Posts tagged ‘Cerpen’

Cerpen: Negeri Cinta

NEGERI CINTA
Cerpen: Hanafi Mohan

Kadang kita tertawa, mengenang masa-masa indah itu. Bisakah kita mengulanginya lagi? Tapi kau hanya terdiam membisu saja ketika kutanyakan itu. Apakah memang kau sudah tidak menginginkan masa-masa itu terulang lagi kini. Atau memang kau sebenarnya menginginkan masa kini yang lebih indah. Atau … jangan-jangan kau memang benar-benar bisu dan gagu? Tapi, gak mungkin ah. Sampai waktu terakhir kita bertemu, kau masih normal kan? Kau masih sering curhat-curhatan denganku. Kau masih sering nyanyi dengan suara merdumu itu, yang kadang kuiringi dengan gitar. Yang pasti, kini aku yakin, bahwa kau sebenarnya tidak bisu dan gagu.
(lebih…)

17 Februari 2009 at 12:53 PM Tinggalkan komentar

Menulis dengan Emosi

Mengutip ceramah dari seorang Doktor, bahwa menulis adalah salah satu media untuk menyalurkan emosi kita. Selain menulis, seni juga merupakan media penyaluran emosi yang begitu efektif. Orang yang memiliki jiwa seni kemungkinan juga merupakan orang yang memiliki hati yang lembut. Nah, lantas bagaimana jika emosi, seni, dan menulis menjadi satu kesatuan kegiatan? Tentunya akan menghasilkan karya yang begitu menakjubkan, seperti novel, cerpen, puisi, syair, lirik lagu, komposisi musik, dan karya-karya yang serupa yang di dalamnya merupakan gabungan emosi, seni, dan tulisan.

Jadi, bagi siapapun yang memiliki emosi yang susah dikendalikan, maka cobalah menyalurkan emosi tersebut melalui tulisan. Curahkanlah kesedihan, kesusahan, kekecewaan, kemarahan, dan emosi apapun itu melalui tulisan. Ketika tersadar dari emosi tersebut, ternyata tulisan kita sudah berlembar-lembar banyaknya. Barulah kita sadar, ternyata emosi kita sudah terekam begitu rupa di dalam tulisan. Atau bisa juga emosi tersebut dijadikan sebagai pemicu dalam menulis. Maksudnya, bisa saja tulisan kita itu tidak berhubungan dengan emosi kita, melainkan emosi tersebut hanya dijadikan sebagai pemicu dalam menulis. Ketika hal ini dilakukan, tangan ini akan terus menggoreskan pena di atas kertas, jari-jari ini akan terus menari-nari di atas tuts keyboard, hanya mata yang ngantuk yang akan menghentikannya.

Tulisan yang disertai dengan emosi biasanya menjadi tidak kering, bahasanya mengalir bagaikan arus sungai yang menuju ke laut: lambat, kadang deras, atau tak jarang juga berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Tulisan yang disertai dengan emosi biasanya sangat enak untuk dibaca. Yakinlah, kalau ada tulisan yang tidak enak dibaca, mungkin tulisan tersebut tidak ditulis dengan emosi.

Dia meledak-ledak, mengharu-biru, membahana semesta raya, menyambar-nyambar, kilatan-kilatannya memercikkan kecemerlangan, gilang-gemilang, dan terang-benderang di semesta raya. Menulis dengan emosi adalah saat-saat terindah bagi para penulis, saat-saat yang memberikan kepuasan tersendiri bagi penulis dalam mendaki hingga mencapai puncak yang menakjubkan. Sensasi dari menulis seperti ini begitu hebatnya, bukan hanya bagi penulisnya, melainkan pembacanya pun merasakan sensasi yang luar biasa dari tulisan tersebut.

Menulis dengan emosi, sudahkah anda mencobanya? [Aan]

Ciputat, Kamis, 24 Juli 2008 Pukul: 20.43-21.54 WIB

12 Desember 2008 at 11:42 AM 6 komentar

Pulau Bangka di Dalam “Truk Uak Bedela”

Pulau Bangka di Dalam “Truk Uak Bedela”
Oleh: Hanafi Mohan

Cerita yang lumayan menarik menurutku ketika membaca cerpen “Truk Uak Bedela” yang ditulis oleh Hakimi, seseorang yang aku kenal beberapa minggu ini dari dunia maya (internet). “Truk Uak Bedela” berkisah mengenai masyarakat Pulau Bangka yang mungkin selama ini agak kurang terekspos. Mungkin orang dari luar pulau Bangka akan bertanya-tanya, di manakah Pulau Bangka? Bagaimanakah kehidupan orang Pulau Bangka? Bagaimanakah budaya Pulau Bangka? Dan kalau pertanyaan ini diteruskan, mungkin akan terus berderet pertanyaan-pertanyaan lainnya, karena Pulau Bangka memang agak kurang dikenal, apalagi oleh orang-orang di Pusat Kekuasaan Indonesia (Jakarta, dan juga Pulau Jawa). Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang patut untuk dicermati dari cerpen ini.

Pada paragraf:
<<<Itu adalah pantun yang kudengar dari Alil, anak Uak Usman, dan pantun yang terakhir ia mengejekku. Temanku ini selain senang berpantun juga senang sekali dengan singkatan namanya sendiri “Alilus”. Ia suka mengacungkan jempolnya dan dengan bangga berkata, “ Alilus, tak ada duanya.” Dan kamipun tertawa mendengarnya. Alil berumah di kampung Tengah, dekat dengan rumah Ibu Nuri’ah.>>>

Siapakah Ibu Nuri’ah? Seberapa pentingkah Ibu Nuriyah dimasukkan di Cerpen ini? Kalau tidak penting, mengapa dimasukkan? Kalau dianggap penting, mengapa sejarah tokoh tersebut tidak disebutkan agak lebih lengkap, juga karakternya.

Siapakah Nurdin Romli?, yaitu pada paragraph:

<<<Ada temanku yang lain yang sangat bangga dengan namanya. Dia adalah Fahro. Nama sebenarnya ialah Fachrurrozy. Dari Muslimin teman sekampungnya dia mendapat nama tambahan Only, jadi ketika jual lagak sambil tekan pinggang ia berkata dengan bangga “Only Fahro.” Sama dengan  tadi kami pun terbahak-bahak. Tapi tawa kami lebih karena melihat ompongnya. Saat menyebut  “on” dan “ro” ompongnya tidak kelihatan tapi pada saat menyuarakan “li” kami  melihat layar  “cinemascope”.  Aku ingat betul, empat gigi serinya tak ada. Jadi betul-betul layar lebar. Dan tampaknya Fahro tak menyadari alasan kami tertawa. Selain sekampung dengan Muslimin, Fahro Ompong ini sekampung dengan Nurdin Romli.>>>

Di Cerpen, nama Ibu Nuri’ah dan Nurdin Romli sempat disebut, tapi hanya sekali, kemudian tak disebut-sebut lagi. Aku rasa nama-nama seperti ini lebih baik dihilangkan, dan itu sepertinya tidak akan mengubah pesan dari cerpen ini.

Nama tempat terlalu banyak, namun tidak disebutkan secara detail, sehingga membingungkan ketika membacanya, yang pasti membuat keasyikan membaca cerpen menjadi terusik. Mungkin hanya orang Bangka saja atau orang yang pernah tinggal di Bangka saja yang akan mengerti akan tempat-tempat tersebut ketika membaca cerpen ini.

Selain nama tempat, nama tokohnya juga terlalu banyak, tapi tak disebutkan detail satu persatu dari tokoh tersebut, atau setidaknya tokoh tersebut diperkenalkan dan lebih menjadi hidup.

Cerpen ini juga tidak ada dialognya, selain daripada cerita yang ditutukan oleh naratornya. Sehingga menurutku, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen ini menjadi tidak hidup. Memang, ada kendala tersendiri ketika harus membuat dialog. Kadang, dialog tersebut begitu keringnya. Sehingga, memang harus ada keberanian dalam membuat dialog pada sebuah cerita.

Apakah “sumpit” yang dimaksud? yaitu pada paragraf berikut ini:

<<<Buatku saat-saat menunggu kedatangan truk adalah saat-saat gembira. Mengapa tidak. Uang ada, beras punya, ikan asin bawa. Nangka muda bawa, kangkung, telur ayam, bumbu dapur, wah semua lengkap. Semua ada dalam sumpit. …>>>

Pertama-tama ketika membaca paragraf ini, aku tak mengerti akan … beras, ikan asin, nangka, kangkung, telur ayam, bumbu dapur, yang semuanya dibawa di dalam “sumpit”. Pikirku ketika membacanya, apakah hal ini semacam bekal makanan yg dibawa ketika sekolah? Kalau iya, mengapa harus sampai membawa beras, nangka muda, dan juga bumbu dapur? Memangnya semuanya itu dibawa dalam keadaan mentah ke sekolah, kemudian ketika di sekolah baru di masak, atau mungkin sebaliknya, yaitu sudah dalam keadaan masak/matang? Konteks kalimatnya bisa menunjukkan dalam keadaan masak, atau mungkin bisa juga masih dalam keadaan mentah. Jadi, kalimatnya menurutku begitu tidak jelasnya. Tapi yang pasti, aku tak mengerti akan isi paragraf ini. Semakin kubaca, semakin aku tak mengerti dan bingung akan isi dan maksud dari paragraf ini. Dan kalaupun paragraf ini dihilangkan, menurutku tidak akan mengurangi isi dari pesan yang akan disampaikan pada cerpen ini.

Setelah kubaca lebih cermat lagi hingga selesai seluruh cerpen ini, barulah aku mengerti. Mungkin jarak Koba dengan Pangkal Pinang tidaklah dekat, sehingga anak-anak yang dari Koba ketika bersekolah di Pangkal Pinang, mungkin mereka nge-kos di Pangkal Pinang, sehingga mungkin mereka pulang sebulan sekali ke Koba (yang pasti berjangka dan tidak tiap hari bisa bolak-balik Koba dengan Pangkal Pinang karena jaraknya yang tidak dekat itu).

Untung aku pernah membaca Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mengisahkan mengenai anak-anak Pulau Belitung (yang satu Provinsi dgn Pulau Bangka, yaitu Prov. Bangka Belitung), terutama pada Novel “Sang Pemimpi” yang mengisahkan Sang Tokoh Utama ketika bersekolah di SMA di Kota Belitung yang jaraknya mungkin agak jauh dari kampungnya, sehingga ia harus nge-kos di Kota Belitung.

Tapi terus terang, ketika membaca Cerpen “Truk Uak Bedela”, aku seakan-akan sebelumnya pernah membacanya. Menurutku cerita dan gaya berceritanya hampir sama dengan Tetralogi Laskar Pelangi. Apakah ini hanya kebetulan saja? Maksudnya, apakah ini hanya kebetulan karena sama-sama bercerita mengenai anak-anak di Pulau Bangka (pada Cerpen Truk Uak Bedela) dengan Pulau Belitung (pada Tetralogi Laskar Pelangi).

Yang menarik juga dari cerpen ini adalah pada paragraf penutupnya:

<<<Mungkin rasa laparnya tetap  sama. Tapi lapar kami dahulu bisa terganjal dengan kangkung liar yang tumbuh dirawa-rawa di tepian Rangkui, lapar kini harus diganjal pizza dari toserba. Apapun kisahnya  truk Bedela tak akan ada gantinya.>>>

Tragedi, komedi, campur aduk pada cerpen ini. Entah mengapa, aku begitu senangnya membaca cerita yang seperti ini. Tersenyumlah, walau seberat apapun hidup yang kita jalani. Itulah pesan singkat yang kudapat dari cerpen ini, selain juga tentunya pesan-pesan yang lainnya. [Aan]

30 Juli 2008 at 1:35 PM Tinggalkan komentar

Khayal dan Kenyataan yang Samar; Proses Kreatif Cerpen “Negeri Harapan”

Khayal dan Kenyataan yang Samar;
Proses Kreatif Cerpen “Negeri Harapan”
Oleh: Hanafi Mohan

Gaya penceritaan adalah suatu ciri khas setiap penulis cerpen ataupun novel. Layaknya seorang penari, maka seorang penulis cerita pun semestinya piawai untuk meliuk-liukkan ceritanya. Hambar sekali rasanya jika cerita ditulis hanya datar saja.

Pada cerpen “Negeri Harapan” (NH), merupakan pertama kalinya aku menemukan gaya yang seperti itu. Boleh dikatakan, bahwa “Negeri Harapan” adalah eksperimenku untuk menemukan gaya penceritaan yang menarik, yang kuharapkan gaya itu menjadi salah satu ciri tulisanku. Seperti layaknya eksperimen, maka kadang berhasil, atau lebih seringnya gagal. Tapi patut diakui, bahwa dari eksperimen lah kita menemukan penemuan-penemuan baru, yang mungkin orang lain belum menemukannya. Atau, kalaupun orang lain sudah menemukan hal yang serupa, maka kita cukup berpuas diri, karena sudah menemukan seperti yang ditemukan oleh orang lain, tapi dengan cara kita sendiri, tanpa harus kita meniru cara orang lain tersebut.

NH merupakan akumulasi dari pengalaman hidupku. Di situ ada khayal, juga ada kenyataan. Ada mimpi, ada juga sadar. Ada masa lalu, ada masa kini, dan ada juga masa akan datang. Khayal, kenyataan, mimpi, sadar, masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, semuanya berkelindan menjadi satu, sehingga yang muncul adalah kesamaran di antaranya. Seakan-akan nyata, tapi tidak nyata. Seakan-akan tidak nyata, tapi nyata. Seakan-akan dekat, tapi jauh. Seakan-akan jauh, tapi dekat. Seakan-akan sedang bermimpi, tapi sebenarnya mimpi itu ada bersamaan dengan kesadaranku. Seakan-akan sedang sadar, tapi sebenarnya sadar itu menyelusup ke dalam relung-relung mimpiku.

Jika kuingat-ingat, ketika masa kecilku (atau mungkin masa remajaku), aku pernah bermimpi pada suatu malam. Di mimpi itu kuingat aku jalan-jalan ke “Negeri Harapan” menggunakan pesawat terbang. Indah …, indah sekali gambaranku akan “Negeri Harapan” ketika itu. “Negeri Harapan” yang kumaksud adalah Kota Jakarta, tempatku kini berada.

Ketika masih berada di kota kelahiranku (Kota Pontianak, yang di dalam cerpen NH kusebut sebaga Negeri Sungai), Kota Jakarta hanya menjadi khayalanku, hanya menjadi mimpiku. Kiranya, ketika itu aku tak pernah menduga bisa menjejakkan kaki ke Kota Jakarta. Bahkan tak pernah membayangkan, hingga kini sudah bertahun-tahun aku berada di Kota Metropolitan ini.

Jadi dapatlah dikatakan, bahwa kehidupanku kini adalah seperti khayalanku, seperti mimpiku di masa-masa lalu. Kini aku menjalani khayalan dan mimpi itu. Kadang kini aku merasa, bahwa kenyataan hidup yang sedang kualami ini tak lain adalah mimpi dan khayalanku. Dalam dunia yang nyata ini, seakan-akan aku merasakan hidup dalam dunia mimpi dan dunia khayalan. Aku sadar, bahwa aku kini sedang berada di dunia nyata. Tapi tak dapat kupungkiri, dunia nyata yang kujalani ini seperti khayalan dan mimpi.

Aku hidup di dunia nyata, tapi seakan-akan aku merasakan sedang berkhayal dan bermimpi.

Aku berkhayal dan bermimpi, tapi khayalan dan mimpi itu kulakoni dalam dunia sadar dan dunia nyataku.

Dari sini dapatlah tergambar, bahwa begitu alotnya cerpen NH ini untuk bisa dipahami oleh pembaca, seperti halnya yang sebenarnya dimaksudkan oleh penulisnya (yaitu aku). Setiap pembaca tentunya akan menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Mungkin ada yang mengira, bahwa tokoh di dalam cerpen NH ini sedang dalam keadaan sakit jiwa. Atau mungkin ada yang mengira, bahwa tokoh utama cerpen ini sedang dalam keadaan “koma”. Dan mungkin saja ada penafsiran-penafsiran lainnya. Dan memang dari awal cerpen ini tidak kumaksudkan untuk ditafsirkan secara tunggal. Aku bahkan sangat menginginkan pembaca cerpen ini akan menafsirkan dengan aneka-ragam penafsiran. Bahkan lebih dari itu, aku ingin setiap pembacanya akan menafsirkan berbeda-beda pada setiap kali mereka membacanya. Pada saat pertamanya mungkin ia bisa menafsirkan A, pada saat yang lainnya mungkin ia bisa menafsirkan B, pada saat yang lain lagi, mungkin ia bisa menafsirkan C.

Plot cerpen ini juga begitu cepatnya berganti-ganti. Latar waktu dan latar tempatnya berubah secara cepat. Dari awal ceritanya (paragraf pertama), hal ini sudah dapat dirasakan. Bahkan perubahan plot itu bukan saja antar paragraf, bahkan dalam satu paragraf pun, latar waktunya pun bisa saling berganti-ganti. Perhatikanlah paragraph pertama (awala cerita) cerpen ini:

<<<Malam itu di Negeri Sungai, aku terbangun. Baru saja aku memimpikan berada di negeri yang hutan belantaranya bukanlah pohon-pohon, namun adalah gedung-gedung yang menjulang tinggi. Jalan rayanya tak ubah seperti rimba raya. Ada juga jalan-jalan yang seperti kapsul.>>>

Pada kalimat pertama menggambarkan masa lampau. Sedangkan pada kalimat kedua, menggambarkan masa kini. Sehingga wajarlah jika ada yang mengatakan, bahwa cerpen ini plotnya tidak konsisten. Jangankan plot, kata-katanya pun begitu banyak yang tidak konsisten (atau mungkin tidak pas).

Tapi, begitulah caraku untuk menarik pembaca. Keganjilan-keganjilan itu kugunakan agar pembaca bertanya-tanya, kemudian lambat-laun pembaca akan tertarik dengan sendirinya ke dalam cerita tersebut, seakan-akan dia sendirilah tokoh utama cerita tersebut. Tapi ini mungkin saja jauh dari harapanku. Karena boro-boro pembaca tertarik, ketika membaca paragraf pertamanya saja, mereka mungkin akan langsung membuang jauh-jauh cerpen ini. Mungkin saja mereka bingung akan ceritanya, akan plotnya, atau mungkin akan kata-katanya yang sedari awal sudah begitu membingungkan.

Jika cerita realis adalah cerita yang taat pada kekonsistenan plot, maka menurutku, cerita non realis (untuk tidak mengatakan surealis) adalah kebalikannya, yaitu tidak konsisten pada plot. Cerita realis berjalan secara linier, maka cerita yang tidak realis berjalan secara tidak linier.

Ketika menulis cerpen ini, aku merasakan menerjang-nerjang kelaziman yang ada. Sungguh begitu beresiko, tapi di situlah letak tantangannya menurutku. Bayangkan saja, secara total, cerpen ini hanya kutulis dalam waktu dua hari. Bahkan ide kasar dari cerpen ini terformulasi dalam beberapa saat saja, bagaikan aku sedang mendapatkan wahyu dari Tuhan. Andaikan aku seorang Nabi, maka mungkin yang kudapatkan itu adalah kitab suci. Tapi, aku hanya manusia biasa, sehingga yang kudapatkan itu hanyalah ilham berupa inspirasi sebuah cerita. [Aan]

Ciputat, Senin – 28 Juli 2008 Pukul 17.15 – 19.49 WIB

30 Juli 2008 at 1:21 PM Tinggalkan komentar

Cerpen: Negeri Harapan

NEGERI HARAPAN

Cerpen: Hanafi Mohan

Malam itu di Negeri Sungai, aku terbangun. Baru saja aku memimpikan berada di negeri yang hutan belantaranya bukanlah pohon-pohon, namun adalah gedung-gedung yang menjulang tinggi. Jalan rayanya tak ubah seperti rimba raya. Ada juga jalan-jalan yang seperti kapsul.

Baru kali ini aku melakukan perjalanan dengan pesawat. Ketika mendarat di bandara negeri itu, kelap-kelip cahaya lampunya menambah indah suasana. Di bandara, aku langsung dijemput oleh sebuah mobil. Aku pun dibawa berjalan-jalan mengitari Negeri Harapan itu.

Waw …, indah nian negeri ini. Sangat berbeda dengan Negeri Sungaiku. Gedung-gedungnya menantang langit. Jalan-jalannya bersusun-susun. Lampu-lampunya terang-benderang. Andai aku dapat berlama-lama di negeri ini.

Tiba-tiba aku terbangun. Aku pun heran. Sepertinya ada yang janggal.

Tempat ‘ku terbangun ini, sungguh memang bukan kamar di rumahku yang ada di Negeri Sungai. Aku kenal betul dengan kamar itu. Rasanya baru beberapa saat yang lalu aku tinggalkan. Sehingga tak mungkin aku terlupa dengan kamar itu.

Kalau ini memang bukan kamarku, lantas kamar siapa? Di rumah siapa?

Atau memang aku masih bermimpi? Tapi sebegitu nyatakah seperti ini?

“Au …, sakitnya …,” mulutku berteriak, setelah ‘ku cubit lenganku untuk memastikan, mimpi atau nyatakah semua ini.

Lalu ‘ku tampar mukaku untuk memastikan lagi.

“Aduh …,” kembali ‘ku berteriak.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

“Dhani, sudah pagi nih. Katanya kamu minta dibangunkan,” ujar orang yang masuk ke kamar.

“Hah …,” ujarku lirih, sambil melihat heran ke orang itu.

“Hei …, mengapa Dhani? Kamu seperti orang yang kebingungan.”

Kemudian orang itu keluar dari kamar. Tapi buru-buru kupanggil, “Wan … Wawan …!”

Kemudian orang itu menoleh ke arahku, “Ada apa Dhani?”

Wawan …? Benarkah orang yang kupanggil tadi bernama Wawan? tanyaku di dalam hati.

“He … Dhani … ada apa …?”

“Wa … wan!” aku tergagap.

“Iya, mengapa kamu sedari tadi memanggilku?”

Kiranya benar, orang itu bernama Wawan.

“Begini maksudku, Wan. Air untuk berwudhu’ ada kan?”

“Ya … adalah. Kamu ini seperti orang yang linglung saja. Ah … sudahlah. Cepatlah kamu Shalat Shubuh! Mumpung matahari belum terlalu tinggi.”

Lalu orang yang bernama Wawan itu pun keluar dari kamar. Sementara kepalaku berputar-putar, pusing tak karuan. Entah apa yang ‘ku alami ini.

* * *

Sudah begitu lamanya aku berada di negeri yang semakin tak ‘ku pahami ini. Negeri yang semakin hari semakin semrawut, tidak aman, dan juga tidak nyaman.

Di Negeri Harapan ini, pernah suatu waktu aku bermimpi bergelut di suatu perkumpulan. Entah berapa lama aku bermimpi itu. Hari-hari yang begitu panjang ‘ku lalui di dalam mimpi itu. Hingga suatu saat aku dipercayakan untuk menjadi pimpinan perkumpulan itu. Sungguh sesuatu yang di luar khayalanku. Aku memang pernah berkhayal untuk bisa bergelut di perkumpulan itu. Tapi hanya sekedar bisa bergelut di sana, bukan menjadi pemimpinnya. Tapi yang ‘ku dapatkan ternyata lebih dari yang ‘ku khayalkan.

Suatu saat aku tersadar dari mimpi panjang itu. Aku tersadar di Negeri Harapan.

Ah, mengapa masih di Negeri Harapan? Tapi sudahlah. Ini mungkin sudah menjadi garisan. Yang harus ‘ku lakukan hanyalah menjalankannya. Aku tak lebih hanyalah salah seorang pemain drama kolosal. Yang ‘ku jalani hanyalah sedikit dari skenario alam raya ini.

Aku harus berkejar-kejaran dan berebut-rebutan dengan orang lain untuk menjadi yang terbaik. Kadang aku yang menang, orang lain yang kalah. Atau sebaliknya, orang lain yang menang, aku yang kalah. Untuk mencapai semua itu, harus rela bersikut-sikutan, atau tak jarang harus bercakar-cakaran. Demi menjadi yang terbaik.

Seorang temanku berkata, “Kau itu terlalu berlebih-lebihan untuk menjadi yang terbaik. Hingga segenap waktu dan energimu kau habiskan hanya untuk mencapai predikat yang terbaik itu. Sedangkan di dunia ini banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus menjadi yang terbaik.”

Tapi aku merasa enjoy melakukan semua itu. Walaupun semua waktu, energi, bahkan uang ‘ku habiskan demi menjadi yang terbaik.

* * *

Hingga suatu saat, aku berada pada titik nadir. Aku yang sudah terbiasa berlari berkejar-kejaran dan melesat mencapai semua keinginan, kini hanya bisa tertatih-tatih merangkaki waktu.

Aku tertekan. Tak tentu arah tujuanku. Bahkan sebenarnya aku kehilangan arah. Negeri Harapan yang nian indah dan menjanjikan segala kesenangan, kini bagiku tak lebih hanya bagaikan rimba belantara. Aku tersesat di tengah rimba yang tak berujung-pangkal.

Kini, aku hanya berharap bisa keluar dari semua kungkungan ini. Aku ingin seperti dulu bagaikan elang yang terbang bebas di angkasa. Bahkan di sanubari terdalam, aku ingin kembali berada di negeri tempatku berasal. Yaitu negeri yang mengalir sungai-sungai panjang nan lebar. Sungguh negeri yang damai.

Tapi bagaimana mungkin aku bisa kembali lagi ke negeri asalku itu? Kalaupun mungkin, bagaimana caranya? Sedangkan keberadaanku di Negeri Harapan ini pun tanpa terlebih dahulu ‘ku rencanakan. Tiba-tiba saja aku sudah berada di negeri yang sebelumnya hanya menjadi khayalanku ini.

Oh ya, mimpi …. Aku baru ingat, masuknya aku ke Negeri Harapan ini tak lain melalui mimpi. Sehingga sampai kapanpun, negeri ini tetaplah negeri mimpi. Bukan negeri yang benar-benar nyata. Karena ini mimpi, maka aku harus terbangun lagi di negeri asalku, tempat di mana aku memimpikan Negeri Harapan ini. Masih dengan pertanyaan lamaku, mungkinkah ini semua hanyalah mimpi? Sedangkan yang ‘ku alami selama ini benar-benar nyata. ‘Ku usir semua pikiran yang sudah usang itu.

‘Ku susun rencana untuk melakukan semua itu. Segenap pikiran, perasaan, dan energi ‘ku curahkan untuk kembali lagi ke negeri asalku. Untuk menggapainya, apapun halangan dan rintangan akan ‘ku terjang, dengan sisa-sisa tenagaku yang kini mulai terkumpul lagi.

Melintang patah, terbujur lalu.

* * *

Pelan-pelan terbuka mataku. Cahaya putih menyilaukan menerobos memasuki kamar. Lalu ‘ku dengar suara-suara yang memang tak asing bagiku. Tapi sepertinya, suara-suara itu sudah lama sekali tak pernah ‘ku dengar. Dan … aku terpana melihat tempatku terbangun kini. Ya …, tempat yang begitu ‘ku kenal.

Aku pun langsung menuju ke jendela. Terang-benderang di luar sana. Motor air berlalu-lalang di sungai yang ada di depan mataku dengan suaranya yang khas. Sampan tradisional yang satu persatu melintas membawa dan menyeberangkan penumpang. Belum lagi suara kokok ayam yang bersahut-sahutan, menambah ramainya suasana sepagi ini. Angin sungai yang sejuk membelai wajahku. Aku masih asyik dengan semua ini.

Pintu kamar pun terbuka. Lalu muncul sesosok perempuan.

“Sudah bangun rupanya, Bang. Lelap sekali Za lihat Abang tidur tadi.”

“Za …,” aku masih terpaku dengan sosok perempuan itu.

“Bang, ada apa? Mengapa tercengang seperti itu melihat Liza? Adakah yang aneh?”

“Liza …, kaukah ini?”

“Ada apa gerangan, Bang? Tak ingatkah Abang, bahwa hari ini adalah ulang tahun ke lima perkawinan kita? Lihatlah kalender itu!” perempuan yang mengaku sebagai istriku itu menunjuk ke arah yang dimaksud di dinding kamar.

“Sudah Za tandai tanggal itu dengan spidol merah, Bang. Agar kita selalu ingat tanggal bersejarah itu,” kembali perempuan yang bernama Liza itu berucap.

Lalu perempuan yang mengaku sebagai istriku itu pun keluar dari kamar.

Aku pun melihat ke kalender yang dimaksud. Sangat jelas sekali tanggal yang ditandai dengan spidol merah itu … 15. Bulan Mei tahun 2015.

Kawin …? Aku masih tak mengerti.

Lalu perempuan bernama Liza yang mengaku sebagai istriku itu pun masuk lagi ke kamar membawa seorang anak kecil. Sepertinya lelaki. Anak itu berseragam TK.

“Raushan, salaman dulu dengan Ayah! Setelah itu Raushan baru berangkat ke sekolah,” ujar Liza kepada anak kecil itu.

Lalu anak itu menyalami dan mencium tanganku. Aku masih bingung dengan keadaan ini.

“Anak siapa, Za?”

“Abang ini bergurau saja dari tadi. Lebih baik Abang cepat mandi sana! Kebetulan air sungai sedang pasang,” kemudian Liza dan si kecil Raushan itu pun segera keluar dari kamar.

Nyata atau mimpikah semua ini? Ada sedikit rasa bahagia, karena aku dapat kembali lagi ke negeri asalku, yaitu Negeri Sungai. Namun aku masih setengah tak percaya dengan semua ini. Kepalaku terus berputar-putar memikirkannya.

* * *

Suatu pagi aku terbangun. Hening …, sehening hatiku yang damai. Ya … hening. Benar-benar tak ada suara seperti pagi biasanya.

Dan …, mengapa sepagi ini matahari tak menerobos masuk seperti biasanya? Adakah yang aneh? Adakah yang janggal dengan hari ini?

‘Ku lihat di sebelahku …, Liza …? Mana Liza istriku, yang biasanya menemani tidurku? Apakah ia sudah bangun? Atau …

“Za … Liza …,” ‘ku panggil-panggil istriku itu. Namun tak kunjung ada yang menyahut.

“Za …,” aku terus memanggilnya.

Mataku masih sayup. Sepertinya nyawaku belum berkumpul semuanya.

Tapi ‘ku lihat … lemari itu, rak buku itu …

Sekali lagi ‘ku panggil istriku. Namun lagi-lagi tetap sama, tak ada sahutan sedikit pun.

“Dhani …, kamu ini mengapa? Tingkahmu semakin aneh saja dari tadi ‘ku perhatikan.”

“Wawan, kau kah?” masih dengan kebingunganku.

“Kamu ini seperti orang yang linglung saja. Ah … sudahlah. Cepatlah kau Shalat Shubuh! Mumpung matahari belum terlalu tinggi. Oh ya …, dari tadi ‘ku dengar HP-mu berbunyi. Mungkin ada telepon masuk tadi. Atau mungkin SMS. Cobalah kamu lihat!”

Lalu ‘ku raih HP yang tak jauh letaknya dariku itu. Ada SMS rupanya. Lalu ‘ku buka SMS itu.

Slamat ULTAH kwanku. Moga ttap tgar & truslah brkrya. (ANDREAS)

“Tanggal berapa sekarang ini, Wan?”

“Tanggal dua puluh.”

“Bulan apa?” kembali ku bertanya.

“Kamu ini sama bulan saja sudah lupa. Bulan Mei sekarang ini, Dhan,” ucap Wawan dengan tegas.

“Jangan kamu bertanya tahun berapa ini! Keterlaluan kalau sama tahun saja lupa. Kamu lihat saja kalender tuh!” kembali Wawan berucap dengan tegas, sambil menunjukkan kalender yang dimaksud yang tertempel di dinding kamar.

Aku pun langsung menuju ke kalender yang dimaksud. Kucari tanggal yang dimaksud, yaitu 20 Mei, seperti yang dikatakan Wawan tadi. Dan ternyata kini tahun 2007, Hari Minggu.

Setelah itu, ‘ku buka jendela yang ada di kamar. Hanya tembok-tembok tinggi yang ‘ku lihat. Pantas saja sinar matahari pagi tak masuk ke kamar. Sinar itu mungkin terhalang oleh tembok-tembok tinggi yang ‘ku lihat kini.

Tak ada sungai. Tak terlihat motor air yang lalu lalang dengan suara khasnya. Tak ada sampan. Tak terdengar kokok ayam yang bersahut-sahutan. Tak ada angin sungai yang sejuk membelai wajahku.

Dan juga tak ada … Za …. [-,-]


Sedap Malam Pisangan Ciputat
Senin 7 Mei – Selasa 8 Mei 2007

Kepada Sahabatku

30 Juli 2008 at 1:15 PM Tinggalkan komentar

Older Posts


Selamat Berkunjung

Selamat datang di:
Laman The Nafi's Story
https://thenafi.wordpress.com/

Silakan membaca apa yg ada di sini.
Jika ada yg berguna, silakan bawa pulang.
Yg mau copy-paste, jgn lupa mencantumkan "Hanafi Mohan" sebagai penulisnya & Link tulisan yg dimaksud.

Statistik

Blog Stats

  • 523.319 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Top Clicks

  • Tidak ada
Powered by  MyPagerank.Net
free counters
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter