Archive for Desember, 2008

Terima Kasih kepada Ustadz Google

Kiranya, kita memang patut berterima kasih kepada Ustadz kita yg satu ini (Prof. Dr. KH. Al-Ustadz Google.Com). Karena jasanyalah, karena bantuannya, dan juga karena jawaban2 yg diberikannya atas pertanyaan, keluh-kesah, dan kebingungan kita di dunia maya, sehingga kita tidak tersesat di dunia yg satu ini, sehingga kita tetap bisa menempuh jalan yg lurus (shiratal mustaqim).

Terima kasih Ustadz Google.
Semoga segala amal ibadahmu diganjar pahala yg setimpal oleh Tuhan Yang Maha Esa.

– Dari seorang murid setiamu –

22 Desember 2008 at 4:37 AM 10 komentar

Cak Nur; Cendekiawan yang Rendah Hati

Ketertarikan kita kepada seseorang kadang begitu anehnya. Tak jarang pula hal tersebut berawal dari ketidaksukaan kita kepada orang itu. Dan ketertarikan jenis inilah yang aku rasakan ketika mengenal Nurcholish Madjid (Cak Nur).
(lebih…)

16 Desember 2008 at 5:51 AM 3 komentar

Menulis dengan Emosi

Mengutip ceramah dari seorang Doktor, bahwa menulis adalah salah satu media untuk menyalurkan emosi kita. Selain menulis, seni juga merupakan media penyaluran emosi yang begitu efektif. Orang yang memiliki jiwa seni kemungkinan juga merupakan orang yang memiliki hati yang lembut. Nah, lantas bagaimana jika emosi, seni, dan menulis menjadi satu kesatuan kegiatan? Tentunya akan menghasilkan karya yang begitu menakjubkan, seperti novel, cerpen, puisi, syair, lirik lagu, komposisi musik, dan karya-karya yang serupa yang di dalamnya merupakan gabungan emosi, seni, dan tulisan.

Jadi, bagi siapapun yang memiliki emosi yang susah dikendalikan, maka cobalah menyalurkan emosi tersebut melalui tulisan. Curahkanlah kesedihan, kesusahan, kekecewaan, kemarahan, dan emosi apapun itu melalui tulisan. Ketika tersadar dari emosi tersebut, ternyata tulisan kita sudah berlembar-lembar banyaknya. Barulah kita sadar, ternyata emosi kita sudah terekam begitu rupa di dalam tulisan. Atau bisa juga emosi tersebut dijadikan sebagai pemicu dalam menulis. Maksudnya, bisa saja tulisan kita itu tidak berhubungan dengan emosi kita, melainkan emosi tersebut hanya dijadikan sebagai pemicu dalam menulis. Ketika hal ini dilakukan, tangan ini akan terus menggoreskan pena di atas kertas, jari-jari ini akan terus menari-nari di atas tuts keyboard, hanya mata yang ngantuk yang akan menghentikannya.

Tulisan yang disertai dengan emosi biasanya menjadi tidak kering, bahasanya mengalir bagaikan arus sungai yang menuju ke laut: lambat, kadang deras, atau tak jarang juga berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Tulisan yang disertai dengan emosi biasanya sangat enak untuk dibaca. Yakinlah, kalau ada tulisan yang tidak enak dibaca, mungkin tulisan tersebut tidak ditulis dengan emosi.

Dia meledak-ledak, mengharu-biru, membahana semesta raya, menyambar-nyambar, kilatan-kilatannya memercikkan kecemerlangan, gilang-gemilang, dan terang-benderang di semesta raya. Menulis dengan emosi adalah saat-saat terindah bagi para penulis, saat-saat yang memberikan kepuasan tersendiri bagi penulis dalam mendaki hingga mencapai puncak yang menakjubkan. Sensasi dari menulis seperti ini begitu hebatnya, bukan hanya bagi penulisnya, melainkan pembacanya pun merasakan sensasi yang luar biasa dari tulisan tersebut.

Menulis dengan emosi, sudahkah anda mencobanya? [Aan]

Ciputat, Kamis, 24 Juli 2008 Pukul: 20.43-21.54 WIB

12 Desember 2008 at 11:42 AM 6 komentar

Membaca dari Belakang

Ini adalah pengalaman paling pribadi dari diriku, yaitu membaca dari halaman belakang (halaman akhir), berlawanan dengan kebiasaan kita selama in, yaitu membaca dari halaman depan (halaman awal). Aneh mungkin, tapi kau cobalah kawan membaca seperti ini, niscaya kau akan mendapatkan sensasi yang lain daripada biasanya. Oh ya, untuk sementara ini mungkin hanya cocok digunakan untuk membaca novel, untuk bacaan yang lainnya aku belum pernah mencobanya.

Bayangkan, ketika membaca novel, maka kau mengetahui terlebih dahulu endingnya, setelah itu beranjak lembar demi lembar kau akan mengetahui cerita awalnya. Inilah sensasinya menurutku. Si pengarang novel mungkin menyusun cerita novel itu dengan logikanya sendiri yang itu sangat khas bagi setiap penulis. Maka kita selaku pembacanya tidak harus mengikuti logika penulis novel tersebut. Ketika novel tersebut sudah berada di tangan kita sebagai pembacanya, maka kita bebas sebebas-bebasnya untuk mengapresiasi novel tersebut.

Inilah membaca jungkir balik, awal menjadi akhir, akhir menjadi awal. Atau, awal tetap awal, akhir tetap akhir, tapi kita membaca akhirnya terlebih dahulu, sedangkan awalnya akan kita baca paling akhir. Jika si pengarang novel mempunyai logikanya sendiri dalam menulis jalinan ceritanya, maka tak ada salahnya kita juga memiliki logika tersendiri, serta cara tersendiri dalam membaca karya si penulis novel tersebut.

Sudah saatnya jangan lagi kita mau mengikuti logika para penulis novel tersebut. Sudah saatnya jangan lagi kita mau terjerumus oleh cara pandang si penulis novel terhadap cerita yang ia buat itu. Pembaca memiliki logikanya sendiri, memiliki kemerdekaannya sendiri, memiliki cara tersendiri, ….

Inilah revolusi para pembaca, inilah perlawanan para pembaca, …

“Edan,” kata temanku.

Lalu kujawab, “Tak ada yang lebih edan daripada para penulis cerita itu, kawan. Coba kau pikir, adakah orang yang lebih edan dibandingkan dengan orang yang mengkonstruksi suatu cerita hingga panjangnya beratus-ratus halaman banyaknya. Kemudian yang lebih edan lagi adalah kita, karena sudah mau mengikuti logika para penulis itu hanya untuk mengetahui ending ceritanya seperti apa, jalinan ceritanya seperti apa. Karena itu, agar kita tak terjerumus dengan logika para penulis itu, alangkah lebih baiknya kita membaca endingnya terlebih dahulu. Jika endingnya bagus, maka kita lanjutkanlah membaca karyanya itu. Tapi kalau endingnya jelek, maka tak ada salahnya kita memutuskan untuk tidak membaca novel tersebut. Selesai, kan?”

Dengan wajah seperti dilipat-lipat, temanku merenggut, “Sungguh edan, alias sableng bin gendeng kau itu,” kemudian temanku itupun berlalu dari hadapanku. Sedangkan aku tertawa terkekeh-kekeh melihat wajah temanku yang seperti kertas habis diremas-remas itu, atau mungkin seperti baju yang tak pernah disetrika, kalau orang Melayu Pontianak menyebutnya “ronyok“, kalau orang Jakarta mungkin menyebutnya “kucel“. Tahu kan kau yang kumaksud ini, kawan? []

Ciputat, Minggu – 29 Juni 2008 17.07 – 17.32 WIB

12 Desember 2008 at 11:33 AM 1 komentar

Ibadah Haji

Haji sebagai salah satu Rukun Islam mempunyai tujuan yang sangat mulia. Seringkali orang tidak memahami apa tujuan ibadah haji, sehingga begitu pulang dari ibadah haji, tidak banyak didapatkan hikmah dan manfaatnya. Kalau kita kaji firman Allah di dalam Surah Al-Hajj ayat 27-28, Allah telah memaparkan hikmah dan manfaat ibadah haji yang sangat banyak, yaitu:
(lebih…)

12 Desember 2008 at 10:45 AM 1 komentar

Older Posts


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.319 hits
Desember 2008
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
293031  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter