama Ibu Nuri’ah dan Nurdin Romli sempat disebut, tapi hanya sekali, kemudian tak disebut-sebut lagi. Aku rasa nama-nama seperti ini lebih baik dihilangkan, dan itu sepertinya tidak akan mengubah pesan dari cerpen ini.

Nama tempat terlalu banyak, namun tidak disebutkan secara detail, sehingga membingungkan ketika membacanya, yang pasti membuat keasyikan membaca cerpen menjadi terusik. Mungkin hanya orang Bangka saja atau orang yang pernah tinggal di Bangka saja yang akan mengerti akan tempat-tempat tersebut ketika membaca cerpen ini.

Selain nama tempat, nama tokohnya juga terlalu banyak, tapi tak disebutkan detail satu persatu dari tokoh tersebut, atau setidaknya tokoh tersebut diperkenalkan dan lebih menjadi hidup.

Cerpen ini juga tidak ada dialognya, selain daripada cerita yang ditutukan oleh naratornya. Sehingga menurutku, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen ini menjadi tidak hidup. Memang, ada kendala tersendiri ketika harus membuat dialog. Kadang, dialog tersebut begitu keringnya. Sehingga, memang harus ada keberanian dalam membuat dialog pada sebuah cerita.

Apakah “sumpit” yang dimaksud? yaitu pada paragraf berikut ini:

<<<Buatku saat-saat menunggu kedatangan truk adalah saat-saat gembira. Mengapa tidak. Uang ada, beras punya, ikan asin bawa. Nangka muda bawa, kangkung, telur ayam, bumbu dapur, wah semua lengkap. Semua ada dalam sumpit. …>>>

Pertama-tama ketika membaca paragraf ini, aku tak mengerti akan … beras, ikan asin, nangka, kangkung, telur ayam, bumbu dapur, yang semuanya dibawa di dalam “sumpit”. Pikirku ketika membacanya, apakah hal ini semacam bekal makanan yg dibawa ketika sekolah? Kalau iya, mengapa harus sampai membawa beras, nangka muda, dan juga bumbu dapur? Memangnya semuanya itu dibawa dalam keadaan mentah ke sekolah, kemudian ketika di sekolah baru di masak, atau mungkin sebaliknya, yaitu sudah dalam keadaan masak/matang? Konteks kalimatnya bisa menunjukkan dalam keadaan masak, atau mungkin bisa juga masih dalam keadaan mentah. Jadi, kalimatnya menurutku begitu tidak jelasnya. Tapi yang pasti, aku tak mengerti akan isi paragraf ini. Semakin kubaca, semakin aku tak mengerti dan bingung akan isi dan maksud dari paragraf ini. Dan kalaupun paragraf ini dihilangkan, menurutku tidak akan mengurangi isi dari pesan yang akan disampaikan pada cerpen ini.

Setelah kubaca lebih cermat lagi hingga selesai seluruh cerpen ini, barulah aku mengerti. Mungkin jarak Koba dengan Pangkal Pinang tidaklah dekat, sehingga anak-anak yang dari Koba ketika bersekolah di Pangkal Pinang, mungkin mereka nge-kos di Pangkal Pinang, sehingga mungkin mereka pulang sebulan sekali ke Koba (yang pasti berjangka dan tidak tiap hari bisa bolak-balik Koba dengan Pangkal Pinang karena jaraknya yang tidak dekat itu).

Untung aku pernah membaca Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mengisahkan mengenai anak-anak Pulau Belitung (yang satu Provinsi dgn Pulau Bangka, yaitu Prov. Bangka Belitung), terutama pada Novel “Sang Pemimpi” yang mengisahkan Sang Tokoh Utama ketika bersekolah di SMA di Kota Belitung yang jaraknya mungkin agak jauh dari kampungnya, sehingga ia harus nge-kos di Kota Belitung.

Tapi terus terang, ketika membaca Cerpen “Truk Uak Bedela”, aku seakan-akan sebelumnya pernah membacanya. Menurutku cerita dan gaya berceritanya hampir sama dengan Tetralogi Laskar Pelangi. Apakah ini hanya kebetulan saja? Maksudnya, apakah ini hanya kebetulan karena sama-sama bercerita mengenai anak-anak di Pulau Bangka (pada Cerpen Truk Uak Bedela) dengan Pulau Belitung (pada Tetralogi Laskar Pelangi).

Yang menarik juga dari cerpen ini adalah pada paragraf penutupnya:

<<<Mungkin rasa laparnya tetap  sama. Tapi lapar kami dahulu bisa terganjal dengan kangkung liar yang tumbuh dirawa-rawa di tepian Rangkui, lapar kini harus diganjal pizza dari toserba. Apapun kisahnya  truk Bedela tak akan ada gantinya.>>>

Tragedi, komedi, campur aduk pada cerpen ini. Entah mengapa, aku begitu senangnya membaca cerita yang seperti ini. Tersenyumlah, walau seberat apapun hidup yang kita jalani. Itulah pesan singkat yang kudapat dari cerpen ini, selain juga tentunya pesan-pesan yang lainnya. [Aan]

30 Juli 2008 at 1:35 PM Tinggalkan komentar

Older Posts


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.318 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter